Jakarta (ANTARA) - Ada kearifan lama masyarakat Jawa mengenai tabu di saat-saat seorang ibu mengandung jabang bayi.

Ketika istri hamil, sang suami dilarang keras untuk membunuh. Semua hewan, baik yang jinak maupun yang buas atau membahayakan.Tikus tak boleh dibunuh. Juga ular yang tersesat masuk di kolong tempat tidur.

Tentu tabu tidak mutlak. Apa sih yang mutlak di jagat ini, kecuali yang transendental? Artinya, jika sang suami berprofesi nelayan, tak mungkin dia mengelak untuk tak membuat ikan terkapar dan mampus. Di sini ada penjelasannya. Yang dilarang bukan membunuh sembarang membunuh.

Jika anda penjual pecel lele dan harus mengiris leler ikan itu sebelum menggaraminya, itu tak masuk dalam definisi membunuh. Ini beda dengan bila ada tikus sedang terjebak di bak mandi. Bila anda menghantamnya hingga tewas, anda membunuh hewan itu. Solusi? Suruhlah salah satu anggota keluarga anda (selain istri yang sedang hamil) atau orang lain untuk membunuh binatang pengerat itu, yang kadang memicu penyakit sirosis hati.

Kira-kira apa argumen dari tabu seperti itu? Semua orang bisa menjawab pertanyaan itu. Cukup secara intuitif. Membunuh adalah salah satu bentuk kekerasan. Korban pasti merasakan sakit, teraniaya. Pada umumnya, bukan cuma orang Jawa, yang meyakini hukum karma. Sedikitnya percaya hukum keemasan, "golden rule", yang dikandung dalam dogma banyak agama: jangan menyakiti jika tak ingin disakiti. Atau tepatnya: perlakukan orang lain seperti kau ingin diperlakukan orang itu.

Tabu itu agaknya hendak berpesan: Ketika sepasang suami dan istri (yang membunting) berlaku penuh kasih kepada sesama makhluk, orok yang lahir kelak dipercaya menerima kasih sayang balasan dari semesta.

Kearifan Jawa ini--mungkin juga jadi kultur etnis lain--jelas punya ekses. Apa pun, termasuk tabu, terbuka mengandung sisi eksesif. Contoh, saat ada anak yang tewas digigit ular, akan ada yang berkomentar: "Dulu waktu anak itu dikandung ibunya, bapaknya pasti membunuh ular".

Di masa ketika pemerintah mencanangkan gerakan revolusi mental, agaknya tabu tentang ibu hamil itu bisa dimanfaatkan sisi positifnya.

Baca juga: Wakil Ketua KPK: Tiga metode Indonesia bersih dari korupsi

Elstensifikasi tabu
Di tengah perhatian publik pada problem korupsi, tabu membunuh itu bisa diperluas, diekstensifikasi ke arah nilai-nilai tabu mencuri, tabu berbohong.

Ajaran moral memang melarang manusia untuk mencuri dan berbohong. Kapan pun, bukan situasional. Namun, memberi tekanan pada ajaran moral itu, teristimewa di kala seorang ibu mengandung oroknya, dengan mewanti-wanti sang suami untuk tidak mencuri dan atau berbohong dalam segala bentuknya, dengan nawaitu agar kelak sang anak punya integritas luhur agaknya perlu dilembagakan secara internal personal.

Asumsi dasar atau argumen perlunya menabukan sang suami (termasuk sang istri, tentunya) mencuri dan berbohong dalam arti seluas-luasnya di saat sang belahan jiwa mengandung juga punya landasan religius. Ini bisa ditemukan pada pesan profetik yang berbunyi: Janganlah memberi makan anak istrimu dari nafkah yang diperoleh secara haram. Nafkah yang diperoleh dari mencuri dan menipu.

Memulai sejak masa kandungan untuk melahirkan individu anti korupsi jelas lebih radikal dibandingkan ide yang selama ini disosialisasikan: mengenalkan nilai-nilai kejujuran pada anak sejak dini. Tentu penanaman nilai ini mutlak dilakukan ketika sang orok lahir dan bertumbuh menjadi anak-anak.

Tabu mencuri dan menipu di saat istri mengandung selama ini belum menggaung baik di kalangan komunitas urban maupun adat. Bagi mereka yang menjalankan ajaran agama secara kafah tentu tak perlu lagi diperkenalkan tabu ini.

Larangan berupa "nahi munkar" itu sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Namun, bukankah semakin afdol jika tabu itu dipertegas, diberi aksentuasi dalam mengamalkan hidup yang lurus, di kala seorang istri sedang mengandung.

Perkara korupsi di sebuah negeri memang kompleks. Telaah ihwal ini sudah dilakukan berbagai disiplin ilmu sejak studi pembangunan berkembang pesat di dekade 60-70. Bahkan secara ironis muncul jargon "budaya korupsi". Ini istilah atau frasa yang kontradiktif alias paradoksal.

Bagaimana mungkin istilah "budaya" yang merujuk pada karya cipta dan nilai yang membangun, membuat masyarakat beradab dan maju berpadu dengan "korupsi", nilai dan aksi yang destruktif.

Baca juga: Ketua KPK: Merdekanya suatu bangsa bersih dari segala bentuk korupsi

Juga ironis ketika muncul proposisi bahwa korupsi bagaikan pelumas yang berfungsi melancarkan beragam urusan pembangunan. Proposisi ini agaknya muncul dari akademisi yang mencoba berdamai dengan rezim yang sedang berkuasa, yang nyata-nyata melakukan korupsi masif di berbagai lapisan birokrasi.

Kini tak satu pun teori yang mengamini proposisi itu. Sudah ada kesepakatan: korupsi, dalam dirinya sendiri, dalam segala bentuknya jahat!

Godaan korupsi tak pernah absen dalam tahap-tahap perkembangan hidup manusia. Ego mengutamakan diri sendiri, dengan mengabaikan prinsip keadilan, agaknya dialami manusia sejak dini. Anak-anak, terutama bagi yang punya kelemahan fisik, berusaha menghadapi pesaing mereka yang lebih superior dengan menjalankan trik yang tak jarang melanggar sportivitas.

Bahkan pelatih bola Jose Morinho pernah berujar kurang lebih begini: jika anda yang berkendaraan biasa harus berpacu melawan Lamborghini, harus perlu mengempeskan ban mobil kompetitor anda sebelum berpacu. Ini menandakan insting licik menghadapi persaingan tak seimbang.

Godaan korup juga terjadi ketika individu memasuki dunia pendidikan. Pernah ada masa ketika siswa berjamaah berpatungan membeli soal-soal ujian nasional bocoran demi kelulusan.

Kini masa kelam itu sudah diterangi dengan meniadakan ujian nasional. Sebuah perubahan sistem pendidikan yang layak diberi jempol. Ini juga memperlihatkan bahwa korupsi harus diatasi dari berbagai sektor hidup.

Sistem kenegaraan punya peran besar dalam melahirkan generasi yang anti korupsi. Namun, jika sistem itu ditopang juga oleh pola pikir dan perilaku individu dan sosial, semakin dekatlah cita-cita membangun pemerintahan nirkorupsi alias nihil rasuah.

Dan pola pikir plus perilaku itu bisa berbentuk tabu-tabu dalam masyarakat, sebuah kearifan komunitas lokal maupun regional yang perlu dilanggengkan untuk meraih cita-cita bersama di level kenegaraan. Pemberantasan korupsi, salah satunya.

Baca juga: Survei Indopol sebut masyarakat inginkan pemimpin bersih dari korupsi

Copyright © ANTARA 2021