“Inggris pernah menjadi kekuatan utama dunia dalam waktu lama dan kemundurannya terjadi perlahan selama puluhan tahun. Uni Soviet hancur laksana gelas yang jatuh ke lantai. Saya kira kemunduran AS akan menyerupai Inggris,"
Perang Dingin kedua

Namun, empat tahun terakhir ini China tengah memasuki fase ketiganya dalam cara menghadapi AS, setelah rakyat Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa dalam referendum Brexit dan setelah Trump menjadi presiden AS. China tak menyangka dua negara demokrasi paling berpengaruh itu angkat kaki dari tatanan internasional yang justru telah membesarkan mereka.

China tentu saja memacu kekuatannya dalam segala penuh pada segala matra, termasuk militer, terutama ke kawasan-kawasan terdekat seperti Laut China Selatan.

Para pemimpin dan pakar-pakar China pun berani menyatakan era baru yang berpihak kepada China telah tiba, di antaranya karena Trump, seperti disebut Yan Xuetong “telah menghancurkan sistem aliansi pimpinan AS” sehingga menguntungkan China, dan karena AS “secara spiritual sudah kelelahan, secara fisik lemah dan tak bisa lagi memimpin dunia” seperti disebut profesor hubungan internasional China lainnya, Wu Xinbo.

Pandemi COVID-19 membuat China semakin percaya diri sampai Presiden Xi Jinping menyatakan saatnya meninggalkan era “menyembunyikan kapabilitas” untuk masuk menjadi pusat panggung dunia.

Namun sejumlah kalangan justru meyakini AS memancing China masuk menjadi kekuatan adidaya agar AS memiliki lawan sepadan seperti rivalitasnya dengan Uni Soviet semasa Perang Dingin.

“Saat ini banyak elite Amerika yakin AS di ambang masuk perang dingin kedua yang kali ini lawannya adalah China,” kata jurnalis terkemuka Financial Times, Gideon Rachman. Dengan memposisikan China sebagai musuh eksternal, maka AS akan lebih bersatu di dalam negeri karena memiliki musuh bersama.

Tetapi itu masih tergantung kepada seberapa berhasil Joe Biden memerintah AS, termasuk memulihkan perekonomian, menyukseskan vaksinasi, dan mendinginkan suasana di dalam negeri.

Jika Biden berhasil, maka kredibilitas AS akan pulih, terutama di mata sekutu-sekutunya di Barat yang membutuhkan kisah sukses untuk menaikkan moralnya sendiri dalam meraih lagi reputasi.

Namun kerusuhan di Capitol dan serangan terus menerus Trumpisme terhadap kelembagaan demokrasi di AS membuat negara ini akan kesulitan mempromosikan demokrasinya dan dalam beradu melawan China, Rusia atau kekuatan-kekuatan yang dianggap Barat cenderung otoriter.

Bahkan sekalipun Biden sudah berjanji bekerja sama dengan sekutu-sekutunya dalam masalah keamanan, perubahan iklim dan perdagangan, jalan yang dilalui AS tak lagi lagi normal. Uni Eropa yang terikat pakta investasi dengan China misalnya, tak akan gampang memalingkan muka dari China sepanjang tak ada pasar dan modal sebesar seperti ditawarkan China.

Sebaliknya, jika Biden gagal, China praktis memegang momentum, dan membuat efektivitas demokrasi multipartai digugat, selain membangkitkan lagi populisme dalam postur yang mungkin lebih besar pada pemilu 2024.

Pada akhirnya, Biden menjadi kunci untuk menjawab skenario kemunduran AS tersebut.

Baca juga: Quo vadis Donald Trump
Baca juga: AS hadapi peningkatan ancaman terorisme dalam negeri
Baca juga: Makna Amerika Serikat di jalur Kesepakatan Paris

 

Copyright © ANTARA 2021