Smelter ini sulit untuk direalisasikan perusahaan penambang karena nilai investasi untuk pembangunannya sangat besar
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam mengusulkan sejumlah pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter  diambil alih atau dimiliki badan usaha milik negara (BUMN).

Ia mencontohkan hingga kini, pembangunan smelter yang dikerjakan PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, masih sulit direalisasikan.

"Smelter ini sulit untuk direalisasikan perusahaan penambang karena nilai investasi untuk pembangunannya sangat besar. Saya tanya perwakilan Freeport, (biayanya) kurang lebih Rp52 triliun. Sehingga saya sudah dua kali menyampaikan bahwa smelter ini harus dikerjakan atau dimiliki BUMN," kata Ridwan dalam rilis yang diterima di Jakarta, Minggu.

Baca juga: PT PP kembali bangun pabrik peleburan feronikel di Kolaka

Menurut dia, bila smelter dimiliki BUMN maka ke depannya juga akan menjadi bagian dari holding pertambangan sehingga konsentrat berbagai hasil perusahaan penambang harus melewati smelter tersebut.

Ia berpendapat bahwa smelter harus tetap dibangun dalam rangka meningkatkan nilai tambah hasil tambang di Indonesia.

"Karena kalau tidak ada smelter, hasil tambang berupa tanah itu diangkut saja keluar, isinya apa saja tidak tahu. Kalau sudah dimasukkan ke smelter, melalui beberapa proses maka sudah bisa diketahui ada emas, tembaga, dan lain-lain, sehingga nilai jualnya bisa lebih tinggi," ucap Ridwan.

Dengan nilai investasi yang besar, lanjutnya, maka sebaiknya pemerintah dapat membuat semacam BUMN pengolahan smelter.

Baca juga: Sinergi WIKA-CNI percepat pembangunan "smelter" feronikel

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan realisasi pembangunan smelter katoda tembaga oleh PT Freeport Indonesia baru mencapai 5,86 persen per Juli 2020.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menilai Freeport sudah melakukan upaya sungguh-sungguh meski realisasi pembangunan masih jauh dari target pelaksanaan, yakni sebesar 10,5 persen pada 2020.

"Sudah cukup banyak yang dilakukan, kami mengamati kegiatan yang ada di lapangan, dari penyiapan lahan, uji-uji geoteknik sudah dilakukan, amdal dan lain-lain. Secara umum walaupun di bawah target, kami melihat kesungguhan PT Freeport dalam melakukan program ini," katanya.

Baca juga: Pemerintah diminta tegas kepada Freeport untuk selesaikan smelter 2023

Ridwan merinci dalam progresnya, realisasi smelter katoda tembaga di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur, baru mencapai 5,86 persen dengan serapan biaya 159 juta dolar AS.

Selain itu, Freeport juga membangun smelter precious metal refinery (PMR) yang realisasinya baru mencapai 9,79 persen dengan biaya 19,8 juta dolar AS. Realisasi ini juga masih jauh dari target yang ditetapkan sebesar 14,29 persen.

Meski belum mencapai sesuai target, pemerintah menegaskan bahwa Freeport wajib menyelesaikan pembangunan smelter dalam waktu tiga tahun yakni pada 2023, sesuai dengan Undang-Undang Minerba.

Baca juga: Kementerian ESDM: Realisasi "smelter" Freeport baru 5,86 persen

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021