Jakarta (ANTARA) - Sepanjang 2020, ada beberapa peristiwa yang terjadi di Parlemen yang mendapat perhatian publik mulai dari bencana banjir yang terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) hingga pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR yang menyebabkan penolakan dari berbagai kalangan.

Pada 2020, DPR menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.

RUU Perppu Pilkada Serentak 2020 merupakan payung hukum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 dengan mengedepankan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19.

Pada awal Januari 2020, wilayah Jabodetabek kebanjiran cukup parah, yang bahkan membuat rumah Ketua MPR, Bambang Soesatyo, di Menteng, Jakarta Pusat, tergenang air. Padahal itu adalah lokasi sangat elit Jakarta. Akibat banjir besar itu, dua unit mobil dan dua unit motor miliknya ikut terendam, termasuk mobil Jeep Rubicon warna silver --jip mewah-- yang dia punya.

Ketua DPD, LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengaku akibat musibah bencana banjir yang melanda di berbagai daerah tersebut, sekitar 50 rumah staf dan karyawan DPD terkena dampak banjir.

Selain itu, dampak pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020, memberikan perubahan signifikan bagi kinerja parlemen dalam menjalankan tiga tugasnya yaitu pengawasan, anggaran, dan legislasi.

Misalnya saja mekanisme rapat kerja dapat dilakukan secara virtual dan fisik, bahkan Sidang Tahunan MPR 2020 menjadi bersejarah karena pertama kali dilakukan secara virtual dan fisik; kehadiran fisik sangat dibatasi untuk menghindari penyebaran Covid-19.

Tentu saja kondisi pandemi yang melanda Indonesia jangan sampai menghambat kinerja parlemen khususnya dalam menjalankan mekanisme check and balances yang merupakan suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi.

Pada masa pandemi, beberapa tugas legislasi, pengawasan, dan anggaran tetap dijalankan DPR meskipun ada beberapa penyesuaian untuk mengikuti protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19.

Berikut adalah sejumlah peristiwa di Parlemen yang mendapat perhatian publik

1. Usulan Pansus PT Jiwasraya
Pada awal 2020, muncul wacana agar DPR membentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk memeriksa kasus PT Asuransi Jiwasraya.

Hal itu karena risiko kerugian negara yang timbul dari kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp13,7 triliun sehingga diharapkan dengan pembentukan Pansus tersebut dapat menyinergikan hasil pemeriksaan lembaga-lembaga lain terkait kasus tersebut.

Pada awalnya terdapat lima fraksi di DPR yang secara informal mendukung pembentukan Pansus Jiwasraya yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKS, dan Fraksi Demokrat.

Dalam Rapat paripurna pembukaan masa sidang ke-II DPR 2019-2020 pada Rabu (13/1), dihujani interupsi soal wacana pembentukan panitia khusus (pansus) PT. Asuransi Jiwasraya.

Namun dalam perkembangannya, usulan pembentukan Pansus tersebut batal karena beberapa komisi memilih membentuk Panitia Kerja (Panja) yaitu Komisi III, Komisi VI, dan Komisi XI.

2. Dampak pandemi COVID-19
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020, berdampak serius dalam kinerja parlemen karena telah mengubah mekanisme kinerja. Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang dilakukan secara daring pada Jumat (20/3) siang memutuskan untuk menunda pembukaan masa sidang yang sebelumnya dijadwalkan pada Senin (23/3) menjadi Senin (30/3), karena semakin merebaknya Covid-19.

Parlemen pun memperketat aturan rapat-rapat Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan mitra kerja untuk mencegah penyebaran Covid-19. Lalu dibuat Peraturan tentang Tata Tertib DPR terkait rapat secara virtual yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR Kamis (2/4).

Pimpinan DPR mengeluarkan surat dengan nomor PW/10736/DPR RI/IX/2020 terkait pembatasan kehadiran fisik pada saat rapat di DPR, yaitu membatasi kehadiran fisik anggota DPR dan mitra kerja dengan maksimal kehadiran 20 persen dari jumlah peserta rapat. Surat tersebut ditandatangani Ketua DPR, Puan Maharani, tertanggal 11 September 2020.

Jumlah kehadiran 20 persen itu dengan pengaturan seperti kalau rapat dilakukan di komisi maka anggota DPR yang hadir berjumlah 11 orang dengan komposisi dua orang pimpinan dan sembilan anggota komisi perwakilan fraksi.

Kalau rapat dilakukan di Badan Anggaran DPR, jumlah yang diperbolehkan hadir sebanyak 20 orang, dengan komposisi dua orang pimpinan, dan 18 orang anggota Banggar dengan komposisi sesuai dengan jumlah proporsional anggota fraksi.

Apabila rapat dilakukan di Badan Legislasi DPR dengan jumlah 16 orang dengan komposisi dua orang pimpinan, dan 14 orang anggota Badan Legislasi DPR dengan komposisi sesuai jumlah proporsional anggota fraksi.

Sekjen DPR, Indra Iskandar, pada Oktober 2020 mengkonfirmasi bahwa sebanyak 18 anggota DPR dan 22 staf ahli, tenaga ahli, petugas kebersihan, dan pegawai dinyatakan positif Covid-19.

Karena kasus Covid-19 yang terus meningkat, dibuat Surat Edaran Bersama SJ/21604/SETJEN DPR RI/UM.04/12/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Mitra Kerja/Tamu/Orang yang Berkunjung ke MPR/DPR/DPD RI. Surat tersebut ditandatangani Plt Kepala Biro Umum Sekjen MPR, Ma'ruf Cahyono, Kepala Biro Umum Sekjen DPR, Djustiawan Widjaya, dan Kepala Biro Umum Sekjen DPD, Rahman Hadi, pada 8 Desember 2020.

Salah satu poin dari surat tersebut adalah tamu wajib membawa/menunjukkan hasil penjejakan dan pengujian Covid-19 paling lama 7 (tujuh) hari sebelum berkunjung. Tamu diizinkan masuk ke lingkungan apabila hasil skrining melalui uji cepat dinyatakan IgG dan IgM non reaktif atau hasil uji usap (antigen/PCR) dinyatakan negatif.

Selain itu, DPR telah membentuk dua tim terkait dengan pandemi Covid-19 yang sedang dialami bangsa Indonesia, yaitu Tim Satgas Lawan Covid-19 dan Tim Pengawas DPR terhadap Pelaksanaan Penanganan Bencana Pandemi Covid-19.

Kondisi pandemi juga berimbas terhadap pelaksanaan Sidang Tahunan MPR, Sidang Bersama DPR-DPD, dan Paripurna DPR membatasi kehadiran fisik anggota MPR, DPR, dan DPD, maupun para undangan. Karena itu bagi yang tidak hadir secara fisik, bisa hadir secara virtual.

Kehadiran fisik dibatasi hanya untuk pimpinan MPR, DPR, DPD, Fraksi MPR, Fraksi DPR, perwakilan provinsi DPD, BPK, MA, MK, KY, presiden dan wakil presiden, menteri koordinator, panglima TNI dan kepala Kepolisian Indonesia, serta mantan presiden dan mantan wakil presiden serta ketua partai politik.

Karena itu ruang sidang di Gedung Nusantara yang biasa diisi ribuan orang, hanya terisi sekitar tiga ratus orang dengan saling menjaga jarak.

Sekretariat Jenderal DPR yang menjadi "tuan rumah" pada Sidang Tahunan MPR, Sidang Bersama DPR-DPD, dan Paripurna DPR mewajibkan semua undangan yang hadir melakukan uji usap Covid-19 sehingga semua yang hadir di ruang sidang dipastikan bebas Covid-19.

Selain itu, semua orang yang memasuki kawasan sekitar Gedung Nusantara tempat pelaksanaan sidang tahunan, wajib melaksanakan uji cepat Covid-19.

3. Pilkada Serentak 2020
Awal pandemi Covid-19 memunculkan pertanyaan apakah Pilkada 2020 yang akan dilaksanakan di sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten, akan tetap dilaksanakan atau ditunda karena dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

Komisi II DPR menggelar Rapat Kerja pada 30 Maret 2020 bersama penyelenggara pemilu dan pemerintah, lalu disepakati penundaan Pilkada Serentak 2020.

Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Perppu tersebut untuk menunda pilkada serentak 2020 akibat pandemi Covid-19. Perppu tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo, di Jakarta, pada Senin, 4 Mei 2020.

Lalu Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR bersama Kementerian Dalam Negeri, KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan DKPP, pada Rabu (27/5) siang, menyetujui pemungutan suara Pilkada serentak 2020 dilaksanakan pada 9 Desember 2020.

Komisi II DPR ditugaskan untuk membahas Perppu Pilkada tersebut dan hasilnya dalam Rapat Kerja pada 30 Juni, Komisi II DPR menyetujui Perppu Pilkada menjadi UU. Lalu dalam Rapat Paripurna DPR pada 14 Juli 2020, DPR menyetujui Perppu Pilkada menjadi UU.

Untuk membahas kelanjutan teknis Pilkada 2020 agar memenuhi protokol kesehatan, Komisi II DPR menggelar Raker bersama penyelenggara pemilu, pemerintah, dan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pada Kamis (11/6).

Raker itu menyetujui usulan kebutuhan tambahan anggaran untuk penyelenggara agar memenuhi protokol kesehatan Covid-19 dalam tahapan lanjutan Pilkada 2020.

Usulan kebutuhan tambahan anggaran yang disetujui yaitu untuk KPU sebesar Rp4.768.653.968 (Rp4,7 triliun), Badan Pengawas Pemilu sebesar Rp478.923.004.000 (Rp478,9 miliar), dan DKPP sebesar Rp39.052.469.000 (Rp39,05 miliar) yang diperuntukkan terkait penyelenggaraan tahapan lanjutan Pilkada 2020.

Keputusan pelaksanaan Pilkada 2020 pada 9 Desember tersebut juga ditentang kalangan DPD karena dilaksanakan saat angka Covid-19 sedang meningkat sehingga dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

Namun keputusan telah diambil yaitu Pilkada dilaksanakan pada 9 Desember, dan perangkat peraturannya pun telah dibuat penyelenggara pemilu setelah dikonsultasikan kepada Komisi II DPR.

Peraturan itu antara lain PKPU tentang perubahan PKPU Nomor 8 /2018 tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

PKPU tentang perubahan PKPU Nomor 9/2018 tentang Rekapitulasi Hasil Pemungutan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Dan PKPU tentang Perubahan Kedua PKPU Nomor 14/2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.

Selain itu Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 16/2020 tentang Pengawasan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Juga Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 17/2020 tentang Pengawasan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil pengawasan dan pemungutan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, Komisi II DPR melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan DI Yogyakarta untuk memantau pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020.

Komisi II DPR menilai dari sisi protokol kesehatan dalam Pilkada 2020 terjaga sehingga pelaksanaannya aman, sehat, selamat dan tidak menyebabkan ledakan penyebaran Covid-19

4. RUU Ciptaker
RUU Ciptaker yang telah disetujui DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020, merupakan RUU yang pembahasannya cepat karena hanya membutuhkan waktu sekitar delapan bulan padahal protes dari berbagai kalangan terkait RUU itu sangat besar.

Waktu 8 bulan tersebut terhitung sejak Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartanto, menyerahkan naskah akademik RUU itu kepada DPR pada 12 Februari 2020 hingga disetujui DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020.

Dalam prosesnya, Surat Presiden tanggal 7 Februari 2020 terkait RUU Ciptaker dibacakan dalam rapat paripurna DPR pada Kamis (2/4), lalu dalam rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah, pada 1 April 2020 disepakati untuk diteruskan ke tingkat Badan Legislasi.

Badan Legislasi DPR pun akhirnya membentuk Panja RUU Ciptaker yang dipimpin politisi Partai NasDem, Willy Aditya, dan dijanjikan rapat pembahasan RUU tersebut akan berlangsung secara transparan dan bisa disaksikan seluruh masyarakat.

Awalnya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menolak membahas RUU Ciptaker karena lebih baik pemerintah dan DPR fokus dalam penanganan pandemi Covid-19. Fraksi PKS saat itu menolak mengajukan nama anggotanya di Panja RUU Ciptaker lalu Partai Demokrat dalam perkembangannya menarik diri dari Panja.

Kedua fraksi itu saat pembahasan RUU tersebut akhirnya mengirimkan nama-nama anggotanya untuk masuk Panja RUU Ciptaker dengan alasan mengawal pembahasan RUU Omnibus Law itu agar sesuai dengan harapan masyarakat.

Selain itu, karena besarnya penolakan RUU Ciptaker saat itu khususnya dari kalangan buruh, maka klaster ketenagakerjaan akan dibahas terakhir setelah klaster yang lain selesai dibahas, total ada 11 klaster dari RUU yang menggabungkan 79 UU itu.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya, mengatakan di telah mendapatkan sekitar 10.000 pesan singkat dari kalangan buruh yang menyatakan penolakan terhadap RUU Ciptaker.

Untuk "meredam" gelombang demonstrasi kalangan buruh tersebut, pimpinan DPR dan Badan Legislasi​​​​​​​ DPR berusaha mengajak komunikasi organisasi buruh seperti pertemuan DPR dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang digagas Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, yang menyepakati membentuk tim kerja bersama untuk membahas kluster ketenagakerjaan yang ada dalam RUU Ciptaker.

Kelanjutan pembentukan Tim Kerja Bersama itu ditindaklanjuti dengan dibentuknya Tim Perumus untuk menemukan solusi terkait pasal-pasal yang masih dianggap bermasalah dan menjadi perdebatan, misalnya standar dan kriteria masuknya izin tenaga kerja, upah, keamanan pekerjaan, pesangon.

Hal yang patut dicermati dalam pembahasan RUU itu adalah pembahasannya dilakukan saat akhir pekan misalnya ketika membahas dan mengambil keputusan terkait poin-poin yang ada di klaster ketenagakerjaan pada Sabtu (26/9).

Dalam rapat tersebut disepakati sanksi pidana yang sudah ada dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak akan dimasukkan dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM) dalam RUU Ciptaker klaster ketenagakerjaan.

Selain itu, pengambilan keputusan Tingkat I terkait RUU itu pun dilakukan pada Sabtu (3/10) sekitar pukul 23.00 WIB, Badan Legislasi DPR bersama pemerintah menyetujui RUU tersebut dibawa dalam rapat paripurna DPR untuk disetujui menjadi UU.

Sebelum pengambilan keputusan tingkat I itu, tiap-tiap fraksi menyampaikan pendapatnya, dari 9 fraksi hanya dua yang menyatakan menolak persetujuan RUU Ciptaker yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.

Lalu pada Senin (5/10) rapat paripurna dilaksanakan, salah satu agendanya adalah persetujuan RUU Ciptaker menjadi UU, namun dalam rapat tersebut diwarnai aksi keluar ruang sidang atau walk out oleh Fraksi Demokrat.

Namun yang menjadi sorotan adalah Rapat Paripurna tersebut bertepatan dengan agenda penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang I 2020-2021, yang seharusnya dilakukan pada Kamis (8/10) namun dipercepat menjadi Senin (5/10) dengan alasan laju pertambahan Covid-19 di DPR terus meningkat.

Naskah RUU Ciptaker pun menjadi persoalan karena pada saat disetujui, draf yang beredar berjumlah 1.035 halaman, lalu pada 9 Oktober beredar versi naskah 905 halaman.

DPR beralasan pada saat pembahasan di Panitia Kerja RUU Cipta Kerja, margin kertas masih ukuran biasa (A4) lalu ketika draf dibawa ke Sekretariat Jenderal DPR , ketentuan margin harus mengikuti standar yang disepakati UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka, margin kertas diganti menjadi ukuran legal.

Karena itu menjadi alasan DPR saat itu bahwa jumlah halaman naskah RUU saat disetujui berisi 1.035 halaman.

Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, menegaskan bahwa UU Cipta Kerja yang resmi hanya berisi 488 halaman namun apabila ditambah dengan jumlah halaman penjelasan UU itu, total halaman menjadi 812 halaman.

Selanjutnya DPR menyerahkan naskah akhir RUU Cipta Kerja setebal 812 halaman kepada Presiden Joko Widodo pada 14 Oktober 2020 dan akhirnya Presiden Jokowi meneken UU Cipta Kerja pada 2 November 2020 menjadi UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

5. Kinerja Legislasi
DPR bersama pemerintah telah menetapkan jumlah RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 sebanyak 50 RUU. Dalam perkembangannya, pada Juli 2020, Badan Legislasi DPR bersama pemerintah dan DPD menyepakati mengeluarkan 16 RUU dari Prolegnas 2020.

Badan Legislasi​​​​​​​ DPR dan pemerintah juga menyepakati adanya penambahan RUU dalam Prolegnas 2020 yaitu RUU tentang Jabatan Hakim (usulan DPR); RUU perubahan atas UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan (usulan DPR dan Pemerintah); RUU tentang perubahan atas UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (usulan pemerintah).

Selain itu juga mengganti beberapa RUU dalam Prolegnas Prioritas 2020 yaitu Baleg DPR mengganti RUU Penyadapan dengan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pemerintah mengganti RUU tentang Keamanan Laut dengan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

Namun yang menjadi perhatian publik dan politisi di Senayan, dalam keputusan Badan Legislasi​​​​​​​ DPR bersama pemerintah dan DPD itu, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tetap masuk dalam Prolegnas 2020 padahal telah ditolak dari berbagai kalangan masyarakat.

Misalnya menginginkan Tap MPRS Nomor XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme, sebagai landasan atau konsideran dalam RUU HIP.

Selain itu banyak kalangan yang menentang RUU tersebut karena ada kesalahan tafsir terhadap Pancasila dengan upaya mereduksi Pancasila menjadi trisila atau ekasila. Hal itu dikhawatirkan Indonesia bisa kehilangan makna utuh keterkaitan sila-sila Pancasila yang lima, yang merupakan final kesepakatan sebagai dasar negara.

Badan Legislasi DPR menilai RUU HIP tidak bisa langsung dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020, karena saat ini sudah menjadi domain pemerintah. Saat itu, Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly, sudah menjelaskan bahwa pemerintah punya waktu 60 hari kerja setelah DPR mengirimkan draf RUU HIP.

Sebelum batas waktu itu, pemerintah akan mengeluarkan Surat Presiden, isinya bisa membatalkan atau menindaklanjuti RUU HIP.

Selain itu, terkait Prolegnas 2021, Badan Legislasi DPR bersama pemerintah dan DPD telah membahasnya, terakhir dalam Rapat Panja pada 25 November 2020, Baleg telah menginvetarisasi 38 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Dari 38 RUU itu dengan rincian 26 RUU usulan dari DPR, 10 RUU usulan dari pemerintah dan dua RUU usulan dari DPD.

Namun hingga akhir penutupan Masa Sidang II Tahun Sidang 2020-2021 pada 11 Desember 2020, keputusan akhir terkait 38 RUU tersebut belum tercapai sehingga penetapan Prolegnas Prioritas 2021 harus ditunda, paling tidak hingga pembukaan Masa Sidang III yang dimulai pada 10 Januari 2021.

Penundaan penetapan Prolegnas 2021 itu disebabkan karena masih ada tiga RUU yang menjadi perdebatan dan polemik yaitu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU Bank Indonesia.

RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi usul inisiatif anggota DPR tidak lolos dari proses harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan di Badan Legislasi DPR.  Hal itu karena dalam Rapat Panja RUU Ketahanan Keluarga di Badan Legislasi​​​​​​​ DPR, lima fraksi menyatakan menolak RUU itu dan empat fraksi menerima.

RUU HIP juga mendapatkan penolakan dari beberapa fraksi karena dikhawatirkan kalau tetap dilanjutkan pembahasannya akan menimbulkan polemik sehingga membutuhkan kajian yang lebih mendalam.

Sementara itu, terkait RUU Bank Indonesia, enam fraksi meminta RUU itu dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2021 karena materi dalam RUU itu sudah tercakup dalam RUU Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dengan metode omnibus law yang telah masuk dalam 38 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas 2021.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020