Apakah itu sudah disiapkan juga? Harusnya hal-hal semacam itu juga disiapkan dalam masa transisi energi bersih ini sehingga kita tidak lagi bergantung pada bahan mentah
Jakarta (ANTARA) - Jumat (22/1), orang terkaya di dunia itu berkicau di akun Twitter-nya. “Am donating $100M towards a prize for best carbon capture technology,” kicau Elon Musk.

Bos Tesla dan SpaceX itu berniat mendonasikan 100 juta Dolar AS atau sekitar Rp1,4 triliun untuk teknologi penangkap karbon terbaik yang berhasil tercipta, demikian isi cuitannya tersebut.

Saat ditanya soal pohon, ia menjawab mereka bagian dari solusi, tapi membutuhkan banyak air dan tanah. Mungkin butuh sesuatu yang dapat diproduksi industri dalam skala besar dalam 10 hingga 20 tahun ke depan. Musk lalu mengatakan prioritas utama sejauh ini adalah mempercepat transisi ke ekonomi energi berkelanjutan.

Saat salah satu warganet menanyakan apakah reaktor sabatier bisa dianggap sebagai teknologi penangkap karbon, dirinya menganggap teknologi tersebut baik untuk energi terbarukan sepenuhnya yang digunakan pada roket, sehingga menyelesaikan sebagian persoalan, namun membutuhkan rantai hidrokarbon yang lebih panjang dari metana (CH4) untuk menjadi solid di suhu kamar.

Baca juga: Elon Musk tawarkan 100 juta dolar untuk teknologi penangkapan karbon

NASA memang menggunakan sistem sabatier, yang awalnya dikembangkan ahli kimia Prancis penerima Hadiah Nobel bernama Paul Sabatier di awal 1900-an, untuk memproduksi air di stasiun luar angkasanya. Dengan memanfaatkan katalis yang bereaksi dengan karbon dioksida (CO2) dan hidrogen yang merupakan produk sampingan dari sistem pendukung kehidupan di stasiun luar angkasa, mereka dapat menghasilkan air dan metana untuk memenuhi kebutuhan para astronot di sana.

Butuh waktu setidaknya 20 tahun bagi NASA untuk mengembangkan teknologi fundamental tersebut, dan kurang dari dua tahun memproduksinya. Sistem tersebut yang beroperasi sejak Oktober 2010 itu menjadi bagian terakhir dari kontrol lingkungan regeneratif dan pendukung kehidupan di stasiun ruang angkasa mereka.

Sebelum ada teknologi itu, sistem penghasil oksigen (O2) di stasiun ruang angkasa NASA membuang kelebihan CO2 dan hidrogen keluar angkasa. Dengan sistem sabatier hidrogen dan karbon dioksida yang dianggap sebagai bagian dari emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global di Bumi dapat diubah untuk menghasilkan tambahan air di sana.

Untuk memantapkan cuitannya, pemilik kekayaan 201 miliar Dolar AS atau sekitar Rp2.833 triliun itu lalu berjanji akan menginformasikan lagi detail dari rencana donasinya untuk rencana “menangkap” karbon tersebut, pekan depan.

Baca juga: Kalahkan Jeff Bezos, Elon Musk jadi orang terkaya di dunia
 

Tren bisnis baru

Penangkap dan penyimpan karbon (carbon capture and storage/CCS) memang bukanlah sesuatu hal baru, namun dapat dengan cepat menjadi tren ke depan seiring dengan semakin seksinya sekaligus semakin mengancamnya persoalan krisis iklim bagi penduduk global.

CO2 biasanya ditangkap langsung dari udara atau dari industrial dengan menggunakan berbagai macam teknologi yang berfungsi penyerapan, adsorpsi, perulangan kimia, pemisahan gas membran atau teknologi gas hidrat. Terknologi penangkap dan penyimpan CO2 tersebut biasanya diterapkan pada industri semen dan pembangkit listrik biomassa yang menyumbang emisi GRK dalam jumlah besar.

The Global CCS Institute, sebuah lembaga thinkthank internasional asal Australia yang khusus mengakselerasi penyebaran CCS secara global baru-baru ini mengumumkan anggotanya bertambah 34 dalam satu tahun terakhir, sehingga kini terdapat 87 pelaku bisnis, agen pemerintahan, hingga organisasi penelitian berasal dari 16 negara di dunia yang bergabung.

"General Manager for Client Engagement The Global CCS Institute" Jeff Erikson mengatakan dunia semakin memahami bahwa perubahan iklim merupakan sebuah krisis, dan CCS menjadi sebuah elemen yang esensial untuk solusi mengatasi perubahan iklim. Keberagaman anggota mereka mendemonstrasikan ekosistem CSS semakin matang dan berkembang.

Baca juga: Elon Musk ungkap bos Apple pernah tolak akuisisi Tesla

Erikson juga mengatakan meski anggotanya sebagian dulunya merupakan penghasil emisi besar, kini perusahaan yang baru bergabung menganggap CCS justru sebagai sumber pendapatan, dan sedang mencari tahu bagaimana hal itu cocok dengan strategi pertumbuhan bisnis mereka. Badan Energi Internasional memperkirakan untuk dapat mencapai target Paris Agreement menekan peningkatan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius setidaknya membutuhkan investasi CCS sekitar 9,7 triliun Dolar AS.

Dalam 12 bulan terakhir setidaknya ada General Electric, Heidelberg Cement AG, HSBC, Baker Hughes, Equinor, CNPC Research Institute of Safety and Environmental Technology (RISE), JX Nippon Oil and Gas Exploration, Independent Project Analysis, The Government of Alberta-Canada yang bergabung dengan institut tersebut.

Seperti dilansir Kyodo, ada dua perusahaan Jepang, yakni Electric Power Development Co atau J-Power dan Japan NUS Co yang akan memulai proyek CCS di Indonesia. Perusahaan tersebut melakukan kerja sama dengan pemerintah Indonesia dan PT Pertamina (Persero) dan akan memulainya di Lapangan Gas Gundih, Jawa Tengah, yang menghasilkan CO2 sekitar 300.000 ton saat proses pemurnian gasnya.

Itu akan menjadi proyek percontohan pertama yang diperkirakan akan menghabiskan biaya hingga miliaran Yen dengan membentangkan pipa gas sepanjang empat kilometer (km) antara lapangan gas dan lokasi penyimpanan CO2 yang dibuat di kedalamam sekitar 3,6 km di bawah tanah.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif memang sempat mengatakan perihal pemilihan teknologi dan opsi sumber energi dalam penerapan circular carbon economy (CCE) platform. Implementasi teknologi yang dapat diterapkan untuk platform tersebut di antaranya ada CCS dan carbon capture utilization and storage (CCUS).

Arifin berpendapat implementasi teknologi tersebut memang dapat menjadi jawaban dalam mitigasi perubahan iklim sehingga membantu mengurangi pemanasan global.

Baca juga: Alami gejala COVID-19, Elon Musk lakukan empat kali tes rapid
 

Biaya tinggi

Namun demikian, penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon dianggap masih memiliki kendala pada sisi biaya. Sebagian praktisi ataupun pengamat energi melihat teknologi tersebut berbiaya tinggi, sehingga masih kalah efisien dengan teknologi energi baru terbarukan, seperti panel surya.

Sebagai catatan, J-Power yang sejak 2012 mengoperasikan CCS di Hokkaido menunjukkan biaya untuk penyimpanan CO2 di sana berkisar antara 6.000 Yen (57 Dolar AS atau sekitar Rp810.500) hingga 7.000 yen (67 dolar AS atau sekitar Rp945.000) per ton CO2. Tidak disebutkan berapa biaya penangkapan dan transportasinya.

Meski demikian, dengan diberlakukannya batas emisi GRK banyak pula analis yang menilai sistem CCS akan dapat bersaing dengan opsi mitigasi krisis iklim skala besar, seperti tenaga nuklir dan energi baru terbarukan lainnya. Pemodelan energi dan ekonomi yang mereka lakukan menunjukkan penerapan sistem CCS akan mulai menjadi signifikan manakala harga karbon mencapai kisaran 25 Dolar AS sampai dengan 30 Dolar AS per tCO2.

Jelas butuh terobosan teknologi dan inovasi untuk semakin memantapkan posisi penangkap karbon menjadi terobosan baru dalam memitigasi krisis iklim saat ini secara revolusioner. Tidak heran jika Elon Musk ikut membuka sayembara pencarian teknologi untuk "menangkap" karbon yang tepat tersebut karena targetnya memang mempercepat trasisi ekonomi energi terbarukan.

Baca juga: Channing Tatum akan jadi Elon Musk di serial "SpaceX"

Inovator energi dengan latar belakang pendidikan teknik kimia dari Yale University, Ethan Novek, mengembangkan produk yang mampu menangkap 90 persen CO2 dari gas buang pembangkit listrik dengan biaya 5-8 dolar AS per metrik ton (OPEX). Dalam technology overview-nya, pemilik 12 paten teknologi CO2 yang masuk dalam Forbes Under 30 itu berani menyebutkan teknologinya tersebut memungkinkan pembangkit listrik untuk memisahkan dan menjual karbon dioksida secara menguntungkan tanpa subsidi pemerintah, pajak karbon atau kredit.

Teknologi dengan nama CO2 Evolution®️ yang sudah dipatenkannya itu menjadi teknologi penangkap karbon pertama dan satu-satunya yang menggunakan air kondensor suhu rendah yang melimpah, sehingga memungkinkan teknologi tersebut tidak memiliki beban parasit ke pembangkit listrik, dan hanya terdiri dari reagen berbiaya rendah.

Dengan perbaikan yang dilakukan Novek yang merupakan pendiri Innovator Energy tersebut, teknologi penangkap karbonnya mampu memangkas biaya dari yang sebelumnya 50 Dolar AS (sekitar Rp701.000) menjadi 5 Dolar AS sampai dengan 8 Dolar AS (sekitar Rp112.000) per ton CO2. Serta mampu mengurangi waktu sirkulasi dari tiga jam ke 20 menit saja sehingga memungkinkan memperkecil ukuran teknologi tersebut untuk mengeluarkan hasil yang sama.

Orang-orang seperti Musk tentu memperhitungkan dan meyakini bahwa di luar sana bertebaran ide-ide cemerlang yang sebenarnya dapat memberi solusi tercepat, termurah, terefektif untuk menahan peningkatan suhu lebih dari 1,5 derajat Celsius dalam hitungan 10 hingga 20 tahun ke depan. Bisa jadi dia benar, hanya butuh kesempatan untuk “menangkapnya”.

Baca juga: Tesla akan luncurkan perangkat "Full Self Driving"
 

Perhatikan limit

Hal yang perlu dicatat, teknologi dan inovasi juga memiliki dua sisi mata uang, demikian kata Manager Kampanye Keadilan Iklim Walhi Nasional Yuyun Harmono, menanggapi cuitan Elon Musk. Sejarah sudah membuktikan saat mesin uap membuka era revolusi industri yang pada akhirnya memicu penggunaan energi fosil secara gila-gilaan yang akhirnya menyumbang emisi karbon meski tidak bisa dipungkiri pula keberadaannya memudahkan manusia.

Karenanya, menurut dia, sangat penting ketika teknologi dan inovasi itu diciptakan perhitungan aspek keseimbangan lingkungan juga sudah ada didalamnya. Sama halnya ingin mengurangi emisi transportasi dengan memproduksi mobil listrik secara besar-besaran tapi lupa bahwa dalam proses pembuatan baterainya harus mengeruk nikel dan kobal dalam skala besar.

Ketika manusia sudah merasa nyaman dengan teknologi itu nantinya, permintaan semakin meningkat, pengerukan mineral itu pun akan semakin masif untuk pembuatan baterai kendaraan listrik. Hal itu yang, menurut Yuyun, perlu diantisipasi sejak awal dengan menjalankan secara benar konsep ekonomi sirkular yang didengungkan akhir-akhir ini.

Baca juga: Kementerian ESDM catat akan ada 19 ribu unit mobil listrik pada 2025

Yang dapat dilakukan sejak awal adalah memastikan baterai yang merupakan bentuk hilirisasi ilmu pengetahuan dan teknologi tadi betul-betul dapat didaurulang, sehingga tidak perlu mengeruk lagi secara berlebihan bahan tambang untuk memproduksi baterai. "Apakah itu sudah disiapkan juga? Harusnya hal-hal semacam itu juga disiapkan dalam masa transisi energi bersih ini sehingga kita tidak lagi bergantung pada bahan mentah," kata Yuyun.

Perlu dipersiapkan betul industri daur ulangnya, sehingga dapat berjalan bersama ketika produksi baterai untuk kendaraan listrik dimulai. Pada saat yang sama riset dan pengembangan tetap dilakukan untuk memperpanjang masa hidup teknologi baterai tersebut untuk semakin mudah didaurulang dan tidak menimbulkan jejak karbon.

Walhi, menurut Yuyun, berpendapat produksi seharusnya disesuaikan menurut kebutuhan saja, bukan untuk mengikuti tren yang ketika cenderung naik artinya Bumi semakin dalam dikeruk. Apapun itu bentuk teknologi inovasinya, entah biofuel, mobil listrik, alat penangkap karbon, ketika tren permintaannya meningkat maka konsekuensi yang dihadapi akan terus ada.

Sesungguhnya ada batas pertumbuhan, karena bagaimanapun Bumi hanya ada satu dan memiliki keterbatasan. Maka inovasi teknologi yang diperlukan adalah yang mampu membawa hidup kesejahteraan tanpa melewati limit yang diperbolehkan Bumi.

Baca juga: Luhut: Indonesia berpotensi besar jadi produsen kendaraan listrik
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021