Washington/Seattle/Chicago (ANTARA) - Boeing Co bersedia membayar kompensasi sebesar 2,5 miliar dolar AS (sekitar Rp34,95 triliun) untuk keluarga korban dua kecelakaan pesawat Boeing 737 MAX di Indonesia dan Ethiopia, kata Departemen Kehakiman Amerika Serikat, sebagaimana dipantau Jumat.

Namun sebagai gantinya, perusahaan asal AS itu tidak lagi diwajibkan untuk mengaku bersalah dan dibebaskan dari gugatan pidana atas dua kecelakaan tersebut.

Kompensasi senilai triliunan rupiah itu di antaranya mencakup denda pidana sebesar 243,6 juta dolar AS (sekitar Rp3,4 triliun), kompensasi untuk penumpang pesawat Boeing 737 MAX 1,77 miliar dolar AS (sekitar Rp24,74 triliun), kata Departemen Kehakiman AS. Boeing Co juga mengalokasikan dana sebesar 500 juta dolar AS (sekitar Rp7 triliun) untuk keluarga korban kecelakaan pesawat.

Insiden jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX pertama kali terjadi di Indonesia pada 2018, kemudian di Ethiopia pada 2019. Dalam selang waktu lima bulan, dua pesawat Boeing 737 MAX gagal terbang dan jatuh, menyebabkan 346 penumpang, pilot, dan awak kabin tewas.

Kecelakaan tersebut tidak hanya mencoreng nama AS sebagai pemimpin dalam industri penerbangan dunia, tetapi juga membuat Boeing merugi sampai 20 miliar dolar AS (sekitar Rp279,6 triliun). Tidak hanya itu, rangkaian penyelidikan pun dibuat untuk mengetahui sebab dua kecelakaan pesawat tersebut.

Tim penasihat hukum yang mewakili keluarga korban kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines mengatakan mereka tetap melanjutkan gugatan perdata untuk Boeing di Chicago.

"Berbagai tuduhan yang ditangguhkan ini hanya ujung dari puncak gunung es dari kesalahan Boeing," kata penasihat hukum lewat pernyataan tertulisnya.

Boeing masih menghadapi 140 gugatan hukum yang dilayangkan oleh keluarga korban kecelakaan Ethiopian Airlines. Produsen pesawat AS itu telah menyelesaikan sebagian besar gugatan hukum yang dilayangkan oleh keluarga korban kecelakaan Lion Air di Indonesia.

Akibat kecelakaan tersebut, Kongres AS pada Desember 2020 mengesahkan undang-undang yang memperbarui cara Badan Penerbangan Federal (FAA) memberi izin/sertifikat terhadap pesawat baru.

Pelaksana Tugas Asisten Jaksa Agung David P. Burns mengatakan kecelakaan tragis tersebut "mengungkap perilaku curang dan menipu yang dilakukan oleh karyawan salah satu pembuat pesawat komersial yang terkemuka di dunia".

"Sekelompok oknum Boeing itu memilih untuk memperkaya diri dengan keuntungan besar, tetapi gagal memberikan informasi yang transparan mengenai operasional pesawat 737 MAX dan mereka juga berusaha menutupi kecurangan tersebut," kata Burns.

Boeing memperkirakan pihaknya akan kembali mengucurkan dana tambahan sebesar 743,6 juta dolar AS (sekitar Rp10,4 triliun), yang merupakan bagian dari kompensasi untuk korban, pada kuartal keempat tahun ini.

Pesawat Boeing jenis 737 MAX sempat tidak diizinkan beroperasi pada Maret 2019. Namun, larangan terbang itu dicabut pada November 2020 setelah Boeing melakukan sejumlah perbaikan pada masalah keamanan dan pelatihan pilot.

Boeing dituduh terlibat dalam konspirasi menipu otoritas penerbangan di AS. Namun, perusahaan itu dan otoritas terkait di AS telah menyepakati perjanjian bahwa tuntutan hukum terhadap Boeing akan ditangguhkan selama tiga tahun. Gugatan terhadap Boeing juga mungkin dicabut jika perusahaan itu menaati seluruh isi perjanjian.

Dokumen persidangan menunjukkan Boeing mengaku dua pilot teknisnya untuk pesawat 737 MAX telah menipu FAA mengenai kesiapan sistem keamanan yang disebut dengan nama MCAS. Kegagalan sistem keamanan itu yang jadi salah satu penyebab jatuhnya dua pesawat 737 MAX.

Direktur Utama Boeing David Calhoun lewat pernyataan tertulisnya perjanjian yang telah dibuat pihak perusahaan "mengakui secara proporsional bagaimana kami gagal memenuhi nilai-nilai perusahaan dan harapan (konsumen, red)".

Perjanjian penangguhan tuntutan yang disepakati itu turut membahas insentif untuk pelatihan bagi para pilot, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan waktu simulasi tambahan. Tuntutan untuk memiliki tambahan waktu simulasi seringkali menyebabkan maskapai penerbangan enggan membeli pesawat baru.

Reuters sempat menyiarkan berita bahwa ada beberapa manajer Boeing yang telah memberi tahu teknisi 737 MAX dan MCAS bahwa desain mereka tidak sesuai dengan aturan pelatihan yang komprehensif sebagaimana diwajibkan oleh FAA.

Seorang karyawan pada 2014 melaporkan jika FAA mewajibkan adanya pelatihan untuk tingkat yang lebih tinggi, maka Boeing harus mengeluarkan biaya sampai jutaan dolar AS.

Denda sebesar 243 juta dolar AS dinilai setara dengan jumlah uang yang dihemat Boeing karena tidak menggelar adanya pelatihan simulasi lengkap untuk pesawat 737 MAX, demikian isi dokumen perjanjian. Departemen Kehakiman AS menyebut besaran denda hanya menyentuh "batas bawah" atau jumlah minimal dari yang ditetapkan pemerintah.

Sementara itu terkait kegagalan sistem keamanan pesawat (MCAS), Boeing mengatakan pihaknya telah membuka informasi yang dibutuhkan oleh penyelidik dari FAA yang bertugas memeriksa MCAS pesawat 737 MAX.

Departemen Kehakiman mengatakan pihaknya tidak menunjuk pihak tertentu untuk jadi pengawas independen, karena "penyimpangan itu tidak dilakukan oleh seluruh pegawai Boeing, atau dilakukan oleh sebagian besar pegawai, atau difasilitasi oleh manajemen".

Dewan pengawas Boeing pada akhir 2019 mencopot direktur utama perusahaan dan membentuk komite keselamatan dirgantara yang bersifat tetap. Boeing juga telah meluncurkan kebijakan dan prosedur baru, serta menggelar pelatihan untuk memastikan pilot teknis dan otoritas penerbangan tiap negara punya pemahaman yang sama mengenai operasional pesawat tertentu.

Sumber: Reuters

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021