Jakarta (ANTARA) -
Masyarakat Antikorupsi Indonesia ( MAKI) mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan untuk melakukan pencegahan terjadinya kongkalikong alias kerjasama komplotan mafia tanah dengan oknum pejabat BPN.
 
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu, menilai KPK sangat perlu untuk membantu memberantas mafia tanah yang diduga bekerjasama dengan oknum BPN.
 
Hal itu dia sampaikan karena kasus pemalsuan sertifikat tanah seluas 7 hektar lebih di Cakung Jakarta Timur dinilai hanya salah satu dari sekian banyak kasus yang diduga melibatkan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN/ATR).

Baca juga: MAKI lapor ke KPK penyelewengan nilai bansos sembako COVID-19
 
“Saya kira sangat perlu KPK terjun, pak Firli kan selalu bicara pencegahan, buktikan dong,” kata penggiat antikorupsi itu.
 
Ia mengatakan, sertifikat ganda sangat banyak terjadi bukan hanya di Jakarta namun juga di daerah lain di Indonesia.
 
Menurutnya, pembenahan tidak bisa diandalkan dari dalam diri BPN saja. Boyamin juga mengatakan jika KPK menemukan atau mendapat laporan dugaan mafia tanah, hingga pungli, apalagi suap ke BPN harus ditindaklanjuti.
 
Boyamin menyebut oknum BPN yang terlibat bukan hanya sekadar juru ukur dan petugas administrasi saja, namun juga hingga tingkat pejabat. Dia mengatakan, beberapa kali di persidangan terbukti dokumen-dokumen yang seharusnya tidak dikeluarkan oleh BPN, ternyata dikeluarkan.
 
“Di Semarang beberapa waktu lalu level kejaksaan bisa OTT oknum pejabat, malah sampai Kepala (Kantor) BPN ada yang kena. Kalau di persidangan dimana-mana banyak sekali dokumen BPN yang dikalahkan oleh hakim,” ucapnya.
 
Hal senada dikatakan pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar yang mengatakan persoalan tanah yang melibatkan birokrasi oknum pegawai atau pejabat BPN adalah korupsi.
 
“Korupsi dalam kasus pertanahan tidak hanya menyalahgunakan wewenang oleh birokrasi penyelenggara negara, tetapi sudah merugikan negara dan juga merugikan masyarakat, dengan demikian sudah cukup alasan dan dasar bagi KPK untuk mengusut kasus kasus korupsi di BPN dan membersihkannya dari mafia pertanahan,” katanya.

Baca juga: MAKI ajak pemilih tolak pilih kandidat pilkada yang koruptif
 
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan pihaknya sejak lama menuntut KPK ikut turun tangan tidak hanya untuk memberantas mafia tanah di BPN, namun mengungkap korupsi agraria
 
“Kita pernah aksi di depan KPK beberapa tahun lalu, bahkan dua kali," katanya.
 
Waktu itu lanjut Dewi ada sejumlah petani yang punya masalah agraria dengan aset negara, PTPN, ataupun Perhutani.
 
"Artinya ada koruptor di bidang agraria. Tapi selama ini belum ada pergerakan kebijakan atau eksekusi untuk menuntaskan kasus korupsi agraria,” kata dia.
 
Ia mengatakan korupsi agraria itu adalah soal penerbitan izin-izin hak atas tanah berupa HGU.
 
“Apakah badan swasta atau milik negara itu mungkin di lapangan tidak sesuai dengan luasan hak yang diberikan, misalnya ada konsesi yang diberikan di atas haknya 10 ribu hektare tapi di lapangannya 15 ribu hektare. Itu berarti bagaimana laporan keuangannya ke negara? Ini merugikan negara,” ujarnya.
 
Dengan 5 ribu hektare yang tidak sesuai dengan hak, kata dia itu sudah masuk tindak pidana korupsi karena tidak dilaporkan ke negara. Belum lagi, kata Dewi HGU yang kedaluwarsa tapi masih bisa beroperasi.
 
“Kalau tidak ada dasar HGU, dia tidak bisa melampirkan keuntungannya kepada negara. Termasuk menyetorkan kewajiban pembayaran ke negara karena sudah kedaluwarsa, di Jawa tidak pernah ada proses yang serius dari KPK,” tuturnya.
 
Ia meminta KPK pasang mata kepada BPN. Karena kasus sertifikat ganda masih umum terjadi.

Baca juga: Sidang praperadilan beli lahan oleh Pemprov DKI kembali ditunda
 
“Mana yang palsu dan asli itu tidak hanya implikasi hukum atau sah dan tidak sah, tapi ada pidana kolusi dan korupsi, itu harus ditelusuri KPK,” kata dia.
 
Seperti diketahui, kasus pemalsuan sertifikat tanah di Cakung menyeret tiga orang tersangka yakni mantan juru ukur BPN Jakarta Timur Paryoto, Benny Tabalujan dan Achmad Djufri.
 
Saat ini Benny berada di Australia dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Achmad Djufri saat ini sedang menjalani persidangan di PN Jakarta Timur dengan nomor perkara 993/Pid.B/2020/PN Jkt.Tim.
 
Sementara mantan Juru Ukur BPN, Paryoto divonis bebas, namun Jaksa melayangkan Kasasi ke MA. Kasus ini sendiri bermula ketika pelapor Abdul Halim hendak melakukan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) di BPN Jakarta Timur.
 
Saat itu, Abdul Halim terkejut karena pihak BPN mengatakan ada 38 sertifikat diatas tanah milik Abdul Halim dengan nama PT Salve Veritate yang diketahui milik Benny Simon Tabalujan dan rekannya Achmad Djufri.
 
Dalam kasus ini, Polda Metro Jaya menetapkan Benny Simon Tabalujan sebagai tersangka. Benny juga sudah menjadi DPO karena selalu mangkir dari panggilan penyidik.
 
Namun Benny dalam pelariannya menunjuk aktivis HAM Haris Azhar menjadi kuasa hukumnya. Benny juga dilaporkan beberapa pihak lain terkait kasus tanah.

Baca juga: KPK terima salinan berkas perkara Djoko Tjandra dari Kejagung-Polri

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020