"... vaksinasi bukanlah tiket untuk serta merta meninggalkan protokol kesehatan ketika bagian terbesar masyarakat belum terpastikan kebal dari penyakit itu."
Situasi berlainan terjadi di Indonesia. Adalah pesohor kelas atas negeri ini, Raffi Ahmad, yang membuat heboh ketika dia didapati menghadiri kerumunan pesta tanpa mengenakan masker tak lama setelah divaksinasi.

Raffi mengaku salah. Tetapi keharusan tetap setia kepada protokol kesehatan, apalagi untuk mereka yang dijadikan teladan demi menumbuhkan keyakinan orang kepada vaksin, semestinya sudah lama diketahui dan disadari.

Baca juga: Raffi Ahmad minta maaf dan akui kesalahan langgar protokol kesehatan
Baca juga: Polsek Mampang klarifikasi Raffi Ahmad dugaan langgar prokes


Bagi sebagian orang kejadian seperti itu mungkin cetek saja, namun dalam kerangka perang melawan pandemi, insiden semacam itu tak bisa dianggap remeh. Bagaimana kalau orang-orang setelah Raffi melakukan apa yang dilakukannya? Karena merasa sudah dikebalkan oleh vaksin, maka begitu selesai divaksin, orang menganggap protokol kesehatan tak diperlukan lagi sehingga bebas menanggalkan masker di tempat umum atau kerumunan, apalagi sambil mengabaikan pedoman jaga jarak sosial.

Raffi sudah meminta maaf dan wajib dimaafkan. Tetapi menganggap mereka yang mengkritik dia, termasuk sejawat-sejawatnya sesama pesohor, sebagai berlebihan atau paranoid adalah salah besar.

Khawatir itu lebih baik daripada menganggap enteng pandemi karena faktanya pandemi telah merusakkan banyak hal, mulai dari merenggut hampir 25 ribu nyawa yang seharusnya bisa hidup lebih lama, membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan, memangkas keuntungan dunia usaha hingga banyak di antaranya gulung tikar, sampai merampas kebahagiaan hampir semua dari kita, termasuk kemewahan bersilaturahmi dan berkumpul bersama keluarga besar dan sahabat yang sudah menjadi tradisi bangsa ini.

Malah perilaku yang dianggap paranaoid seperti itulah yang justru membuat tempat-tempat seperti Korea Selatan, Taiwan, China, Vietnam, Australia, dan Selandia Baru lebih dini dalam melandaikan grafik kasus sehingga energi nasional bisa dicurahkan juga kepada aspek-aspek lain termasuk menggerakkan lagi ekonomi.

Sebaliknya, grafik kasus infeksi dan tingkat kematian di Indonesia belum bisa terlandaikan. Ketidakpedulian dan ketidaktahuan yang dibarengi pemakluman dan pembiaran adalah di antara faktor yang turut membuat grafik sulit dilandaikan.

Sistem kesehatan termasuk rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya sudah terbiasa menangani COVID-19 sehingga mestinya grafik terlandaikan jika masalahnya hanya soal kesehatan. Kenyataannya, grafik kasus tetap menanjak. Ini menunjukkan pandemi tak cukup hanya ditangani oleh dokter, perawat, obat dan rumah sakit, karena membutuhkan juga kepedulian, tanggung jawab dan disiplin masyarakat, selain aparat yang tegas.

Selanjutnya: vaksinasi bukan tiket untuk meninggalkan protokol kesehatan
 

Copyright © ANTARA 2021