Jakarta (ANTARA) - Video siaran langsung pada akun media sosial Elianu Hua yang berisi percakapan antara wali murid dengan perwakilan SMK Negeri 2 Padang mendadak viral.

Pihak sekolah memanggil Elianu ke sekolah karena Jeni Cahyani Hia, anaknya, menolak mengenakan jilbab karena nonmuslim. Jeni yang duduk di kelas IX jurusan otomatisasi dan tata kelola perkantoran tersebut merasa tidak memiliki kewajiban mengenakan jilbab karena menganut agama yang berbeda.

Dalam video tersebut, Eliana mengatakan anaknya cukup terganggu dengan kewajiban menggunakan jilbab.

“Bagaimana rasanya jika anak bapak dipaksa ikut aturan yayasan. Kalau yayasan tidak apa-apa, ini kan sekolah negeri,” kata Eliana.

Dalam video itu pula, pihak sekolah menjawab bahwa janggal bagi guru dan pihak sekolah, jika ada siswa yang mengikuti peraturan sekolah, karena sudah disepakati sejak awal.

Hal tersebut membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim angkat bicara dan mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya dibawah bimbingan orang tua. Hal itu berpedoma pada pasal 55 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya pada Pasal 4 Ayat 1 UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia nilai keamanan nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Kemudian, Pasal 3 Ayat 4 Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, yang mana pakaian seragam khas diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.

“Sekolah sama sekali tidak boleh membuat peraturan atau hmbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah, apalagi jika tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik,” terang Nadiem.

Mendikbud berpendapat bahwa apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tersebut sebagai bentuk intoleransi atas keberagaman, sehingga bukan saja melanggar peraturan UU, melainkan juga nilai Pancasila dan kebhinekaan.

“Pemerintah tidak akan menolerir guru atau kepala sekolah yang melakukan tindakan intoleran itu,” cetus dia.

Pihaknya akan segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan.

“Agar permasalahan ini jadi pembelajaran bersama ke depan. Kemendikbud juga akan membuka hotline pengaduan agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi,” tegas Nadiem.

Baca juga: KPAI dorong pemerintah terkait isu intoleransi di SMKN 2 Kota Padang

Baca juga: Jangan terulang, wajib jilbab bagi non-Muslim

 

Intoleransi di sekolah

Kepala SMKN 2 Padang, Rusmiadi, mengatakan tidak ada kewajiban bagi siswi nonmuslim untuk menggunakan kerudung. Apalagi memaksa siswa nonmuslim mengenakan jilbab.

Bahkan dirinya menyatakan siap untuk dipecat jika ditemukan adanya pelanggaran terkait peraturan penggunaan jilbab bagi siswa di sekolah.

“Saya siap dipecat, akan tetapi pemerintah silakan lihat dulu ke lapangan apa yang sudah kami lakukan,” jelas Rusmiadi.

Sejak awal, Rusmiadi sudah mengingatkan bawahannya untuk tidak memaksakan siswa nonmuslim untuk berpakaian seperti layaknya siswa Muslim. Pihaknya tidak menyangka terjadi kesalahan intepretasi oleh wakil kepala sekolah dan kemudian menjadi viral di media sosial.

“Pernyataan wakil kepala sekolah di video viral itu meminta agar siswa wajib mematuhi aturan sekolah, bukan menggunakan jilbab,” kata Rusmiadi lagi.

Kabid Advokasi Perhimpunan untuk Pendidik dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri, mengatakan Kasus intoleransi di sekolah yang dilakukan secara terstruktur bukanlah kasus baru. Dalam catatan P2G, pernah ada kasus seperti pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019.

“Jauh sebelumnya 2014 sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali. Sedangkan kasus pemaksaan jilbab kami menduga lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia,” kata Iman.

Aturan daerah dan/atau sekolah umum yang mewajibkan siswa nonmuslim memakai jilbab dan aturan larangan siswi Muslim menggunakan jilbab adalah sama-sama melanggar Pancasila, UUD, dan UU. Menyalahi prinsip toleransi dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Salah satu faktor penyebab utamanya adalah Peraturan Daerah (Perda) yang bermuatan intoleransi. Peristiwa pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Aturan yang sudah berjalan 15 tahun lebih, sebagaimana keterangan mantan Walikota Padang, Fauzi Bahar.

“Artinya ada peran pemerintah pusat, seperti Kemendagri dan Kemendikbud yang mendiamkan dan melakukan pembiaran terhadap adanya regulasi daerah bermuatan intoleransi di sekolah selama ini,” terang Iman lagi.

Cara berpakaian keagamaan atau memilih tidak memakainya, serta tetap diberikan pelayanan pendidikan atas sikap anak tersebut adalah hak dasar yang dijamin Konstitusi UUD 1945, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan lebih detil lagi adalah Permendikbud No. 45 Tahun 2014 tentang Seragam Sekolah Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Ekspresi cara berpakaian semestinya tidak menjadi penghalang dalam mendapatkan hak atas pendidikan seperti diamanatkan Pasal 31 UUD 1945.

Koordinator nasional P2G, Satriwan Salim, meminta agar Kemendagri harus mengecek semua Perda-perda yang potensi intoleran, yang bertentangan dengan Konstitusi dan nilai-nilai Pancasila. Khususnya lagi adalah Perda intoleran yang diimplementasikan terhadap lingkungan sekolah.

"Kemendagri bersama Kemdikbud segera berkoordinasi, lebih pro aktif memeriksa aturan daerah dan sekolah yang berpotensi intoleran, tidak hanya dari aspek agama, tetapi juga kepercayaan, suku, budaya, ras, dan kelas sosial ekonomi siswa," kata Satriwan.

Satriwan meminta agar para orang tua harus berani bicara jika ada kebijakan intoleran yang terjadi pada anaknya di sekolah. Melaporkan ke Dinas Pendidikan, atau lebih tinggi Inspektorat Daerah atau Inspektorat Jenderal Kemendikbud.

P2G juga meminta Kemdikbud dan Pemda bekerja sama dengan BPIP sebagai lembaga negara yang menjadi pemimpinan dalam penyemaian nilai Pancasila memberikan pendidikan dan pelatihan kepada kepala dinas pendidikan, pengawas, kepala sekolah, dan guru semua mata pelajaran di setiap jenjang.Tujuannya, agar nilai-nilai Pancasila terus hidup, diaktualisasikan baik secara kultural maupun struktural di masyarakat.

Baca juga: Pengamat: Negara tak boleh tunduk dengan kelompok intoleran

Baca juga: Wagub DKI minta Disdik kenakan sanksi oknum guru SMA 58 yang intoleran

 

Bukan salah pendidik

Pemerhati Pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji, menyesalkan sikap Mendikbud yang hanya fokus pada sanksi pada pendidik.

Indra meminta agar pemerintah baik Kemendikbud maupun Pemda melakukan pengecekan dulu ke lapangan sebelum memberikan sanksi pada kepala sekolah.

Apa yang disampaikan oleh Mendikbud tidak jauh berbeda dengan aturan mengenakan jilbab itu sendiri, tujuannya baik, tapi sangat tidak bijaksana untuk mewajibkan bagi seluruh siswi termasuk nonmuslim sangatlah tidak bijak dan bahkan melanggar hak asasi manusia.

“Jika Mendikbud meminta para pendidik di SMKN 2 Padang dibebastugaskan karena mereka mengikuti aturan kepala daerah, sangatlah juga tidak bijak. Ini menyangkut nasib dan karir seseorang,” kata Indra.

Indra menilai selama ini, Mendikbud terlalu menjaga jarak dengan insan pendidikan. Termasuk dalam kasus pada SMKN 2 Padang itu. Seharusnya, Mendikbud mengetahui bahwa para pendidik hanya menjalankan Instruksi Wali Kota Padang nomor 451.442/BINSOS-iii/2005 dan telah berjalan selama 15 tahun.

“Ini bukan sepenuhnya kesalahan para pendidik yang menjalankan instruksi pemimpinnya yaitu kepala daerah. Alih-alih melindungi para pendidik, Mendikbud justru memilih untuk mendorong adanya sanksi yang berat,” kata Indra.

Indra menjelaskan jika Mendikbud memang peduli dengan kasus intoleransi. mengapa hanya kasus yang viral secara nasional yang ditanggapi. Bagaimana dengan kasus di SMAN 58 Jakarta yang mana ada guru yang mengarahkan untuk memilih Ketua OSIS berdasarkan agamanya, atau di SD Inpres 22 Wosi Manokwari dimana ada anak yang dilarang mengenakan jilbab. Semua itu berada pada masa kepemimpinan Mendikbud Nadiem Makarim.

“Ada guru yang mengarahkan untuk memilih Ketua OSIS berdasarkan agamanya, bahkan ada juga siswa yang tidak boleh mengenakan jilbab di sekolah. Semuanya terjadi pada kepemimpinan Mas Nadiem,” terang dia.

Upaya untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia dengan menciptakan ekosistem yang kondusif, stabil, bermoral, dan demokratis harusnya menjadi langkah nyata Mendikbud.

“Mendikbud seharusnya memposisikan diri sebagai orang tua dari seluruh insan pendidikan Indonesia yang harusnya lebih membimbing dan mengayomi bukan mengintimidasi. Beliau bisa menunjukkan posisinya sebagai pemimpin untuk minta maaf kepada siswa dan orang tua yang merasa dipaksa menggunakan jilbab, tetapi dengan para pendidik di Padang harusnya ada dialog internal,” kata Indra lagi.

Sementara itu persoalan intoleransi di sekolah dapat diselesaikan dalam rapat kabinet, kasus itu bisa diselesaikan bersama dengan Mendagri, Menag, dan Menkopolhukam karena sudah menyangkut Instruksi Kepala Daerah.

Persoalan intoleransi di sekolah terjadi secara terstruktur dan terjadi sejak lama. Tidak hanya pada kasus siswa yang diminta untuk mengenakan jilbab tetapi juga pelarangan penggunaan jilbab di sekolah, sudah saatnya pemerintah kembali meninjau peraturan daerah yang memicu diskriminasi terhadap warga dalam memeroleh haknya .
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021