Bangsa ini membutuhkan lebih banyak negarawan sejati untuk mencapai sebuah kemadanian yang sesungguhnya.
Jakarta (ANTARA) - Bung Hatta pernah pada suatu senja membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang kelak akan diingat dalam sejarah bangsa ini, ketika itu pada tanggal 20 Juli 1956.

Dalam pikirannya telah tegas bahwa sejarah Dwitunggal dalam politik Indonesia tamat setelah UUD 1950 menetapkan sistem Kabinet Parlementer.

Proklamator itu merasa bahwa ia tak lagi sejalan dengan pemikiran sejawatnya, Bung Karno, sehingga ia harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wapres.

Ia membaca kembali isi surat yang akan dikirimkan kepada Ketua DPR Sartono untuk kesekian kalinya itu.

Beberapa suratnya serupa didiamkan begitu saja. Namun, kali ini tekadnya telah bulat bahwa segera, setelah Konstituante dilantik, ia akan meletakkan jabatan Wapres secara resmi.

Lagi-lagi suratnya didiamkan DPR sehingga pada bulan November pada tahun yang sama ia melayangkan surat serupa sampai kemudian pada bulan Desember 1956 setelah melalui banyak rapat bahasan yang mencoba untuk menahan keinginan Hatta, permohonan itu akhirnya dikabulkan.

Hingga 17 tahun kemudian, Indonesia melalui masa-masa ketiadaan Wapres sampai pada tahun 1973, posisi tersebut diisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Semua belajar pada Hatta bahwa ketika sampai pada titik tekanan tertentu ia memilih menjadi negarawan alih-alih politikus.

Setelah mundur dari pemerintahan pun, Bung Hatta tidak pernah lagi mencampuri atau mengkritisi kebijakan politik yang diambil Bung Karno.

Dalam hal ini Bung Hatta yang orang Padang mencoba untuk menerapkan falsafah Jawa, yaitu bertindak menjadi pemenang tanpa perlu ngasorake (tanpa perlu mempermalukan) mitra Dwi-Tunggalnya dalam saat-saat awal pemerintahan Indonesia itu.

Bung Hatta yang amat sahaja itu lebih memilih diam demi menjaga persatuan, dan menghindari pertikaian politik yang tak menguntungkan pada saat bangsa sedang menghadapi tantangan yang jauh lebih besar ketimbang sekadar egopolitik pribadinya.

Baca juga: Pesan Bung Hatta: Demokrasi asli di Indonesia adalah musyawarah

Teladan sosok Hatta yang memilih nenjadi negarawan sejati ini sesungguhnya mirip dengan sikap yang diambil oleh presiden pertama Amerika Serikat George Washington.

Sebagai seorang jenderal yang berjasa memerdekakan AS dari penjajahan Inggris, rakyat Amerika sangat mencintai George Washington sehingga mereka memintanya untuk menjabat lagi pada saat habis masa jabatan kedua.

Namun, Washington dengan tegas menolak dengan mengatakan bahwa bangsa Amerika baru saja bebas dari kekuasaan monarki Inggris. Jika ia menerima jabatan presiden terus-menerus, itu sama saja dengan meneruskan budaya monarki yang selama ini diperangi oleh seluruh rakyat Amerika.

Dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa Bung Hatta dan George Washington mempunyai kesamaan karakter, yaitu lebih mengutamakan kepentingan seluruh bangsa dibanding ambisi pribadi atau kepentingan golongan.

Keduanya juga meninggalkan karier politik dengan catatan yang amat baik, sesuatu yang membedakan karier seorang politikus dan seorang negarawan, yaitu it is not how you start it, but how you end it.

Negarawan paham bahwa mengakhiri karier politik dengan prestasi yang baik akan diukir dalam tinta emas perjalanan sejarah suatu bangsa. Sebagaimana gajah mati meninggalkan gading, maka negarawan meninggal mewariskan legasi, yakni teladan dan nama baik.

Baca juga: Mengkaji konsep Bung Hatta, petani hingga koperasi berskala BUMN

Cermin Nyata

Sesungguhnya bangsa ini sedang merindukan negarawan yang lebih banyak ketimbang politikus. Masalahnya, kerap kali kisruh politik di negara ini jauh disebabkan karena egopolitik pribadi yang mengalahkan kepentingan yang lebih besar.

Cermin nyata sebagai contoh konkret tak lain terkait dengan ricuh dalam internal partai politik yang justru meluas menjadi isu bersama.

Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat seperti diberikan tontonan berupa polemik antara Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Jenderal (Purn.) Moeldoko yang masih saja terus bergulir.

Tak berhenti sampai di situ, persoalan itu kian coba dilebarkan ketika sepucuk surat dilayangkan mengenai persoalan tersebut kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui bahwa surat tersebut sampai ke Istana dan Presiden merasa tidak perlu memberikan balasan apa pun karena hal itu dianggap sebagai persoalan internal Partai Demokrat.

Aktivis milenial Hengky Primana menyayangkan sikap para kader partai dan politikus di Tanah Air yang kunjung menjadi dewasa dan menjaga wibawa politiknya di mata masyarakat.

Bahkan, ada kalanya ketika mereka tidak mampu lagi membedakan urusan pribadi atau internal dengan urusan bangsa yang lebih luas.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat AHY merasa ada beberapa pihak yang mencoba mendongkel posisinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Salah satu tudingan diarahkan kepada Moeldoko yang saat ini menjabat sabagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) RI.

Sayangnya persoalan tersebut seperti meluas ke urusan yang lebih besar dengan mencoba melibatkan Presiden.

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sendiri dua kali menggelar jumpa pers untuk memberikan klarifikasi bahwa tudingan itu tidak beralasan dan seperti dagelan politik yang baginya menggelikan.

Baca juga: Organisasi sayap Demokrat minta jangan ganggu AHY

Mencari Penyebab

Sebagai pengamat politik, Hengky Primana, memang menilai ada kekisruhan yang sedang terjadi dalam tubuh Partai Demokrat.

Beberapa kader dan simpatisan dinilainya mulai tak sejalan dan menginginkan ada penyegaran sehingga ada niatan untuk bisa saja mencoba mengganti posisi AHY sebagai ketua umum dengan sosok atau tokoh lain yang dianggap lebih prospektif.

Hengky berpendapat bahwa fakta ini mestinya justru dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi internal partai tersebut agar ke depan bisa berkembang lebih sehat dan baik sekaligus sebagai momentum untuk melakukan konsolidasi internal.

Para kader politik juga diharapkan untuk belajar menjadi negarawan tak sekadar politikus sehingga kian bijak untuk menangani persoalan politik yang dihadapinya.

Negarawan sejati mampu meredam persoalan dan egopolitik kepartaian untuk sebuah tujuan dan kepentingan yang lebih besar bagi bangsa ini. Reaktif terhadap lawan politik justru akan memperlihatkan kelemahan diri atau partai politik tertentu.

Kader partai dan putra terbaik bangsa ini idealnya mencetak diri sebagai negarawan yang paham untuk membedakan kepentingan egopolitik pribadi dan partainya dengan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.

Bangsa ini membutuhkan lebih banyak negarawan sejati untuk mencapai sebuah kemadanian yang sesungguhnya.

Baca juga: Hoaks! Fraksi-fraksi di DPR dukung Moeldoko kudeta Demokrat

Copyright © ANTARA 2021