Dia tidak ngotot berkuasa karena alasan kebebasan, keadilan, persaudaraan, dan kesetaraan yang menjadi spirit Amerika, melainkan semata demi menurutkan nafsu buas berkuasa.
Egoistis

Itu baru dari sudut statistik politik di AS. Dari perspektif yang lebih hakiki seperti latar belakang norma demokrasi, Republik kemungkinan besar tak akan lagi memilih Trump guna menghadapi Joe Biden atau Kamala Harris atau siapa pun dari Demokrat nanti pada pemilu 2024.

Itu bukan saja karena sudah terlalu banyak tokoh Republik yang lelah oleh sepak terjang Trump, namun juga karena langkah-langkah Trump sendiri kian merusak citra Republik, terutama dalam menjaga kemajemukan dan kepantasan demokrasi yang tak ditunjukkan oleh Trump.

Untuk itulah pada pemilu November lalu ratusan tokoh Republik balik badan tak mau mendukung Trump. Ini termasuk mantan presiden George W. Bush dan dua mantan menteri luar negeri Condoleezza Rice dan Colin Powell.

Ketika Trump tak mau mengakui kekalahan atas Biden dan malah menuding pemilu telah dicurangi, daftar tokoh Republik yang sikapnya berseberangan dengan dia kian banyak saja.

Baca juga: Pengadilan AS tolak gugatan yang minta Pence batalkan kemenangan Biden

Bahkan itu termasuk sejumlah gubernur dari Republik seperti Gubernur Massachusetts Charlie Baker dan Gubernur Maryland Larry Hogan, selain juga para senator dan anggota DPR dari Republik, serta para mantan tokoh Republik terkenal seperti Senator Mitt Romney, Senator Marco Rubio, Senator Susan Collins, mantan ketua DPR Paul Ryan, mantan penasihat keamanan John Bolton dan mantan wakil presiden Dan Quayle.

Tetap saja, semua itu tak membuat Trump surut menuding pemilu telah dicurangi tanpa disertai bukti. Dia bahkan bagai banteng ketaton melabrak sekutu-sekutunya sendiri di Partai Republik, termasuk Wakil Presiden Mike Pence dan Pemimpin Mayoritas Senat Mitch McConnel.

Dia menekan para gubernur dan pejabat teras di beberapa negara bagian medan tempur yang menentukan kemenangan pemilu seperti Wisconsin, Pennsylvania, Arizona, dan Georgia agar tak mensertifikasi hasil pemilu.

Dan ketika partainya berjuang habis-habisan di Georgia guna memenangkan pemilu Senat putaran kedua awal Januari ini yang menentukan komposisi Senat yang amat penting bagi Republik dan sangat menentukan operasi pemerintahan Biden nanti, Trump tetap egoistis dengan tak mengajak warga Georgia berduyun-duyun ke bilik suara guna memenangkan dua kursi Senat dari negara bagian ini.

Dia malah mengoceh soal pemilu curang yang justru membuat pemilih Republik enggan menyalurkan suara karena merasa tak ada gunanya karena tokh nanti dicurangi. Manuver Trump ini menyulitkan partainya bergerak di Georgia yang malah sejak lama menjadi basis suara Republik.

Tak heran sebelum pemilu putaran kedua di Georgia digelar, sejumlah tokoh Republik mengatakan seandainya mereka kalah maka orang yang paling pantas disalahkan adalah Trump.

Dan dua petahana dari Republik pun, yakni senator Kelly Loeffler dan senator David Perdue, tersungkur di tangan dua calon Demokrat, yakni Raphael Warnock dan Jon Ossoff.

Bahkan kekalahan di Georgia ini tak menghentikan Trump untuk menuding pemilu curang, sampai-sampai dia menganjurkan pendukungnya menyerbu Capitol untuk menekan anggota Kongres dari Republik agar tidak mensertifikasi hasil pemilihan presiden lalu.

Selanjutnya: Trump memalukan
 

Copyright © ANTARA 2021