Jakarta (ANTARA) - Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 telah dimulai dengan divaksinasinya Presiden Jokowi pada Rabu (13/1). Vaksinasi gelombang pertama itu dilakukan dengan menggunakan vaksin COVID-19 asal Tiongkok, Sinovac, yang diberinama CoronaVac.

Langkah vaksinasi tersebut dilakukan sebagai upaya penanggulangan pandemi COVID-19 yang berlangsung sejak Maret 2020. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun telah merestui penggunaan vaksin tersebut dengan mengeluarkan izin penggunaan darurat yang berdasarkan hasil uji klinik tahap ketiga yang menunjukkan bahwa efikasi atau kemanjuran vaksin sebesar 65,3 persen.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Oscar Primadi, mengatakan pandemi tidak hanya mengancam kesehatan tetapi juga sektor lainnya seperti ekonomi, sosial hingga pariwisata.

"Pemerintah berupaya keras untuk segera bangkit, sehingga segala upaya terus diakselerasi. Pemerintah menjadikan program vaksinasi ini sebagai bagian penanggulangan dengan catatan bagian hulunya, yakni penegakan protokol kesehatan juga dilakukan secara ketat,” ujar Oscar dalam dalam webinar yang diselenggarakan Yayasan Kanker Payudara Indonesia “Vaksin Covid-19: Tak Kenal Maka Tak Kebal - Komorbid Bolehkah?”.

Vaksinasi COVID-19 dipercaya dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19. Dengan adanya vaksinasi penanganan COVID-19 dapat dilakukan secara komprehensif serta memperkuat sistem kesehatan secara menyeluruh.

Berdasarkan kesepakatan dunia atau standar standar Badan Kesehatan Dunia atau WHO, herd immunity atau kekebalan kelompok dapat tercapai jika vaksinasi dilakukan pada 70 hingga 80 persen dari populasi.

Untuk itu, Kementerian Kesehatan menargetkan sebanyak 181,5 juta orang atau hampir 75 persen penduduk Indonesia mendapatkan vaksinasi.

Pemerintah menargetkan sebanyak 181,5 juta penduduk mendapatkan vaksinasi yang dilakukan selama 12 bulan.

Prioritas awal diberikan kepada 1,3 juta tenaga kesehatan yang diselenggarakan pada Januari dan Februari 2021. Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin COVID-19 tersebut telah didistribusikan ke 34 provinsi.

"Kami sudah melakukan sejumlah persiapan untuk penyimpanan vaksin COVID-19. Vaksin ini membutuhkan suhu dua hingga delapan derajat celcius, dan memerlukan gudang penyimpanan vaksin dan kulkas untuk penyimpanan. Semuanya sudah disiapkan. Termasuk juga pelatihan 3,1 juta vaksinator,” kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 dari Kementerian Kesehatan, SIti Nadia Tarmizi.

Meskipun demikian, vaksinasi tidak bisa diberikan kepada seluruh penduduk Indonesia. Penduduk yang mendapatkan vaksin hanya yang berkategori sehat, berusia 18 tahun hingga 59 tahun, tidak menderita COVID-19, tidak hamil, dan tidak menyusui.

Kemudian, ada kondisi seperti seseorang dengan penyakit penyerta mulai dari hipertensi dan diabetes, yang belum terkontrol dengan baik maka tidak bisa mendapatkan vaksin.

Oleh karena itu, pemerintah mendorong agar masyarakat untuk segera memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan dan memeriksa kesehatan tubuhnya sebelum mendapatkan vaksinasi.

"Ada juga yang tidak diperkenankan seperti kelainan imunitas dan kanker,” terang Nadia.

Pemberian vaksin tersebut diberikan secara gratis atau tidak dipungut biaya dan tidak ada hubungannya dengan kepesertaan BPJS Kesehatan.

Masyarakat yang mendapatkan vaksinasi akan mendapatkan SMS dan pemberitahuan melalui aplikasi Peduli Lindungi.

Disinggung mengenai kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI), Nadia mengatakan pemerintah bertanggung jawab dan menanggung biaya pengobatan jika ada masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan pascaimunisasi.

Komorbid

Sementara itu, Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), Linda Agum Gumelar, menyambut baik program vaksinasi yang bertujuan mengendalikan pandemi COVID-19.

Meski demikian, belum semu lapisan masyarakat yang paham mengenai tujuan dan sasaran dari program vaksinasi itu.

Para penyintas kanker payudara yang sedang dalam proses pengobatan maupun yang sudah selesai tahapan pengobatan, tentu memerlukan penjelasan dan informasi yang tepat dan akurat, juga bagi para individu yang termasuk kategori individu yang mempunyai penyakit penyerta (komorbid) tentang vaksin COVID-19.

Selama ini informasi tersebut belum merata diketahui oleh masyarakat sehingga timbul kebingungan, keraguan bahkan ada suasana pro kontra terhadap pelaksanaan vaksinasi tersebut.

Masyarakat membutuhkan jawaban yang lebih akurat dan terpercaya. Selain itu, Linda Gumelar menambahkan  pihaknya yakin bahwa pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri.

Tentu peranserta masyarakat/LSM/organisasi perempuan dan swasta harus turut berpartisipasi dalam upaya menekan dan memutus rantai penyebaran COVID-19 tersebut.

Senada dengan Linda, Ketua Umum Persit Kartika Chandra Kirana, Hetty Andika Perkasa, mengatakan masyarakat memerlukan informasi yang tepat mengenai pelaksanaan vaksinasi tersebut.

"Kami keluarga besar TNI AD mendukung pelaksanaan vaksinasi ini untuk pengendalian pandemi COVID-19 di Tanah Air,” kata Hetty.

Sedangkan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio, mengatakan vaksinasi tersebut memiliki dua sisi yaitu risiko dan manfaatnya.

Risiko dari vaksinasi adalah rasa sakit saat disuntik maupun beberapa jam setelah divaksinasi lengan terasa pegal.

Sementara manfaat dari vaksinasi itu untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat virus COVID-19. Semakin banyak penduduk yang divaksinasi maka banyak penduduk yang terlindungi.

"Pastinya ada penduduk yang tidak bisa mendapatkan vaksinasi. Siapa yang melindungi mereka? yang melindungi mereka adalah orang mendapatkan vaksinasi,” jelas Amin.

Meskipun sudah divaksinasi, bukan berarti bisa melepaskan masker. Tetap harus menjalankan protokol kesehatan yang ketat dan hal itu berlangsung setahun hingga dua tahun. Amin menjelaskan usai divaksinasi tidak langsung menjadi kebal dan membutuhkan waktu dua minggu hingga tiga minggu untuk membangkitkan kekebalan tubuh.

Bahkan ada beberapa kejadian yang mana setelah divaksinasi terinfeksi COVID-19. Vaksin tetap harus berdampingan dengan prosedur memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun (3M) dan pemeriksaan dini, pelacakan, dan perawatan atau 3T.

Sementara itu Anggota Tim Komnas Penilai Obat yang berasal dari Universitas Gadjah Mada dr Jarir At Thabari, mengatakan ada sejumlah penyakit yang penderitanya tidak bisa mendapatkan vaksinasi. Hal itu dikarenakan belum ada hasil uji klinik pemberian vaksin pada penderita penyakit tersebut.

Kriteria yang tidak bisa mendapatkan vaksinasi khususnya vaksin Sinovac yakni penyakit autoimun sistemik, sindrom Hiper IgE, pasien dengan infeksi akut, penyakit ginjal, hipertensi.

Beberapa uji klinis dari sejumlah vaksin COVID-19 telah meneliti pasien dengan hipertensi. Sayangnya, penderita penyakit ini belum direkomendasikan mendapat vaksin Covid-19 karena belum ada rekomendasi.Rekomendasi menunggu hasil uji klinis di Bandung.

Kemudian, pasien gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid/hipotiroid, kanker, dan pasien hematologi onkologi.

Studi klinis Sinovac juga tidak melibatkan pasien dengan kondisi pasien hematologi onkologi, jadi belum dapat dibuat rekomendasi terkait pemberian vaksin Sinovac pada kelompok itu.

Meski demikian, ada sejumlah pasien komorbid yang bisa mendapat vaksinasi, yakni reaksi anafilaksis yang bukan akibat vaksinasi COVID-19, riwayat alergi obat, riwayat aleri makanan, asma bronkial (Jika pasien dalam keadaan asma akut,disarankan menunda vaksinasi sampai asma pasien terkontrol baik), rhinitis alergi.

Selanjutnya, urtikaria, dermatitis atopi, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), penderita TBC, kanker paru, penyakit hati, diabetes, obesitas, gangguan psikosomatis, dan pendonor darah.

Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan melakukan pengecekan terhadap kesehatannya secara mandiri sebelum mendapatkan vaksinasi.

Kondisi tubuh harus benar-benar dalam keadaan prima sebelum divaksinasi. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kejadian ikutan pasca-vaksinasi.

 

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2021