... itu adalah kebijakan kontroversi yang paling rasional...
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menilai pengeluaran narapidana melalui program asimilasi dan integrasi yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM di tengah pandemi Covid-19 merupakan kebijakan kontroversial tetapi paling rasional untuk dilakukan.

"Kebijakan itu adalah kebijakan kontroversi yang paling rasional," ujar dia, dalam video yang ditayangkan pada sebuah acara webinar di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, jika mengacu kepada UU Pemasyarakatan, narapidana yang berada pada masa asimilasi diperbolehkan untuk bekerja di luar penjara. Idealnya napi tersebut akan kembali ke penjara selepas bekerja.

Namun pada masa pandemi seperti sekarang, napi asimilasi yang keluar masuk penjara membawa risiko penularan Covid-19 yang lebih besar dari biasanya. Terlebih lagi dengan kondisi lapas yang sudah kelebihan kapasitas.

Baca juga: Narapidana asimilasi di Jakbar diharapkan bantu Polri jaga keamanan

"Bisa dibayangkan lapas yang kelebihan kapasitas ketika satu hingga dua orang terjangkit maka bisa seluruh lapas itu terjangkit. Karena apa? Tidak mungkin ada social distance di dalam lapas," ujar dia.

Selain itu, pembebasan napi asimilasi juga berdampak pada berkurangnya kepadatan di dalam penjara meskipun tidak signifikan.

Iapun menilai kebijakan Kementerian Hukum dan HAM ini belakangan menjadi semacam rujukan bagi Kepolisian Indonesia dalam menangani kasus-kasus. Salah satunya dengan mengalihkan status penahanan dari tahanan di rutan menjadi tahanan rumah atau kota.

Kemudian juga adanya sistem penangguhan penahanan dengan jaminan.

Baca juga: Kepala Rutan Cipinang cek 50 rumah narapidana asimilasi

"Artinya apa? Artinya lebih aman ketika Kabareskrim melakukan kebijakan ini karena memang itu terdapat dalam KUHAP. Sementara saya kira dalam konteks yang diambil oleh menkumham ini adalah kebijakan yang paling rasional," kata dia.

Dalam membuat kebijakan itu, dia mengatakan Kementerian Hukum dan HAM sebenarnya dihadapkan pada dua kewajiban yang bertentangan.

Pada satu sisi, Kementerian Hukum dan HAM wajib mematuhi protokol kesehatan sebagai dukungan terhadap negara untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Sedangkan pada sisi lain, Kementerian Hukum dan HAM juga harus patuh pada UU Permasyarakatan.

Kebijakan-kebijakan kontroversial itu pun diambil sebagai jalan tengah antara keduanya dengan risiko seminim mungkin.

"Itu adalah yang mudaratnya lebih kecil," kata dia.

Baca juga: Polisi tangkap narapidana bebas asimilasi karena Corona

Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, juga memiliki pendapat yang sama. Dia mengapresiasi program asmiliasi dan integrasi Kementerian Hukum dan HAM pada masa pandemi Covid-19 ini.

Menurut dia, kekurangan Kemenkumham hanya soal komunikasi publik.

"Saya mendukung penuh ini dengan catatan memang masalahnya adalah soal komunikasi publik yang buruk yang tidak optimal terkait kebijakan yang bagus ini," kata dia.

Menurut dia, program asimilasi ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi masalah kelebihan kapasitas di lapas-lapas yang sudah menjadi masalah klasik di Kementerian Hukum dan HAM.

Baca juga: Narapidana asimilasi di Sulbar dipantau melalui grup WhatsApp

Namun, Kementerian Hukum dan HAM perlu menjelaskan kepada masyarakat sebaik mungkin soal hal ini. Kementerian Hukum dan HAM memiliki kewajiban menjelaskan soal konsep permasyarakatan yang tak sekadar menghukum.

Masyarakat, kata dia, harus memahami bahwa masa asimilasi juga merupakan hak narapidana. Selain itu, mengeluarkan napi asimilasi juga bukan berarti membebaskannya karena narapidana tersebut tetap tercatat tengah menjalani pidana.

"Jadi masyarakat ini sebenarnya harus diberi tahu bahwa konsep pemasyarakatan yang modern itu tidak lagi sekedar menghukum tetapi memulihkan, restoratif," kata dia.

Baca juga: Ini tiga konsekuensi narapidana asimilasi terlibat kejahatan

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020