Jakarta (ANTARA) - Penerapan konsep ekonomi berkelanjutan atau circular economy dinilai berpotensi dalam mendorong substitusi impor di sektor industri, di mana strategi ini diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan dan daya saing manufaktur nasional.

“Konsep circular economy bukan hanya mendesain model industri dengan prinsip zero waste, tetapi juga fokus terhadap faktor sosial dan penyediaan sumber daya maupun energi yang berkelanjutan,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Eko SA Cahyanto lewat keterangan resmi di Jakarta, Kamis.

Dirjen KPAII menjelaskan, konsep circular economy dalam sektor industri dapat diaplikasikan dengan menggunakan pendekatan 5 R (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery, dan Repair).

“Adanya konsep rekondisi dan remanufacturing pada barang modal, serta reuse pada bahan baku dan penolong diharapkan dapat mengurangi impor industri pengolahan,” tuturnya.

Baca juga: Kemenperin bidik substitusi impor bahan baku 15 persen pada 2021

Konsep circular economy erat kaitannya dengan salah satu kebijakan yang digulirkan oleh Kemenperin, yakni industri hijau. Implementasi industri hijau adalah mengupayakan efisiensi dan efektivitas terhadap penggunaan sumber daya secara berkelanjutan.

“Sehingga mampu menyeleraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,” jelas Eko.

Adapun pengembangan circular economy membawa peluang bagi sejumlah sektor manufaktur, antara lain industri elektronika, kemasan, kertas, tekstil, logam, peralatan rumah tangga, otomotif dan alat angkut lainnya, ban/karet, serta furnitur.

Eko mengungkapkan, potensi circular economy di sektor industri elektronika, misalnya timbulan e-waste global pada tahun 2016 sebesar 44,7 juta ton dan akan mencapai sebanyak 52,2 juta ton pada 2021.

“Pada sampah elektronika, setidaknya terdapat 60 material berharga atas sampah barang elektronik kompleks, yang masih dapat didaur ulang dan digunakan kembali (memiliki nilai ekonomi),” paparnya.

Baca juga: Kemenperin bidik nilai TKDN naik jadi 50 persen hingga tahun 2024

Sementara itu, di industri tekstil, potongan kain dan sisa benang dapat didaur ulang menjadi serat tekstil yang dapat dipintal untuk perajutan atau menjadi benang open end, benang ukuran besar, dan mop yarn.

Sedangkan, potensi circular economy di industri logam, yakni aluminium yang merupakan logam secara tidak terbatas dapat diproduksi dalam siklus daur ulang yang berulang. Saat ini, permintaan scrap aluminium di Indonesia sebesar 18.000 ton per bulan.

Eko menambahkan, konsep circular economy juga berguna pada industri daur ulang, di antaranya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi sektor manufaktur dan menekan impor bahan baku. Potensi industri daur ulang plastik misalnya, memiliki kapasitas 1 juta ton per tahun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 20.000 orang.

Selain itu, terdapat juga potensi di industri daur ulang kertas dari 48 perusahaan, dengan total kapasitas produksi mencapai 8,2 juta ton dan menyerap tenaga kerja sebanyak 125 ribu orang. “Total kebutuhan kertas daur ulang sebesar 6,4 juta ton, di mana 50 persennya dipenuhi dari dalam negeri,” sebutnya.

Kemudian, untuk industri daur ulang tekstil, saat ini terdapat sembilan perusahaan dengan kapasitas sebesar 113 ribu ton per tahun yang menggunakan bahan baku daur ulang sebanyak 76,7 ribu ton, dengan 36 persennya berasal dari impor. Saat ini utilisisasi produksinya mencapai 70 persen dan total jumlah tenaga kerja sebanyak 3.529 orang.

“Untuk potensi industri daur ulang besi baja, saat ini ada 60 perusahaan yang menggunakan bahan baku sebagian besar impor (70-90 persen) daur ulang (skrap) dengan kapasitas 9 juta ton per tahun. Utilitas produksi saat ini hanya 40 persen sehingga membutuhkan bahan baku daur ulang sebanyak 4 juta ton per tahun,” papar Eko.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021