Nuansa kultural pendekatan dan cara kerja Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo ini makin tidak diragukan lagi.
Jakarta (ANTARA) - Jauh sebelum dilantik sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), nama Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo sudah membawa harapan baru bagi korps Bhayangkara.

Akpol lulusan tahun 1991 ini dalam kacamata anggota Ombudsman Laode Ida selalu meninggalkan kesan yang baik di daerah, tempatnya bertugas. Ketika menjabat menjadi Kapolda Banten walau di awal-awal mendapat penolakan dari masyarakat, harus diakui ia sukses dan mampu memberikan nuansa penegakan hukum di bawah kepemimpinannya yang damai (Indonews, 13-1-2021).

Dikenal sebagai polisi yang santun, ramah, sejuk, dan komunikatif membuat Jenderal Pol. Sigit Prabowo dinilai oleh banyak kalangan merupakan figur yang tepat untuk menggantikan posisi Jenderal Pol. Idham Aziz yang memasuki masa pensiun pada Februari 2021.

Diawali oleh dukungan mencolok dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang notabene partai politik yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di dunia yang menurut almarhum K.H. Abdurrahman Wahid jumlah warga NU di Indonesia pada tahun 2010 lebih dari 50 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 120.000.000 jiwa. 

Hal ini membuat legitimasi sosial-kultural Listyo Sigit Prabowo makin kuat dan kukuh. Dukungan PKB itu disampaikan tepat pada saat atmosfir politik identitas menguat dan mempertanyakan latar belakang agama Listyo Sigit, dan PKB menegaskan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila, urusan agama seseorang tidak perlu dipersoalkan (Tempo, 13-1-2021).

Baca juga: Kapolri Jenderal Listyo Sigit ucapkan selamat Harlah Ke-95 NU

Dukungan PKB kepada sosok Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo tidak lepas dari harapan-harapan yang jauh lebih besar. Ketua Fraksi DPR RI dari PKB berharap pada masa-masa mendatang, institusi Kepolisian RI membuka kesempatan dan peluang yang sama untuk menerima santriwan/santriwati lulusan pondok pesantren dan madrasah yang ingin bergabung ke dalam barisan kepolisian. Bukan saja balas jasa, melainkan karena lembaga pesantren sudah memiliki regulasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 (JPNN, 20-1-2021).

Kedekatan institusi kepolisian dengan pondok pesantren dan keanggotaan polisi yang terdiri atas lulusan pondok pesantren adalah dalam rangka untuk menguatkan spirit nasionalisme. Apalagi moto komunitas pesantren sudah sangat jelas Hubbul Wathan Minal Iman (mencintai tanah air adalah bagian dari keimanan). Sebuah jargon yang diambil dari fatwa Muasis (pendiri) NU K.H. Hasyim Asyari bersama dengan beberapa ulama NU lain untuk menggerakkan sifat nasionalis pada seluruh masyarakat dimulai dari kalangan kiai dan santri.

Ketika menerima utusan dari Soekarno berkaitan dengan hukum membela dan mempertahankan bangsa dan negara bagi warga oleh penjajah, K.H. Hasyim Asyari mengatakan bahwa hukumnya fardu ain atau kewajiban individual. Mulai saat itulah dia mengeluarkan fatwa jargon Hubbul Wathon Minal Iman.

Dalam konteks nasionalisme, kerja sama institusi kepolisian di bawah kepemimpinan Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo ini sudah sangat tepat. Lebih-lebih secara personal, Kapolri mengaku dirinya sebagai bagian dari warga nahdiyin. Bahkan, ia mengingatkan jajarannya, jika ada kapolsek, kapolres, kapolda tidak mau bertemu dengan NU, berarti tidak menghormati dirinya sebagai warga nahdiyin (PikiranRakyat, 29-1-2021).

Nuansa kultural pendekatan dan cara kerja Kapolri Listyo Sigit Prabowo ini makin tidak diragukan lagi setelah mengunjungi dan bersilaturahmi ke ormas terbesar kedua setelah NU, yakni Muhamadiyah. Kemampuan komunikasi kultural Kapolri yang nonmuslim ini berhasil meraih simpati dan hati dari pimpinan tertinggi Muhammadiyah.

Baca juga: Kapolri bersilaturahmi dengan Ketua Umum MUI di kediamannya

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengeluarkan sebuah statemen yang sangat Pancasilais-Nasionalis. Ia menyebutkan bahwa institusi Polri telah dianggap sebagai bagian dari keluarga Muhammadiyah. Karena satu keluarga walaupun berbeda-beda satu sama lain, berasal dari jiwa dan raga yang sama, menanggung rasa cinta yang sama kepada bangsa dan umat, khususnya dan kepada negara umumnya.

Usulan tagline dari Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti untuk institusi Kepolisian Republik Indonesia sangat luar biasa, "Polisi Sahabat Umat" (Kompas, 29-1-2021). Tagline ini merefleksikan keakraban dan keintiman antara polisi dan umat (bangsa) untuk bersama-sama menjaga keutuhan rumah besar kita bersama (negara Indonesia) dari segala macam hiruk pikuk yang naif dan tidak pantas, yang bisa mencemari nama baik negara di mata orang lain (dunia).

Sebagai penutup, Jendral Pol. Listyo Sigit Prabowo melakukan kunjungan ke Rabithah Alawiyah, memohon agar orang-orang Hadhrami, keluarga Ba'alawi, keturunan Rasulullah saw., menjadi penerjemah bahasa institusi kepolisian.

Sementara itu, respons DPP Rabithah Alawiyah juga sangat menakjubkan. Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Habib Zein bin Umar bin Smith, meyakini bahwa pendekatan humanis dan transparan dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo akan membawa kemajuan yang berarti, terlebih dalam hal edukasi publik dan minimalisasi konflik sosial (Tempo, 30-1-2021).

Komunikasi Kapolri yang menegaskan betapa pentingnya Rabithah Alawiyah sebagai "penerjemah" sangat kontekstual sebab kasus yang masih berjalan melibatkan tokoh publik yang masih berdarah Alawiyah, yakni Habib Rizieq Syihab (HRS). Komunikasi langsung antara kepolisian dan HRS maupun pendukung fanatiknya akan semakin efektif apabila dijembatani oleh bahasa-bahasa keummatan dari Rabithah Alawiyah ini.

Pendekatan kultural dari Kapolri ini mirip dengan pendekatan kultural Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sebelumnya, ketika Menag sedang berupaya untuk mengklarifikasi nasab atau silsilah HRS. Menag berkunjung dan silaturahmi ke Rabithah Alawiyah. Dua institusi berbeda (kepolisian dan Kemenag) betul-betul mengandalkan kemampuan Rabithah Alawiyah dalam berkomunikasi kepada publik Indonesia, khususnya dalam berbicara keislaman, kebangsaan, dan kenegaraan.

Hemat penulis, pendekatan-pendekatan kultural pada masa depan cukup efektif untuk membangun kerekatan bangsa dan negara yang sangat plural atau majemuk ini. Ada banyak golongan dengan karakter dan ideologi masing-masing.

Jika tidak dijembatani dengan pendekatan humanis, transparan, kekeluargaan, dan persaudaraan, kita akan sulit merajut kemajemukan bangsa ini, terlebih dalam hal meminimalisasi konflik dan potensi perpecahan.

Bagaimana pun, NKRI adalah jantung hidup kita bersama yang harus senantiasa kita jaga keharmonisan dan keutuhannya agar menjadi warisan terindah untuk anak cucu kita semua.

Baca juga: Sambangi Rabithah Alawiyah, Habib Aboebakar: Kapolri sangat jeli

*) Mujahidin Nur, Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Kajian Strategis dan Global, Universitas Indonesia, anggota Komisi Infokom MUI dan Direktur The Islah Centre, Jakarta.

Copyright © ANTARA 2021