Bangkok (ANTARA) - Mayoritas anggota parlemen di Thailand mendukung pengesahan perubahan undang-undang aborsi yang akan mengizinkan seorang ibu menggugurkan kandungannya apabila masih berusia maksimal 12 minggu.

Namun, parlemen tetap mempertahankan pasal yang akan menghukum pelaku aborsi untuk kehamilan di atas 12 minggu. Keputusan itu, menurut para aktivis pro pilihan, menunjukkan pemerintah gagal melindungi hak ibu.

Lewat sidang yang digelar malam hari, Senat pada Senin (25/1) mengumumkan hasil pemungutan suara untuk pengesahan revisi undang-undang aborsi, yaitu 166 anggota dewan mendukung adanya revisi dan tujuh sisanya menolak.

Revisi UU aborsi itu diharapkan dapat mengurangi praktik aborsi ilegal yang dilakukan oleh non-dokter.

Di bawah aturan yang baru, aborsi untuk kandungan berusia 12 minggu diperbolehkan dengan syarat tertentu. Tiap orang yang melanggar aturan itu dapat dipenjara sampai enam bulan atau diwajibkan bayar denda sampai 10.000 baht (sekitar Rp4,7 juta), atau dihukum keduanya.

"Revisi UU ini menunjukkan aborsi diperbolehkan dengan syarat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh dokter sebagaimana disebutkan dalam undang-undang," kata salah satu anggota dewan, Wanlop Tangkhananurak.

Rancangan UU Aborsi mendapat persetujuan dari Majelis Rendah Thailand minggu lalu setelah Mahmakah Konstitusi mengeluarkan putusan bahwa pidana terhadap pelaku aborsi melanggar undang-undang dasar dan hak asasi manusia. Vonis itu dibacakan pada Februari 2020.

UU Aborsi yang baru memperbolehkan pengguguran kandungan berusia 12 minggu jika dokter, yang telah tersertifikasi, menilai ada risiko cacat bawaan pada janin. Tidak hanya itu, aborsi juga diperbolehkan jika kehamilan membahayakan nyawa ibu, atau kehamilan itu disebabkan oleh pemerkosaan, penipuan, atau paksaan.

Walaupun demikian, aktivis pro pilihan (pro choice) mengatakan keputusan parlemen tetap mencantumkan sanksi pada UU Aborsi yang baru menyebabkan para pelaku aborsi tetap akan kena stigma dari masyarakat.

"Kami ingin seluruh sanksi dicabut karena seseorang berhak menggugurkan kehamilannya tanpa dipidana," kata seorang aktivis dari Tam Tang, Nisarat Jongwisan. Tam Tang merupakan organisasi yang membela aborsi di Thailand.

"Sanksi hukum akan menghalangi upaya perempuan mendapatkan layanan aborsi yang aman, serta merendahkan martabat perempuan tersebut," kata dia.

Sumber: Reuters
Baca juga: Puluhan ribu protes menentang aturan aborsi di Polandia
Baca juga: Bahas aborsi, Kanye West tak kuasa tahan tangis saat pidato pertama
Baca juga: PBB bantah tuduhan AS manfaatkan pandemi COVID-19 promosikan aborsi

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021