Bangui (ANTARA) - Rakyat Republik Afrika Tengah pergi ke tempat pemungutan suara, Minggu, pada pemilihan presiden dan legislatif yang berlangsung dengan nuansa kekerasan ketika pemerintah mencoba untuk menahan gerakan pemberontak.

Milisi yang memusuhi Presiden Faustin-Archange Touadera, yang sedang berupaya mendapatkan masa jabatan kedua, telah meningkatkan serangan sejak mahkamah konstitusi menolak beberapa pencalonan, termasuk mantan Presiden Francois Bozize, awal Desember.

Krisis telah membuat banyak orang di negara berpenduduk 4,7 juta yang kaya akan sumber berlian dan emas itu kelelahan.

Krisis juga menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan kembali ke masa kekerasan terburuk pada masa lalu, yang mencakup lima kudeta dan banyak pemberontakan sejak kemerdekaan dari Prancis pada 1960.

"Selama tiga hari terakhir, saya menjaga anak-anak saya dekat dengan saya," kata Israel Malongou, seorang pengusaha di Ibu Kota Bangui. "Saya ingin pemilu berakhir, siapa pun yang menang, sehingga kita bisa kembali ke kehidupan kita."

Touadera pertama kali terpilih pada 2016 setelah pemberontakan tiga tahun sebelumnya, yang menggulingkan Bozize. Dia telah berjuang untuk merebut kendali sebagian besar negara tersebut dari milisi bersenjata.

Gelombang kekerasan berturut-turut sejak 2013 telah menewaskan ribuan orang dan membuat lebih dari satu juta orang terpaksa mengungsi.

Touadera dianggap favorit dari 17 kandidat yang ada. Penantang utamanya adalah Anicet Georges Dologuele, mantan perdana menteri yang menjadi kandidat dengan suara terbanyak kedua pada 2016 dan didukung oleh Bozize.

Pemilu akan dilanjutkan ke putaran kedua jika tidak ada kandidat yang memperoleh lebih dari 50 persen suara.

Dalam perjalanan kampanye, Touadera telah menggembar-gemborkan kemajuan dalam membangun kembali institusi negara dan menolak seruan oposisi untuk menunda pemilihan.

"Tidak ada krisis kelembagaan. Kita harus melanjutkan pemilihan," katanya pekan lalu.

Touadera dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menempatkan lebih dari 12.800 penjaga perdamaian berseragam di Republik Afrika Tengah, menuduh Bozize berada di balik serangan pemberontak, yang secara singkat merebut kota terbesar keempat di negara itu pekan lalu dan telah menyebabkan gelombang desersi dari tentara.

Pencalonan Bozize ditolak karena dia menghadapi surat perintah penangkapan dan sanksi PBB karena diduga memerintahkan pembunuhan dan penyiksaan saat menjadi presiden.

Bozize membantah tuduhan itu dan partainya mengatakan dia tidak ada hubungannya dengan serangan terbaru oleh pemberontak.

Mitra-mitra keamanan internasional Touadera telah menanggapi kekerasan terbaru dengan mengirimkan pasukan dan peralatan tambahan, termasuk 300 instruktur militer Rusia dan 300 penjaga perdamaian Rwanda.

Sumber: Reuters

Baca juga: AS berlakukan sanksi pada pemimpin milisi Republik Afrika Tengah

Baca juga: Penjaga perdamaian PBB tewas akibat serangan di Republik Afrika Tengah

 

Pemilihan parlemen di Montenegro diwarnai ambiguitas

 

Penerjemah: Aria Cindyara
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020