Pada 2020 dan 2021 adalah adalah masa konsolidasi bagi masyarakat maupun sektor usaha
Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI pada 2021 bisa mencapai lima persen jika minimal 50 persen masyarakat Indonesia sudah diberikan vaksin COVID-19.

"Di 2021 diprediksikan untuk tumbuh 5 persen itu dengan asumsi 50 persen masyarakat sudah divaksin dan kemudian tidak ada gelombang kedua. Tapi kalau vaksin itu baru sekitar 2 juta ataupun belum sampai 50 persen, diperkirakan pertumbuhan itu 50 persen dari pertumbuhan normal. Jadi, mungkin sekitar 3 persen. Tapi, 3 persen pun menurut saya sudah sesuatu yang lebih baik dibandingkan 2020," ujar Aviliani dalam seminar daring di Jakarta, Senin.

Baca juga: Menkeu revisi proyeksi ekonomi RI 2020 tumbuh negatif 2,2-1,7 persen

Menurut Aviliani, pada 2020 dan 2021 adalah adalah masa konsolidasi bagi masyarakat maupun sektor usaha apakah masih bisa bertahan dengan usahanya yang ada atau mereka harus berubah.

Ia mencermati sebagian besar perusahaan di Indonesia saat ini masih cenderung menunggu pandemi berhenti, padahal situasi menuntut harus cepat berubah.

"Dari restrukturisasi yang hampir mencapai Rp1.000 triliun itu, banyak yang bukan melakukan perubahan. Mestinya, restrukturisasi memanfaatkan dana itu untuk perubahan, bukan hanya sekadar bertahan. Karena kalau hanya sekadar bertahan, mungkin tidak akan survive," kata Aviliani.

Aviliani menambahkan era digital memang membuat kolaborasi dan ekosistem itu tercipta. Menurutnya, siapa yang tidak berekosistem dan tidak berkolaborasi, maka dia akan "mati".

"Karena kalau mereka ingin semuanya sendiri, menurut saya, pertama biayanya sangat mahal. Yang kedua butuh investasi yang terus menerus sehingga break event-nya menjadi panjang dan itu tidak mungkin," ujarnya.

Ia melihat, digitalisasi membantu pelaku usaha untuk dapat meningkatkan pasarnya, misalnya melalui platform e-commerce.

Pelaku usaha diharapkan dapat memanfaatkan pasar tersebut dengan sebaik-baiknya agar tetap bisa bertahan dan terus bertumbuh.

"Kedua, dari sektor keuangan, perbankan. Bank Jago baru saja dibeli oleh Gojek. Itu adalah salah satu contoh kolaborasi, karena Gojek ini sudah punya ekosistem. Sehingga kalau mereka punya bank, itu punya dana murah. Tetapi kalau fintech tidak punya bank atau tidak berkolaborasi dengan bank, maka dia tidak akan bisa mendapatkan dana murah atau dananya terlalu mahal atau bahkan susah mendapatkan dana," kata Aviliani.

Jadi, lanjutnya, fintech memang harus berkolaborasi dengan bank dan bank juga harus berkolaborasi dengan fintech karena mereka sudah punya customer experience.

Menurut Aviliani, kalau tidak memiliki customer experience, maka bank akan sulit untuk mendeteksi calon nasabah baru.

"Karena. ke depan kalau kita bicara hanya dari keuangan perusahannya saja, maka kita hanya akan mendapatkan customernya itu-itu saja. Nah inklusi keuangan bisa terjadi lebih luas kalau, satu, adalah custmer experience," ujarnya.

Sedangkan yang kedua adalah harus ada kebijakan dari pemerintah khususnya untuk dukcapil dan pelayanan publik yang diberikan pemerintah, itu bisa diberikan datanya. Misalnya penggunaan listrik PLN dan penggunaan telepon, untuk melihat karakteristik penduduk.

"Karena, kalau hanya dari sosmed saja, itu masih banyak akun-akun palsu jadi tidak bisa dijadikan database yang bagus. Bisa jadi database ini malah membuat NPL dari fintech-fintech. Makanya fintech berusaha untuk berkolaborasi dengan bank supaya saling memberikan win-win," kata Aviliani.

Baca juga: BI proyeksi ekonomi RI 2020 kisaran negatif 1 - 2 persen
Baca juga: Bank Dunia koreksi proyeksi pertumbuhan RI 2020, jadi minus 2,2 persen

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020