Pembenahan aturan turunan jauh lebih mengurangi tensi politik dalam perbaikan sistem pemilu pada masa pandemi.
Jakarta (ANTARA) - Di awal tahun 2021, usulan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali muncul hingga menjadi perbincangan di tengah masyarakat Indonesia yang sedang fokus menghadapi pandemi COVID-19.

Revisi UU Pemilu tersebut merupakan usul inisiatif Komisi II DPR RI dengan argumen ada beberapa poin penyempurnaan regulasi pelaksanaan pemilu yang harus dilakukan.

Pembahasan di DPR mengenai revisi UU tersebut masih panas. Pemerintah sendiri sejak awal tidak menginginkan UU tersebut direvisi saat ini mengingat kini tengah konsentrasi penanganan pandemik COVID-19.

Dalam perkembangannya di DPR, sebagian besar fraksi kemudian menolak revisi UU tersebut. Dinamika terakhir, fraksi-fraksi yang tidak menginginkan undang-undang tersebut direvisi, di antaranya Fraksi Gerindra, PDIP, PAN, dan PPP. Fraksi Partai NasDem pun juga mengisyaratkan untuk menolak revisi tersebut, sementara Golkar belum memutuskan.

Pemerintah dan sebagian besar fraksi menilai revisi di UU Pemilu di tengah kondisi pandemi tidak tepat, apalagi UU Pemilu belum sepenuhnya dilaksanakan.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 merupakan amanat dan konsisten dengan undang-undang yang ada.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota merupakan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015. Dalam perubahan tersebut, di antaranya mengamanatkan perubahan keserentakan nasional yang semula pada tahun 2020 menjadi 2024.

Perubahan tersebut bukan tanpa dasar, melainkan telah disesuaikan dengan alasan yuridis, filosofis, hingga sosiologis.

Pasal 201 Ayat (8) UU No. 10/2016 disebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Sementara itu, dalam draf RUU Pemilu Pasal 734 Ayat (1) dijelaskan bahwa bahwa pemilu daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.

Berikutnya, dalam Pasal 734 Ayat (2) disebutkan bahwa pemilu nasional pertama diselenggarakan pada tahun 2024, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.

Oleh karena itu, keinginan pihak-pihak agar pelaksanaan pilkada serentak nasional pada tahun 2024 cukup beralasan agar pemerintah mempunyai rentang waktu untuk konsentrasi mengatasi pandemik COVID-19 karena pilkada tidak dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023, merujuk pada UU No. 10/2016  tengang Pilkada.

Pasal 201 Ayat (9) UU Pilkada menyebutkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada Ayat (5), diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Baca juga: Gerindra menilai revisi UU Pemilu ganggu stabilitas demokrasi

Perkembangan RUU Pemilu

Revisi UU Pemilu di Indonesia pascareformasi bukan merupakan hal baru. Sudah menjadi kebiasaan DPR sebelum pelaksanaan pemilu, perangkat peraturan penyelenggaraannya direvisi dengan alasan mengikuti perkembangan kondisi aktual bangsa.

Proses revisi aturan pemilu pun menyasar banyak poin, salah satunya terkait dengan aturan penyederhanaan jumlah partai politik untuk menciptakan sistem demokrasi presidensial yang efektif, salah satunya dengan membuat aturan terkait electoral treshold pada Pemilu 1999 dan 2004, serta ambang batas parlemen mulai Pemilu 2009 hingga 2019.

Pascareformasi, sistem demokrasi Indonesia berubah total dengan munculnya sistem multipartai dalam politik Indonesia, misalnya pada Pemilu 1999 diikuti 48 partai. Namun, dalam perkembangannya, sistem multipartai tersebut diimbangi dengan adanya aturan terkait dengan penyederhanaan jumlah partai yang dapat lolos ke parlemen.

Hal itu untuk menciptakan sistem politik yang efektif di parlemen dan caranya dengan mengatur jumlah ambang batas parlemen dalam tiap revisi UU Pemilu.

Pada Pemilu 1999, mengenal electoral threshold atau ambang batas peserta pemilu yang menjadi syarat minimal harus diperoleh untuk untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Sistem electoral threshold atau ambang batas peserta pemilu yang menjadi syarat minimal harus diperoleh untuk untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.

Dalam UU No. 3/1999 disebutkan bahwa parpol dapat mengikuti pemilu berikutnya jika memiliki 2 persen dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya 3 persen jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah kabupaten/kota.

Peraturan mengenai ambang batas peserta pemilu ini berlanjut pada Pemilu 2004 dengan UU No. 12/2003 yang menyebutkan partai politik dapat mengikuti pemilu berikutnya apabila memperoleh minimal 3 persen jumlah kursi DPR, 4 persen jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia, dan 4 persen jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Penerapan sistem electoral threshold tersebut dinilai tidak efektif untuk menyederhanakan jumlah partai politik di Indonesia karena lebih baik jumlah ideal kekuatan parpol yang perlu dirampingkan di parlemen daripada membatasi jumlah parpol peserta pemilu.

Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU No. 12/2003 yang kemudian menghasilkan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam UU tersebut masih memberikan batasan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya. Namun, melalui aturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Aturan tersebut mulai diterapkan pada Pemilu 2009, saat itu parpol harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan ini tidak berlaku untuk DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota.

Baca juga: Anggota DPR: revisi UU 7/2017 bagian perbaiki sistem Pemilu

Pada Pemilu 2014, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5 persen dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD yang diatur dalam UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun, setelah aturan dalam UU tersebut digugat 14 partai politik, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menetapkan ambang batas 3,5 persen tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD.

Pada Pemilu 2019, aturan ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 4 persen, hasil revisi UU No. 8/2012 dan tertuang dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu.

Dengan syarat ambang batas parlemen sebesar 4 persen tersebut, partai politik yang berhasil memenuhi parliamentary threshold sebanyak 9 parpol, dari 16 partai peserta Pemilu 2019.

Penyempurnaan UU Pemilu pun dilakukan kembali untuk UU No. 7/2017 tentang Pemilu, hasil revisi yang dilakukan DPR RI, pemerintah, dan DPD RI terhadap paket UU Pemilu, yakni UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota Legislatif, UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta UU No. 15 Tahun 2014 tentang Penyelenggara Pemilu.

Langkah revisi tersebut terkait dengan keputusan MK pada tahun 2014 yang mengabulkan pengujian UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden  yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu yang dikomandani Effendi Gazali.

Pemohon menganggap pemilu anggota legislatif (pileg) dan Pilpres yang dilakukan terpisah itu tidak efisien (boros) yang berakibat merugikan hak konstitusional pemilih.

Pemohon juga mengusulkan agar pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak dalam satu paket dengan menerapkan sistem presidential cocktail dan political efficacy (kecerdasan berpolitik).

Dampak putusan MK tersebut menyebabkan parlemen dan pemerintah harus membahas sebuah UU yang dapat mengatur regulasi secara sekaligus terkait dengan pilpres, pileg, dan penyelenggara pemilu.

Revisi ketiga UU tersebut bertujuan menyederhanakan sistem pemilu di Indonesia pada tahun 2019, masyarakat secara serentak memilih presiden/wakil presiden dan anggota legislatif.

Pemerintah pun menyusun draf RUU, lalu di parlemen dibentuk panitia khusus (pansus) yang membahas RUU tersebut. Dalam perjalanannya terjadi dinamika dan perdebatan terkait dengan isu-isu krusial, seperti ambang batas parlemen, ambang batas partai mengajukan calon presiden, kuota suara per daerah pemilihan, sistem pemilu, dan metode konversi suara.

Baca juga: F-NasDem optimistis RUU Pemilu tetap dibahas fraksi-fraksi di DPR

Akibat perbedaan pandangan terkait lima poin krusial tersebut, beberapa kali rapat di tingkat pansus untuk pengambilan keputusan harus ditunda dan pada akhirnya Pansus Pemilu menyepakati pengambilan keputusan terhadap lima isu krusial yang hingga saat ini belum selesai melalui lima opsi sistem paket.

Kelima paket tersebut adalah sebagai berikut:

Paket A: Presidential threshold (20 hingga 25 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3 hingga 10 kursi), metode konversi suara (sainte lague murni).

Paket B: Presidential threshold (nol persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3 hingga 10 kursi), metode konversi suara (quota share).

Paket C: Presidential threshold (10 hingga 15 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3 hingga 10 kursi), metode konversi suara (quota share).

Paket D: Presidential threshold (10 hingga 15 persen), parliamentary threshold (5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3 hingga 8 kursi), metode konversi suara (sainte lague murni).

Paket E: Presidential threshold (20 hingga 25 persen), parliamentary threshold (3,5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3—10 kursi), metode konversi suara (quota share).

Pengambilan keputusannya dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 21 Juli 2017 dini hari yang menyetujui RUU Pemilu menjadi UU meskipun dalam prosesnya diwarnai aksi walk out Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi PAN, dan Fraksi Demokrat.

Sebanyak 322 anggota DPR memilih Paket A, dan 217 anggota memilih Paket B, sehingga disepakati Paket A digunakan dalam RUU Pemilu, yaitu ambang batas presiden 20/25 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi: 3—10, konversi suara sainte lague murni.

RUU hasil persetujuan tersebut akhirnya menjadi UU No. 7/2017 tentang Pemilu, yang merupakan UU pertama mengatur keserentakan pileg dan Pilpres secara bersamaan.

UU tersebut juga mengamanatkan pilkada serentak pada tahun 2024. Dengan demikian, pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan.

Kondisi ini menjadi kesempatan untuk lebih konsentrasi pada penanganan COVID-19 mengingat hingga kini belum diketahui sampai kapan pandemi akan berakhir.

Baca juga: Baleg menunggu Pimpinan DPR agendakan paripurna sahkan Prolegnas 2021

Bukan satu-satunya pilihan

Pengalaman pertama pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 kurang diantisipasi, salah satunya terkait dengan lamanya perhitungan suara di TPS karena menghitung suara legislatif dan pemilihan presiden. Hal ini membuat para petugas di TPS berjibaku, bahkan hingga subuh.

Akibatnya, terjadi masalah. Berdasarkan data KPU RI sebanyak 894 petugas penyelenggara pemilu meninggal dan 5.175 petugas mengalami sakit.

Selain itu, pembelahan masyarakat pada Pemilu 2019 sangat terasa akibat adanya dua kubu pendukung pasangan calon presiden/wakil presiden.

Pengalaman itu menjadi salah satu alasan sejumlah fraksi di DPR untuk melakukan revisi UU No. 7/2017.

Kendati demikian, pengubahan UU Pemilu bukan satu-satunya opsi pada masa pandemi.

Pengalaman pertama keserentakan pilpres dan pileg tentu perlu diperbaiki. Perbaikan aturan turunan pemilu juga dapat menjadi opsi dalam memperbaiki penyelenggaraan pesta demokrasi mendatang.

Pembenahan aturan turunan jauh lebih mengurangi tensi politik dalam perbaikan sistem pemilu pada masa pandemi.

Baca juga: FPKB aktif yakinkan fraksi-fraksi tuntaskan pembahasan RUU Pemilu

Copyright © ANTARA 2021