Jakarta (ANTARA) - Australian Open telah lama menjadi permata mahkota olahraga Melbourne tetapi penduduk kota ini yang menyimpan kenangan pahit akibat lockdown COVID-19 khawatir Grand Slam malah ternyata menjadi cawan beracun.

Pada saat Australia melewati hampir dua pekan tanpa satu pun kasus penularan dalam komunitas, Tennis Australia menghabiskan sekitar 40 juta dolar Australia (Rp428 miliar) untuk menerbangkan 1.200 pemain dan personel dari seluruh dunia masuk ke negeri itu dan mengandangkan mereka ke karantina hotel selama dua pekan.

Tidak seperti pada French Open dan US Open tahun lalu di mana fokusnya meminimalkan risiko infeksi terhadap pemain, langkah-langkah yang diterapkan untuk Australian Open adalah melindungi penduduk setempat yang telah berkorban banyak demi kebebasan yang mereka nikmati saat ini.

"Saya kira sungguh mengerikan mereka tetap menggelar Australian Open," kata Liam Janke, seorang koki di CBD Melbourne, saat istirahat sejenak demi menghisap rokoknya dari kerjanya Jumat ini.

"Risikonya besar sekali. Sepertinya mereka bahkan tidak ingat apa yang terjadi di sini tahun lalu," sambung dia seperti dikutip Reuters.

Melbourne pernah menjadi pusat gelombang kedua terbesar wabah virus corona di Australia yang menyebar dari para pendatang yang kembali ke negeri itu untuk menulari staf di karantina hotel.

Wabah pertengahan 2020 itu merenggut hampir 800 nyawa dan menghancurkan mata pencaharian yang tak terhitung jumlahnya ketika sekitar lima juta manusia harus mematuhi salah satu lockdown paling ketat di dunia selama hampir empat bulan.

Mengingat virus itu kini sudah terkendali, Melbourne mendapatkan kembali sebagian besar kebebasannya sebelum pandemi COVID-19 menimpa. Australia pun dianggap negara-negara lain sebagai model dalam mengatasi COVID-19.

Namun banyak penduduk Melbourne tetap berhati-hati saat berkumpul dalam jumlah besar, dan kabar mengenai tes positif di kalangan peserta Australian Open yang dikarantina membangkitkan kembali kekhawatiran mengenai potensi wabah berikutnya.

Baca juga: Peserta Australian Open mulai tinggalkan hotel isolasi COVID-19 
Baca juga: Nadal dan Serena dukung penerapan protokol ketat di Australia 


Sindir bintang tenis yang mengeluhkan karantina

Sejumlah penduduk setempat menyindir para petenis yang mengeluhkan kondisi karantina setelah mereka diterbangkan secara gratis dengan pesawat-pesawat carteran, sedangkan pada saat bersamaan ribuan warga Australia masih terdampar di luar negeri karena tidak bisa mendapatkan tempat duduk dalam penerbangan yang terbatas menuju Australia.

"Saya punya teman yang berada di luar negeri yang berusaha kembali ke Australia dan mereka tidak bisa," kata Anthony Macarone yang bekerja sebagai bartender untuk sebuah pub di tepi selatan Sungai Yarra.

"Mereka terus-terusan terbentur karena maskapai lebih memilih mereka yang bersedia membayar lebih banyak untuk kursi penerbangan mereka.

"Lalu bintang-bintang besar ini masuk dan berkeluh kesah," sambung Macarone.

Kelompok pertama petenis yang dikarantina dan rombongannya sudah bisa keluar dari isolasi Kamis kemarin. Sisanya diperkirakan keluar Minggu lusa.

Mereka akan bermain di hadapan penonton Australian Open di Melbourne Park yang tribunnya sudah dipangkas hanya untuk 35 persen dari kapasitas normal.

Langkah-langkah jaga jarak sosial membuat "tiket masuk" yang murah tidak akan dijual tahun ini.

Banyak orang yang memilih untuk sama sekali menghindari turnamen itu, kata Danielle Cummins, pekerja panti jompo yang tengah menikmati segelas anggur di sebuah bar yang hampir kosong di kota tersebut.

"Saya biasanya menonton tetapi tahun ini tidak mau," kata dia.

"Saya hanya merasa tidak nyaman dengan hal itu. Apa yang kami miliki di sini terlalu berharga. Dan satu-satunya yang menghilangkan itu (keadaan terlalu berharga itu) adalah membiarkan virus masuk dari luar negeri." 

Baca juga: Australian Open terpaksa ganti hotel karantina
Baca juga: Tak ada bedanya karantina di Adelaide dengan Melbourne, kata Thiem 
Baca juga: Gairah tenis Azarenka kian besar saja menjelang Australian Open 

 

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Rr. Cornea Khairany
Copyright © ANTARA 2021