Dan Facebook memang diblokir oleh junta setelah militer Myanmar atau Tatmadaw yang mengkudeta pemerintah sah pemenang pemilu 8 November 2020, mendapati kenyataan aksinya ditentang keras oleh publik yang bahkan menyerukan pembangkangan sipil.
Baca juga: Penyedia internet Myanmar yang dikelola negara blokir Facebook
Dalam sejarah modernnya, Myanmar sudah tiga kali mengalami kudeta dan ketiganya terjadi dalam masa pra-smartphone dan pra-media sosial, pada 1958, 1962 dan 1988.
Saat itu para jenderal yang melancarkan kudeta beruntung karena untuk mengendalikan rakyat, mereka cukup memarkir kendaraan tempur di depan stasiun televisi atau radio, kemudian memerintahkan serdadu-serdadunya menodongkan senjata ke para penyiar agar membacakan pernyataan bahwa militer telah mengambil kekuasaan.
Namun keadaan saat ini berbeda dengan puluhan tahun lalu. Kini rakyat Myanmar mempunyai banyak alternatif dalam bagaimana mencari tahu apa yang terjadi di sekeliling mereka, bahkan bisa turut aktif dalam perdebatan politik dan sosial.
Itu terjadi setelah media sosial hadir dan meluasnya penetrasi smartphone di negeri yang sekitar dua dekade lalu sangat menutup diri itu. Kini, boleh dibilang Myanmar sudah menjadi salah satu "negara Facebook" karena luasnya penetrasi platform media sosial tersebut di Negeri Seribu Pagoda ini.
Baca juga: Myanmar penjarakan pembuat film karena kritik militer di Facebook
Data "We Are Social" Januari 2020 memperlihatkan bahwa baik pengguna telepon mobile, pengguna internet, maupun pengguna media sosial di Myanamar, bertambah dari tahun ke tahun.
Dari Januari 2019 sampai Januari 2020, jumlah pengguna aktif media sosial naik 1,4 juta pengguna sehingga sampai Januari 2020 ada 22 juta pengguna media sosial aktif di sana atau 41 persen dari jumlah penduduk.
Di Myanmar, media sosial 100 persen diakses dari smartphone, sedangkan yang terkoneksi dengan smartphone sendiri sudah mencapai 68,24 juta pengguna atau 126 persen dari total penduduk.
Itu angka tahun lalu. Kemungkinan besar dalam satu tahun terakhir ini angka itu jauh lebih besar lagi, apalagi pandemi membuat orang seluruh dunia, termasuk Myanmar, menggantungkan koneksi internet untuk tetap terhubung dan memperoleh informasi serta hiburan.
The Irrawaddy bahkan menyebutkan saat ini ada 54,5 juta warga Mynamar yang menggunakan Facebook. Dan ini termasuk militer dan keluarganya yang disebut-sebut sebagai kalangan yang keranjingan Facebook.
Baca juga: Facebook tutup puluhan akun di Myanmar karena "ketidakasliannya"
Junta tidak nyaman
Jangan heran ketika Tatmadaw yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing menahan Aung San Suu Kyi dan memberlakukan keadaan darurat satu tahun dalam kudeta 1 Februari itu, rakyat Myanmar membanjiri Facebook.
Jutaan pengguna media sosial menumpahkan simpati dan dukungan kepada Suu Kyi dan demokrasi, bahkan menyeru pembangkangan sipil.
Seruan ini sendiri beresonansi ke banyak kalangan, termasuk kaum profesional, pegawai negeri sipil termasuk petugas kesehatan yang mogok kerja dari menangani pandemi COVID-19, dan kalangan sipil, yang serempak menyambut ajakan pembangkangan sipil itu.
Mereka juga mengunggah seruan kepada negara-negara Barat agar menyelamatkan Myanmar. Tagar-tagar anti-junta juga berseliweran di Facebook, termasuk tagar "civil disobedience" atau pembangkangan sipil, "stay-at-home-movement" dan "save Myanmar".
Baca juga: Facebook hapus petinggi tentara Myanmar dari lamannya
Gerakan online itu juga mewujud di dunia nyata dengan munculnya gerakan-gerakan simbolis menentang militer seperti gerakan membunyikan klakson mobil dan memukul panci.
Tak pernah rakyat Myanmar bisa seterbuka itu menentang junta. Pada masa-masa lalu ketika kudeta terjadi, kebanyakan rakyat bungkam karena semua saluran informasi memang bisa dengan mudah dikunci oleh junta.
Kini, suara nyaring dari rakyat kebanyakan ini membuat junta tidak nyaman. Keputusan harus diambil, dan Facebook pun diblokir.
Pertanyaannya efektifkah langkah ini? Sampai kapan Myanmar tahan tanpa Facebook ketika Tatmadaw dan keluarganya sendiri pun sudah kecanduan Facebook?
Kolumnis The Irrawaddy, Aung Zaw, mempunyai jawaban agak jenaka untuk itu, sekaligus menguakkan fakta mencengangkan mengenai Myanmar belakangan tahun ini.
Sekilas tentang The Irrawaddy. Media ini didirikan pada 1993 oleh sekelompok wartawan Mynamar yang mengasingkan diri di Thailand. Tahun itu belum berbentuk laman web.
Wartawan-wartawan ini dulunya para aktivis yang terpaksa meninggalkan Myanmar guna menghindari persekusi militer akibat gerakan pro-demokrasi 1988.
Baca juga: Facebook akui "terlalu lambat" tangani ujaran kebencian di Myanmar
Menyuburkan perlawanan
Menulis pada 29 Januari atau dua hari sebelum kudeta 1 Februari, Aung Zaw mengisahkan kekhawatiran seorang kolega dari luar negeri mengenai kemungkinan internet dan media sosial diblokir, seandainya kudeta terjadi.
Sang kolega menulis di Facebook seandainya Facebook dan internet dimatikan, maka "Rakyat akan memberontak. Bukan memberontak demi demokrasi, melainkan gara-gara ponselnya dirampas” karena dipakai untuk mengakses Facebook.
"Saya bilang pada sahabat saya itu tenang saja karena saya tahu banyak perwira militer dan keluarganya sudah kecanduan media sosial dan Facebook. Jika internet dimatikan, mereka (militer) juga akan memberontak, bukan hanya rakyat," kata Aung Zaw.
Tulisan Aung Zaw itu memang sinisme, tetapi menguakkan fakta bahwa Facebook sudah demikian merasuki rakyat Myanmar. Bahkan konon, mantan pemimpin militer Jenderal Than Shwe yang sudah berusia 80-an tahun dan hobi membaca garis tangan, berselancar setiap hari di Facebook.
Dalam banyak hal militer juga membutuhkan media sosial, terutama untuk menyebarkan pesan-pesan mereka sendiri, salah satunya dalam memuluskan orkestra politik militeristisnya di negara bagian Rakhine, jauh sebelum pembantaian Rohingya terjadi pada 2017.
Media sosial memang telah membantu memupuk sentimen anti-Rohingya lewat hoaks dan ujaran kebencian yang disebarluaskan sekutu-sekutu militer. Dan ini mempermudah jalan dan bahkan menjadi legitimasi untuk eksterminasi Rohingya.
Salah satu ujaran kebencian itu berasal dari posting biksu ekstrimis anti-muslim, Ashin Wirathu. Pada 2014, dia membagikan posting pemerkosaan oleh para pemuda muslim terhadap seorang gadis Budha yang viral di Facebook namun ternyata terbukti bohong besar.
Tetapi kebencian sudah terlanjur merasuki bagian besar penduduk. Tinggal menunggu pemantik saja untuk naik ke tingkat lebih esktrem.
Dan ketika pemantik itu muncul setelah Arakan Rohingya Salvation Army menyerang pos-pos Tatmadaw di perbatasan Myanmar-Bangladesh, Tatmadaw pun mendapatkan jalan untuk melancarkan apa yang sebelumnya sudah dipupuk lewat kampanye hasutan di media sosial dan kemudian disebut PBB sebagai genosida Rohingya itu.
Mengutip BBC, para penyidik hak asasi manusia PBB sendiri menyimpulkan bahwa sejak lama ujaran kebencian di Facebook memainkan peran penting dalam menggerakkan kekerasan di Myanmar.
Oleh karena itu, memblokir Facebook, media sosial atau internet ketika mayoritas rakyat Myanmar sudah menganggap internet dan media sosial bagian tak terpisahkan dalam hidupnya, bisa kontraproduktif bagi junta dan sebaliknya makin membesarkan antipati rakyat terhadap junta.
Di sini, junta akan rugi besar dan bisa mati langkah, terlebih bagian terbesar dunia tak sudi mengakui mereka.
Tetapi, tetap mengaktifkan Facebook juga sama dengan menyediakan saluran perlawanan terhadap junta. Ini buah simalakama untuk junta Myanmar.
Baca juga: Penyidik PBB tuding Facebook sebarkan ujaran kebencian di Myanmar
Baca juga: Facebook serius tangani ujaran kebencian di Myanmar
Baca juga: Aung San Suu Kyi tidak sempat "twitter-an"
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021