Pontianak (ANTARA) - Tragedi jatuhnya pesawat milik maskapai Sriwijaya Air pada Sabtu (9/1) membawa kisah tersendiri bagi mereka yang selama ini mempercayai bahwa terbang dengan menumpang pesawat dari maskapai ini akan aman-aman saja.

Maskapai Sriwijaya Air adalah salah satu dari sekitar sembilan maskapai yang memiliki rute penerbangan tujuan Bandara Supadio di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber, pesawat maskapai ini pernah mengalami insiden tergelincir saat hujan deras ketika mendarat di Bandara Internasional Supadio, Kalimantan Barat, pada 1 Juni 2012. Pesawat itu dari jenis Boeing 737-400 bernomor registrasi PK CNK dan nomor penerbangan SJ 188. Akibat kejadian ini, semua penumpang selamat namun pesawat dalam keadaan rusak berat.

Namun begitu, sepanjang perjalanan sejak terbang perdana pada 10 November 2003 ke beberapa wilayah Indonesia, salah satunya rute Jakarta-Pontianak pergi pulang (PP), artinya sudah 17 tahun lamanya, belum ada satu kasus kecelakaan parah yang pernah dialami maskapai ini.

Tetapi kemudian kita dibuat kaget. Sepekan setelah malam pergantian tahun 2020 ke 2021 dan masih dalam suasana menyambut harapan besar akan kesehatan dan keselamatan yang baik di tahun ini. Tersiar kabar pesawat milik maskapai ini jatuh di perairan Kepulauan Seribu, di antara Pulau Laki dan Pulau Lancang, pada pukul 14.40 WIB. Empat menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta.

Pesawat hendak bertolak menuju Bandara Internasional Supadio di Kabupaten Kubu Raya, setelah sempat delay selama 30 menit dari jadwal semestinya. Sebelum dinyatakan telah jatuh, pesawat sempat hilang kontak dari radar pantauan. Biasanya dengan penerbangan yang berjalan mulus, pesawat akan mendarat di Supadio, sekitar 1 jam 10 menit saja.

Saat hilang kontak dari radar pantauan, media sosial dibanjiri dengan informasi mengenai kabar tersebut. Di antaranya beberapa baris kalimat dari pesan WhatsApp tertulis informasi berikut:

"MASIH RUMOR YA !!!!!! masih nyari infonya dulu !Infonya begini :

Dengan hormat disampaikan laporan awal lost contact pesawat Sriwijaya dg data2 sbb :

Callsign : SJY182
Type : B737-500
Reg: PKCLC
Route : WIII-WIOO
Last contact :
11 Nm north CGK pd pukul 07.40 UTC ketinggian passing 11.000ft on climb to 13.000ft"

Kemudian ada pula informasi berikut :

"Sriwijaya Air SJ 182 pilot Cap.Afwan, Co.Diego. M,Cabin Crew: Dhika, Okky,Bisma, Mia.T, Gita L. Tujuan Pontianak dengan jumlah penumpang : 56 penumpang, terdiri dari : 46 dewasa, 7 anak-anak, 3 bayi yang hilang contak dengan tower, sesuai jadwal take off jam 13.25 wib landing jam 15.00 Wib delay menjadi take off jam 14.14 landing jam 15.50 Wib."

Disusul dengan pemberitaan di media massa yang tampak selalu update mengenai perkembangan dan kemajuan dalam pencarian dan evakuasi terhadap pesawat dimaksud.

Kemudian beredar pula data manifest penumpang pesawat. Data manifest menunjukkan pesawat membawa 62 penumpang bersama kru pesawat. Sebanyak 50 penumpang di antaranya terdiri dari 40 dewasa, tujuh anak-anak, dan tiga bayi, dengan 12 kru ada dalam pesawat naas tersebut.

Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menyatakan dari nama-nama penumpang diketahui ada 14 warga Kota Pontianak, ditambah warga lainnya yang berasal dari beberapa kabupaten di Kalbar seperti Kubu Raya, Sintang, Ketapang, dan Landak. Sementara menurut data Sriwijaya Air, ada 39 orang merupakan warga Kalbar. Kemudian ada pula warga dari Jakarta, Tangerang, Lampung, Palembang, Pekanbaru, Madiun, dan beberapa lainnya, sehingga jumlahnya 62 penumpang termasuk 12 kru pesawat.

Berita di media massa banjir dengan informasi mengenai operasi pencarian dan evakuasi korban, diselingi dengan berita duka cita dari keluarga, kerabat, dan handai taulan yang kehilangan anggota keluarga dan teman-temannya, penumpang Sriwijaya PK CLC dengan nomor penerbangan SJ 182 tersebut.

Mata dan hati kompak menangis dan menahan haru. Terucap sebaris kalimat "Innalillahi wainnailaihirojiun" disertai setumpuk harapan semoga masih ada mukjizat di balik peristiwa tersebut.

Setelah penemuan serpihan badan pesawat dan tubuh para korban, tim pencarian yang terdiri dari Basarnas, TNI, Polri, KNKT, dan elemen masyarakat lainnya, juga telah berhasil menemukan bagian dari kotak hitam pesawat berupa Flight Data Recorder (FDR). Dan sampai hari keempat setelah jatuhnya pesawat, proses pencarian dan evakuasi masih terus dilakukan, termasuk juga mencari bagian lain dari kotak hitam, yakni Cockpit Voice Recorder (CVR).

Baik FDR maupun CVR, keduanya sama-sama berperan penting dalam pengungkapan penyebab jatuhnya pesawat tersebut.

Baca juga: AS kirim tim ke Indonesia selidiki kecelakaan pesawat Sriwijaya

Baca juga: 30 ambulans disiapkan di hari kelima pencarian penumpang Sriwijaya Air

Baca juga: Identifikasi korban kecelakaan pesawat dengan DNA butuh waktu lama


Maskapai andalan

Bagi sebagian masyarakat di Kalbar, Sriwijaya Air menjadi salah satu maskapai andalan dalam setiap melakukan perjalanan udara baik itu untuk liburan keluarga, pekerjaan, maupun kegiatan bisnis.

Selain pertimbangan keamanan dan kenyamanan dengan jatah sebungkus roti selai dan segelas air mineral, harga tiketnya pun relatif terjangkau untuk kalangan kelas menengah, bila dibandingkan maskapai berplat merah yang juga memiliki rute penerbangan ke Bandara Supadio.

Apalagi sejak salah satu maskapai swasta lainnya pernah mengalami tragedi jatuh di Laut Jawa pada 29 Oktober 2018, ada banyak masyarakat pengguna transportasi udara agaknya sementara waktu memutuskan tak terbang menumpang pesawat dari maskapai dimaksud. Kemudian mereka lebih memilih menumpang Sriwijaya Air.

Pertimbangannya tentu saja karena merasa lebih aman dan nyaman, setidaknya dalam dua tahun belakangan.

Bagi saya pribadi, selama ini merasa nyaman dan aman dengan menumpang maskapai berslogan Your Flying Partner ini, ketika hendak ke Jakarta atau tempat lainnya, baik untuk kepentingan dinas ataupun saat berlibur bersama keluarga. Keputusan itu bukan tanpa alasan. Namun karena ada "rekomendasi" dari salah satu anggota keluarga.

"Lebih baik naik Sriwijaya Air, karena pesawat yang dimiliki maskapai ini tidak banyak. Maskapai dengan jumlah pesawat yang tidak banyak, biasanya rutin melakukan perawatan." Begitu guarantee-nya.

Meskipun pernyataan ini belum didukung informasi yang akurat mengenai bentuk perawatan rutin pesawat yang sudah dilakukan manajemen maskapai tersebut.

Tetapi dengan pernyataan itu pula, membuat saya dan keluarga merasa ada jaminan dalam keselamatan. Apakah itu menumpang pesawat jenis Boeing 737-500 atau kah jenis Boeing 757-800. Keduanya yang selama ini mendarat dan lepas landas di Bandara Supadio.

Meski diakui, terasa berbeda antara naik Boeing 737-500 produksi tahun 1994 yang artinya sudah berusia 26 tahun, dengan Boeing 737-800 yang masih berusia di bawah 10 tahun.

Apalagi ada jaminan maskapai ini pernah mendapatkan sertifikat keselamatan penerbangan pada 2015, Basic Aviation Risk Standard (BARS) yang dilakukan oleh Flight Safety Foundation di Amerika Serikat.

Meski begitu, dengan adanya tragedi yang menimpa maskapai ini dengan nomor penerbangan SJ 182, kepercayaan akan keamanan dan keselamatan penerbangan dengan menumpang maskapai ini seperti tergerus.

"Dan ternyata dia (Sriwijaya Air) juga bisa jatuh."

Semoga dengan tragedi ini tak menghentikan langkah manajemen Sriwijaya Air untuk meneruskan niat baik para pendirinya yang ingin menyatukan seluruh kawasan nusantara, seperti keinginan raja kerajaan Sriwijaya, melalui pengembangan transportasi udara.

Kemudian dapat menumbuhkan kembali kepercayaan para pengguna setia maskapai ini untuk tetap menumpang penerbangannya. Sehingga kepercayaan kami pun tak semakin tergerus. Semoga.

Baca juga: Sriwijaya Air: Terdata 20 korban SJ-182 asal Kalbar

Baca juga: Tim SAR gabungan kembali temukan serpihan badan pesawat Sriwijaya Air

Baca juga: PMI kirim logistik untuk kebutuhan operasi SAR kecelakaan pesawat

Copyright © ANTARA 2021