Semarang (ANTARA) - Ada sementara orang yang berpendapat tidak bakat dalam berkebun sebelum mencobanya. Salah satu alasan klasik, tidak pandai bertanam gegara tak bertangan dingin.

Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah tangan dingin ini adalah sifat selalu membawa hasil, terutama dalam usaha pertanian, pengobatan, dan sebagainya.

Alasan lain, tidak memiliki lahan luas, tidak punya pekarangan, atau halamannya telanjur dipasang keramik sehingga tidak ada media untuk bercocok tanam.

Namun, kata peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda, semua itu bergantung pada kemauan dan keberanian mencoba berkebun.

Mereka bisa menerapkan sistem teraponik, yakni suatu sistem yang memanfaatkan lahan kecil menjadi lahan produktif untuk pertanian. Sistem ini menggunakan tanah, namun umumnya di kontainer, bukan tanah terbuka di atas bumi.

Sementara itu, bagi mereka yang telanjur halaman rumahnya dipasang keramik, misalnya, masih ada media tanam hidroponik sebagai salah satu alternatif. Cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah (hidroponik) ini biasanya dikerjakan dalam kamar kaca dengan menggunakan medium air yang berisi zat hara.

Zat ini meliputi unsur fosfat, amonium, dan nitrat yang mempengaruhi kesuburan perairan yang menentukan jenis tumbuhan yang hidup di dalamnya. Ciri-ciri ini umumnya dimiliki hidroponik.

Oleh karena itu, pendiri start up CitiGrower (inisiatif urban farming berbasis digital) ini menyarankan kepada pemula untuk mengenal seputar tanah, media tanam, dan pupuk sebelum mengawali berkebun.

Hal ini juga pernah Dian Armanda sampaikan dalam dalam Webinar Urban Farming Series III bertajuk Optimalkan Tanah Sehat dan Pupuk Organik: Modal Urban Farming Alami, Sabtu (30/1) malam.

Ditegaskan oleh kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini bahwa tanah merupakan media tanam paling natural (organik).

Baca juga: Kiat bercocok tanam di rumah dari petani organik
Berkebun dengan sistem teraponik atau menggunakan tanah di sekitar rumah. ANTARA/HO-CitiGrower


Tanah sehat

Untuk mengetahui apakah tanah di sekitar rumah itu sehat atau tidak, perlu melakukan uji tanah secara sederhana, yaitu: pertama, uji komponen tanah apakah berupa lempung (clay), sedimen (silt), dan pasir (sand); kedua, uji asam/basa apakah kelebihan cuka. Apabila berbusa, menandakan tanah basa, biasanya tercemar bahan kimia.

Dian Armanda menjelaskan pula bahwa tanah sehat menyediakan rumah ideal bagi mikrobia dan organisme lain di tanah. Adapun ciri-cirinya, antara lain kaya biota, kaya humus dan mineral, gembur dengan komposisi 50:50 padatan versus kantung udara, hitam atau mengandung karbon organik, sirkulasi udara dan air baik, serta derajat keasaman atau pH-nya kurang lebih 7 dengan range 5.5—8.0.

Selain itu, tanah subur mengandung mikrobia yang mampu menyerap karbon di atmosfer (di udara) penyebab global warming, mengembalikan karbon-karbon itu ke tanah.

Tanah juga bisa menyimpan setidaknya 4.000 gigaton lebih banyak karbon daripada atmosfer dan seluruh tanaman yang tumbuh di permukaan tanah sebanyak 1.700 gigaton.

Mereka yang berkebun di perkarangan rumah juga perlu memelihara tanah sehat dengan maksimalkan keanekaragaman hayatinya dan minimalisasi gangguannya.

Pemeliharaan tanah sehat meliputi penanaman, pemulsaan, tanaman penutup, irigasi cukup, menggunakan pupuk organik/kompos, rotasi tanaman, rotasi grazing, legum, menjaga perakaran atau hati-hati saat memanen bagian akar, dan digarpu/ditusuk sedikit untuk menambah aerasi (penambahan oksigen ke dalam tanah).

Agar tanah tetap sehat, salah satunya adalah pemulsaan atau teknik untuk menjaga tetapnya suhu tanah di sekitar akar tanaman, menahan uap air dalam tanah, mencegah erosi, dan menghilangkan tumbuhnya gulma dan penyakit.

Dian Armanda juga menyarankan kepada pekebun urban farming, bila tanah sudah subur, untuk tidak mencabut akar tanaman dengan paksa, menginjak tanah, membalik tanah dengan mencangkul atau membajak, dan menggunakan bahan sintetis (pupuk, pestisida, fungisida, dan herbisida). Selain itu, jangan memaparkan tanah langsung ke sinar matahari.

Baca juga: Berkebun di rumah jadi tren selama karantina akibat virus corona

Perbaiki kualitas tanah

Dosen UIN ini juga memberikan tips bagaimana cara memperbaiki kualitas tanah agar sehat kembali, antara lain jika terlalu asam, netralkan dengan dolomit, abu vulkanis, abu kayu bakar, arang kayu, atau sekam bakar.

Apabila terlalu basa, dinetralkan dengan serbuk gergaji atau kompos matang sehingga pH-nya 7.

Ditinjau dari komponen dominannya, terdapat beberapa cara untuk memperbaiki tekstur tanah sebelum digunakan sebagai media tanam.

Bila komponen dominan berupa lempung, air menjadi sulit lewat, resapan air lama, maka perlu digemburkan dengan membuat kompos di situ.

Apabila dominan tanah liat, perlu ditambah pasir, dan jangan diinjak/dipadatkan, tambahkan pupuk hijau, lakukan rotasi tanaman dan tanami pohon.

Selanjutnya, jika dominan pasir, perlu ditambah tanah liat plus pupuk cair, tambah pupuk hijau, dan tanami pohon.

"Jangan beri sesuatu yang berlebihan, kecuali kompos," ucap Dian Armanda.

Pada Urban Farming Webinar Series III City Grower, Duta Petani Milenial Shofyan Adi Cahyono mengenalkan sistem pertanian organik dan pembuatan pupuk organik.

Shofyan Adi Cahyono yang juga Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Citra Muda ini mengutarakan bahwa pertanian organik adalah sistem produksi yang menopang kesehatan tanah, ekosistem, dan manusia.

Namun, hal itu bergantung pada proses ekologis, keanekaragaman hayati, dan siklus yang disesuaikan dengan kondisi lokal daripada penggunaan input dengan efek buruk.

Shofyan menjelaskan pula bahwa pertanian organik menggabungkan tradisi, inovasi, dan ilmu pengetahuan untuk menguntungkan lingkungan bersama dan mempromosikan hubungan yang adil dan kualitas hidup yang baik untuk semua yang terlibat.

Budi daya pertanian organik, menurut Shofyan, tidak boleh menggunakan pupuk kimia, tidak boleh menggunakan pestisida kimia, tidak boleh menggunakan hasil rekayasa genetik (GMO), dan lahan telah melalui masa konversi (peralihan).

Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Dalam hal ini, petani menjual produk organik dengan harga yang menguntungkan, sementara konsumen mendapatkan harga produk organik yang rasional atau terjangkau.

Produk organik ini, baik berupa sayuran maupun buah-buahan, juga bisa berasal dari perkarangan setiap rumah. Apalagi, pada masa pandemi COVID-19 sekarang ini, berkebun salah pilihan untuk mengisi waktu luang sekaligus menjaga tertularnya virus corona.*

Baca juga: Berkebun di rumah bantu halau kebosanan selama isolasi diri
Bercocok tanam di halaman rumah tanpa menggunakan tanah (hidroponik). ANTARA/HO-CitiGrower

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021