Presiden Jokowi meminta agar proses vaksinasi dipercepat hanya menjadi 12 bulan, padahal Menkes Budi Gunadi menyatakan waktu vaksinasi COVID-19 adalah 15 bulan.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan kendala vaksinasi COVID-19 berada di ketersediaan vaksin, bukan terkait pelaksanaan pemberian vaksin.

"Pak Presiden mengharapkan 12 bulan, kami berencana dari awal 15 bulan. Isu yang paling utama sebenarnya bukan di kapasitas vaksinasi tapi di ketersediaan vaksin," kata Menkes Budi Gunadi Sadikin di gedung KPK Jakarta, Jumat.

Budi Gunadi menyampaikan hal tersebut seusai pertemuan antara dirinya, Menteri BUMN Erick Thohir, dua pimpinan KPK Alexander Marwata dan Lili Pintauli Siregar, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan serta sejumlah pejabat terkait lain seperti Irjen Kemenkes Murti Utami dan Dirut Bio Farma Honesti Basyir.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi meminta agar proses vaksinasi dipercepat hanya menjadi 12 bulan, padahal Budi Gunadi menyatakan waktu vaksinasi COVID-19 adalah 15 bulan.

Budi Gunadi mengaku sudah menghitung kapasitas vaksinasi dengan sejumlah metode, pertama dengan menghitung berdasarkan jumlah klinik, puskesmas dan rumah sakit.
Baca juga: Pengamat dorong sosialisasi vaksin demi tingkatkan kepercayaan warga

"Kalau (fasilitas kesehatan) yang kecil bisa 100 suntikan per hari, yang besar 300 suntikan per hari. Kita hitung oh ternyata bisa 32 juta suntikan per bulan, artinya untuk (target) 181 juta orang harusnya 6-7 bulan selesai," ungkap Budi Gunadi.

Cara kedua adalah dengan menghitung berdasar jumlah vaksinator atau orang yang bisa menyuntik vaksin.

"Kita sekarang punya 30 ribu vaksinator, sekarang sedang dalam proses dilantik, masing-masing orang bisa antara 30- 40 suntikan per hari, 30 dikali 30 ribu vaksinator artinya 900 ribu orang per hari atau 27 juta orang per bulan, jadi untuk 181 juta (target yang disuntik) harusnya selesai dalam waktu 8 bulan," tambah Budi Gunadi.

Artinya yang jadi masalah tinggal jumlah vaksinnya saja.

"Kalau pak pres minta 12 bulan yang kami lakukan bagaimana menegosiasi supaya jumlah vaksin datang lebih cepat," ungkap Budi Gunadi.

Terkait pengadaan alat vaksinasi, menurut Budi Gunadi juga tidak semua dilakukan Kementerian kesehatan tapi didistribuskan ke masing-masing kepala dinas di provinsi untuk membeli peralatan sedangkan Kemenkes hanya mengirimkan vaksin.

"Jadi lebih desentralisasi, harusnya dengan demikian negosiasi korupsi skala besar harusnya bisa terhindari. Kita dibantu Kementerian BUMN semua vaksin ada 'barcodeny' sehingga nanti tahu siapa yang disuntik," tambah Budi Gunadi.
Baca juga: Biofarma sebut tak ada kendala distribusi vaksin ke seluruh Indonesia

Terkait distribusi vaksin, menurut Budi, sudah ada 1,3 juta vaksin Sinovac yang didistribusikan dan sampai dengan baik terutama vaksin yang butuh penyimpanan dengan suhu 2-8 derajat celcius.

"Memang ada yang butus minus 70 derajat itu dari Pfizer tapi rencana kontraknya sampai di titik vaksinasi dan mereka menyanggupi asal ada airport," kata Budi Gunadi.

Pemerintah diketahui sudah mengonfirmasi pemesanan 329,5 juta dosis vaksin COVID-19 dari berbagai produsen.

Pertama dari perusahaan farmasi Tiongkok Sinovac 125,5 juta dosis; kedua dari pabrikan vaksin Amerika Serikat-Kanada Novavax sebesar 50 juta dosis; ketiga dari kerja sama multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI) sebesar 50 juta dosis; keempat dari pabrikan Inggris AstraZeneca sebanyak 50 juta dosis; dan kelima perusahaan farmasi gabungan Jerman dan Amerika Serikat Pfizer BioNTech sebesar 50 juta.
Baca juga: BPOM awasi kualitas vaksin COVID-19 Sinovac hingga ke daerah

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021