Sigi, Sulteng (ANTARA) - Kementerian Pertanian terus mengkampanyekan program "food loss and waste" (kehilangan saat proses produksi pangan dan limbah pangan)
sebagai langkah menjaga ketahanan dan keamanan pangan nasional.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan melalui Kepala Bidang Konsumsi dan Penganekaragaman Pangan Provinsi Sulawesi Tengah, Ucik Sangkali, Senin di Sigi, Sulteng mengatakan program itu sebagai bentuk dukungan serius pemerintah Indonesia bersama negara-negara di dunia bersepakat mengurangi "food loss and waste" untuk mewujudkan sustainable food system (penyediaan pangan berkelanjutan).

 Menurut FAO, food loses adalah hilangnya pangan pada rantai produksi baik mulai tahapan sebelum panen, setelah panen, peyimpanan, pengemasan dan distribusi . Food Losses merupakan permasalahan global yang tidak hanya terjadi di negara berkembang atau negara terbelakang saja akan tetapi juga masih terjadi pada negara-negara maju meski kuantitasnya tidak sebesar di negara berkembang.

 Sedangkan Food Waste adalah setiap makanan dengan kualitas baik yang dapat dikonsumsi manusia tetapi karena alasan tertentu tidak dikonsumsi dan tidak dimanfaatkan.

Ucik menjelaskan, program kampanye food loses tersebut ditindak lanjuti di daerah-daerah termasuk di Sulteng yang juga merupakan salah satu daerah yang sangat intens mendukung program-program di bidang pertanian, terutama sektor penyediaan dan ketahanan pangan yang aman dan sehat.

Food Losses dan Food Waste merupakan salah satu permasalahan di bidang pangan dan gizi di berbagai negara.

Salah satu kegiatan yang sudah dilakukan oleh Pemprov Sulteng melalui Dinas Ketahanan Pangan adalah melakukan sosialisasi kepada pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Sigi.

Ucik mengatakan kegiatan tersebut di pusatkan di Desa Maku, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi dengan menghadirkan masyarakat petani, kelompok wanita tani (KWT) Sintuwu Maroso dan Pemkab Sigi.

Menurut dia, kampanye program "food loss and food waste" perlu digencarkan karena selama ini masih banyak yang masih bingung dan belum mengetahui substansinya.

Jika program "food loss and waste", maka dapat mencapai subtainable development (SDGs), khususnya untuk SDG2 (tanpa kelaparan) dan SDG 12 (konsumsi dan produksi bertanggungjawab) dapat diatasi.

Menurut pihak FAO bahwa "food loss" mengacu pada hilangnya sejumlah pangan antara rantai pasok produsen ke pasar.

Permasalahannya bisa diakibatkan oleh proses prapanen yang tidak sesuai dengan mutu yang diinginkan pasar, seperti penyimpanan pangan, penanganan sampai sistem pengemasan yang belum sesuai dengan diharapkan pasar.

Akibatnya, pangan dari produsen seringkali ditolak karena sangat terkait dengan kualitasnya. "Ini semuakan sangat merugikan petani," ujarnya.

Dia menambahkan tantangan 'food loss and food waste" di dunia cukup tinggi.

Negara Arab Saudi misalnya tingkat "food loss and waste" jumlahnya mencapai 427 kg/penduduk per tahun, sementara di Indonesia jumlahnya 300 kg/penduduk per tahun. Negara-negara maju saat ini sudah berupaya lebih jauh dalam menguranginya.

Austria misalnya sudah memiliki online platform food sharing, kerjasama dengan food bank dan kementerian terkait.

"Sementara di Belanda memiliki program nasional "united against food waste" untuk mengurangi waste 50 persen pada 2030," jelasnya.

Karena itu, upaya pengurangan "food loss and waste" harus menjadi agenda bersama.

Keluarga, lebih spesifik lagi ibu-ibu memiliki peran signifikan sebagai garda terdepan bagi pengurangan loss and waste karena ibu adalah pelaku utama yang memutuskan jenis masakan, selera, gizi, dan jumlah makanan yang harus di konsumsi oleh anggota keluarga.
Baca juga: Memaksimalkan pangan lokal sebagai solusi hadapi pandemi
Baca juga: Kedelai lokal dinilai lebih sehat dibanding impor


 

Pewarta: Anas Masa
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021