Yogyakarta (ANTARA) - Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) kerap kali disebut sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Salah satu buktinya, UMKM lah yang ditengarai berjasa menopang perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998.

Di masa pandemi COVID-19, negara kembali membutuhkan kekuatan UMKM untuk memulihkan kondisi perekonomian karena sektor itu memiliki kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.

Harapan itu  bukan tanpa syarat. Berbagai pihak, tak terkecuali pemerintah, perlu bahu membahu mendukung dan menjaga sektor itu terus bergeliat sehingga kembali mampu menyelamatkan negara dari potensi krisis.

Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Mudrajad Kuncoro mengatakan meski memiliki daya tahan lebih kuat dibanding srektor lain, UMKM kerap menghadapi masalah. Utamanya yang mendasar adalah terkait akses permodalan, akses pasar, serta aspek manajerial maupun peningkatan kapasitas usaha.

Berbagai masalah itu, menurut dia, perlu direspons dengan memfasilitasi inkubator bisnis. Melalui inkubator itu, baik pelaku usaha rintisan (startup) maupun yang sudah lama memungkinkan mendapatkan akses permodalan dari jaringan yang dimiliki inkubator bisnis.

Akses pinjaman modal acap kali jadi batu sandungan pelaku UMKM, khususnya startup karena mereka dianggap sektor usaha yang "unbankable" atau tidak memiliki agunan yang memadai untuk mengajukan pinjaman ke bank.

Setelah memberikan akses permodalan, inkubator bisnis biasanya juga memberikan pendampingan sampai UMKM mitra bisa menjadi perusahaan yang berkelanjutan.

Lebih dari itu, keberadaan inkubator bisnis amat penting untuk mendorong UMKM bisa naik kelas dengan memperluas akses pasar mereka. Pasalnya, Sebagian besar pelaku UMKM di Tanah Air masih berorientasi domestik dengan membatasi pasar mereka hanya di lingkup kabupaten atau provinsi saja.

Menurut Mudrajad, setiap tahun paling tinggi hanya 15-20 persen UMKM yang melakukan kegiatan ekspor, selebihnya masih didominasi pelaku usaha besar.

Untuk mendorong UMKM naik kelas, inkubator juga dapat membimbing mereka memperbaiki manajemen bisnis. Misalnya, membantu mereka memisahkan antara keuangan perusahaan dengan keuangan keluarga, mengingat sebagian besar UMKM merupakan sektor bisnis berbasis usaha.
Pelaku ekonomi kreatif asal Pontianak Syafril Pink menunjukan jaket kulit tenun Dayak yang dijualnya seharga Rp699 Ribu di salah satu stan Pameran UMKM Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2020 di Pendopo Gubernur di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (31/8/2020). Pameran yang digelar Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Barat tersebut bertujuan untuk memperkenalkan karya kreatif UMKM lokal binaan Inkubator Bisnis Bank Indonesia (Inkubbi). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/wsj.
Tugas bersama

Penyelenggaraan inkubator bisnis bukan hanya tugas pemerintah melalui dinas terkait di daerah. Fasilitas itu sebaiknya ikut diinisiasi oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Perguruan tinggi memungkinkan menggalang SDM yang dimiliki untuk membina UMKM. Sementara BUMN dapat menyokong dengan memberikan akses pendanaan melalui dana CSR atau Program Kerja Bina Lingkungan (PKBL).

Senada dengan Mudrajad Kuncoro, Rektor Universitas Widya Mataram Prof. Edy Suandi Hamid menilai inkubator bisnis memiliki posisi penting membantu UMKM kembali berdaya membangkitkan perekonomian nasional.

Edy yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Islam Indonesia (UII) berharap inkubator bisnis bisa mencari solusi terkait persoalan pemasaran UMKM, termasuk dalam optimalisasi pemanfaatan sarana digital untuk memperluas akses pasar.

Melalui inkubator bisnis, misalnya, pelaku UMKM bisa mempelajari cara memanfaatkan media sosial sebagai sarana pemasaran. Bukan secara asal-asalan tetapi dengan standar yang telah ditentukan sehingga produk yang dipasarkan lebih efektif menggaet minat konsumen.

Pada masa pandemi ini, 80 persen persoalan UMKM adalah terkait pemasaran.

Problem akses pemasaran sangat dirasakan UMKM di DIY. Sebagai kota wisata serta pendidikan, tentu sangat bergantung dengan kunjungan wisata serta kedatangan para mahasiswa yang kini masih mengikuti perkuliahan secara daring dari kediaman masing-masing.

Inkubator bisnis tak melulu tugas pemerintah. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab yang besar membina UMKM di Tanah Air melalui program pengabdian masyarakat.

Dengan kapasitas yang dimiliki setiap perguruan tinggi memungkinkan menginisasi inkubator bisnis di setiap fakultas.

Jika seluruh perguruan tinggi di Tanah Air memiliki kepedulian yang sama, tentu jumlah inkubator bisnis akan sangat memadai untuk mempercepat UMKM naik kelas.

Meski keberadaan inkubatior bisnis masih belum optimal, ia yakin UMKM tetap mampu melalui krisis di masa pandemi COVID-19 karena mereka memiliki proses bisnis yang lebih fleksibel dibandingkan perusahaan besar.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kebutuhan inkubator bisnis ini telah direspons pemerintah daerah melalui Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) DIY. Inkubator kewirausahaan telah diwujudkan dengan model pendampingan dan pemberdayaan sejak 2018.

Setiap tahun sebanyak 200 UMKM di DIY telah mengikuti seleksi untuk menjadi peserta inkubasi, hingga terpilih 15 peserta. Namun, kegiatan itu saat ini telah dihentikan sementara karena pandemi COVID-19.

Kepala Bidang Layanan Kewirausahaan Dinas Koperasi dan UKM DIY Wisnu Hermawan mengatakan inkubator bisnis secara prinsip mendorong UMKM untuk naik kelas. Materi yang disajikan mulai dari teknik pengemasan, produksi, selera pasar, bisnis digital, sampai akses permodalan.

Salah seorang pelaku UMKM asal Yogyakarta, Rahayu Widowati berharap mendapatkan pendampingan melalui inkubator bisnis baik dari pemerintah maupun asosiasi nonpemerintah.

Kendati bisnis yang ia rintis sudah berjalan, pemilik bisnis susu kedelai ini mengaku masih membutuhkan pendampingan untuk meningkatkan keterampilan atau kapasitas SDM dengan harapan membuat usahanya lebih cepat naik kelas.
 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021