Jakarta (ANTARA) - Jelang akhir 2020, publik dikejutkan dengan ditetapkan-nya Menteri Sosial saat itu Juliari Peter Batubara (JPB) bersama empat orang lainnya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek Tahun 2020.

Juliari diduga menerima suap senilai Rp17 miliar dari "fee" pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di Jabodetabek yang diduga dipergunakan untuk keperluan pribadi-nya.

KPK sebenarnya telah mengidentifikasi titik rawan korupsi penyelenggaraan bansos seperti pengadaan barang/jasa yang rawan terjadi kolusi, "mark-up" harga, "kickback", konflik kepentingan, dan kecurangan.

Selanjutnya, filantropi atau sumbangan pihak ketiga yang berpotensi terjadi kerawanan pada pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan, dan penyelewengan bantuan. Kemudian, titik rawan pada "refocusing" dan realokasi anggaran COVID-19 untuk APBN dan APBD.

KPK pada Mei 2020 juga telah meluncurkan fitur "JAGA Bansos" yang dapat digunakan masyarakat untuk melaporkan dugaan penyimpangan atau penyalahgunaan bantuan sosial dalam penanganan pandemik COVID-19.

"JAGA Bansos" dapat diakses melalui aplikasi mobile dengan mengunduh di Play Store dan Apps Store maupun akses di laman https://jaga.id. Melalui "JAGA Bansos", KPK meneruskan laporan masyarakat kepada pemerintah daerah terkait serta menjadi kanal untuk mengajak masyarakat berperan aktif dalam pencegahan korupsi.

Hingga 18 Desember 2020, total keluhan yang disampaikan oleh masyarakat melalui fitur "JAGA Bansos" mencapai 2.129 laporan yang selanjutnya disampaikan dan diteruskan ke pemerintah daerah serta kementerian/lembaga terkait.

KPK juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan berupa Surat Edaran dan Surat Pimpinan, yakni Surat Edaran Pimpinan KPK Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga: KPK pantau penyaluran bansos 2021

Baca juga: KPK telusuri proses PT Tigapilar Agro Utama jadi distributor bansos


Bahwa pengadaan barang/jasa tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip pengadaan barang/jasa pada kondisi darurat yaitu efektif, transparan, dan akuntabel dan tetap berpegang pada konsep harga terbaik (value for money) sebagaimana Pasal 4 Perpres 16 Tahun 2018.

Selanjutnya, Surat Edaran Pimpinan KPK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Data Non-DTKS dalam pemberian bansos kepada masyarakat.

Pemberian bansos oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah harus menggunakan rujukan DTKS, pembaharuan DTKS harus terus dilakukan untuk memastikan ketepatan sasaran dan kesesuaian terhadap peraturan yang berlaku, memadukan data penerima dengan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) guna menghindari data ganda/fiktif.

Selanjutnya, keterbukaan akses data guna transparansi dan akuntabilitas sesuai peraturan yang berlaku serta peningkatan peran serta masyarakat melalui penyediaan layanan pengaduan.

Terakhir selain surat edaran, KPK juga telah menerbitkan Surat Pimpinan KPK Nomor B/1939/GAH.00/01-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat oleh Lembaga Pemerintah.

Saat jumpa pers "Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi 2020" akhir Desember 2020 lalu, penanganan COVID-19 juga menjadi fokus area KPK pada 2021 yang tidak terlepas dari Rencana Strategis KPK 2020-2024 serta disesuaikan dengan Rencana Kerja Pemerintah 2021 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2020 dalam menanggapi bencana pandemik COVID-19 melalui tema "Mempercepat Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Sosial".

Oleh karena itu, Ketua KPK Firli Bahuri saat itu memastikan KPK tetap mengawal realokasi anggaran dan pelaksanaan "refocusing" kegiatan pemerintah terkait penanganan pandemik COVID-19 yang berpotensi menimbulkan kerugian negara maupun rawan terjadinya penyalahgunaan atau korupsi.

Tetap Pantau
KPK juga memastikan tetap memantau penyaluran bansos meskipun Presiden Joko Widodo telah mengubah bentuk bansos yang semula dalam bentuk sembako menjadi uang tunai.

Presiden pada Senin (4/1) resmi meluncurkan program bantuan tunai se-Indonesia untuk tahun 2021 di 34 provinsi melalui Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, dan Bantuan Sosial Tunai (BST).

"Tahun 2021 ini penyaluran bantuan sosial akan terus kami lanjutkan dan dalam APBN 2021 telah disiapkan anggaran sebesar Rp110 triliun untuk seluruh penerima dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote," kata Presiden.

Presiden juga mengingatkan jajaran kementerian dan kepala daerah untuk memastikan agar seluruh bantuan tunai diterima masyarakat secara utuh dan tidak dikenai potongan sedikit pun.

Presiden meminta agar seluruh masyarakat penerima bantuan tunai mengetahui secara detil bahwa tidak ada potongan sama sekali dalam penyaluran bantuan tersebut.

Lembaga-lembaga penyalur bantuan seperti bank-bank milik pemerintah yang tergabung dalam Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara) dan juga PT Pos Indonesia, kata Presiden, akan mengirimkan bantuan tunai ini ke masyarakat tanpa ada potongan apapun.

Terkait hal itu, Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan lembaganya akan segera berkoordinasi kembali Kemensos.

Baca juga: KPK panggil staf Tiga Pilar Agro Utama kasus suap Juliari Batubara

Baca juga: KPK harap Mensos Risma berkoordinasi terkait bansos


KPK pun berharap perbaikan dalam skema penyelenggaraan bansos akan meningkatkan efektivitas penyaluran yang lebih tepat sasaran dan tepat guna serta menutup potensi terjadinya "fraud" yang dapat mengarah pada tindak pidana korupsi.

Kendati demikian, KPK masih menemukan persoalan utama dalam penyelenggaraan bansos, yaitu akurasi data penerima bantuan yang meliputi kualitas data penerima bantuan, transparansi data maupun pemutakhiran data.

Soal pengelolaan data di Kemensos, pada akhir 2020 KPK telah menyampaikan hasil kajian tentang pengelolaan bansos dan telah memberikan rekomendasi perbaikan.

Terkait kualitas data penerima bantuan, misalnya, KPK mendapatkan bahwa DTKS tidak padan data dengan NIK dan tidak diperbaharui sesuai data kependudukan.

Hasil pemadanan DTKS dengan data NIK pada Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri pada Juni 2020 masih ada sekitar 16 juta yang tidak padan dengan NIK.

Selain itu, data penerima bantuan regular seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK) tidak merujuk pada DTKS. Hal itu disebabkan oleh proses pengumpulan data yang tidak didesain berbasis NIK sejak awal. Kemudian, adanya tumpang tindih penerima bansos.

Berdasarkan pemadanan yang dilakukan di internal Kemensos masih ditemukan data ganda pada penerima bantuan sembako/BPNT. Demikian juga berdasarkan pengelolaan data bansos di beberapa daerah, KPK menemukan masih terdapat penerima bansos regular yang juga menerima bantuan terkait COVID-19 seperti bantuan sosial tunai dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa.

KPK mendorong pemadanan NIK dan DTKS sebagai persyaratan penyaluran bansos untuk memperbaiki kualitas data penerima bansos.

KPK juga merekomendasikan Kemensos agar memperbaiki akurasi DTKS, melakukan perbaikan tata kelola data, termasuk mengintegrasikan seluruh data penerima bansos di masa pandemik dalam satu basis data.

Dalam upaya perbaikan sistem administrasi dalam penyelenggaraan bansos, tahun ini KPK juga akan melanjutkan kajian terkait bansos. Selain penyaluran bansos, KPK juga menyatakan akan mengawal anggaran vaksinasi COVID-19 agar tidak menimbulkan kerugian keuangan negara.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan lembaganya juga memberikan perhatian bukan hanya dalam kerangka penanggulangan dampak sosial maupun ekonominya akibat COVID-19 tetapi yang paling utama adalah penanggulangan dampak kesehatannya.

"Mulai dari pengadaan alkesnya, termasuk kalau saat ini kalau sudah ditemukan ada vaksinnya tentu KPK akan mendampingi bagaimana agar kemudian vaksin ini efektif menyembuhkan COVID-19 tetapi juga efisien tidak kemudian menimbulkan kerugian-kerugian negara," tutur Ghufron.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, menugaskan KPK melakukan tindakan-tindakan pencegahan, koordinasi, dan monitoring sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.

Itu pula yang dilakukan KPK dalam penanganan COVID-19 agar bantuan yang disalurkan benar-benar dirasakan masyarakat dan tidak dimanfaatkan oleh "oknum-oknum" yang mencoba mengambil keuntungan.

Baca juga: KPK panggil satu saksi terkait suap pengadaan bansos

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021