Jakarta (ANTARA) - ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) mendesak Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) untuk menggelar pertemuan setingkat menteri luar negeri untuk membahas dampak kudeta militer di Myanmar terhadap stabilitas di kawasan, kata anggota dewan APHR, Eva Sundari, Rabu.

"Kami menginginkan ASEAN, khususnya setingkat menteri luar negeri untuk menggelar pertemuan demi memastikan tidak ada ancaman terhadap stabilitas di kawasan, karena kita telah memiliki masalah dengan COVID-19. Saya harap militer di sana (Myanmar, red) tidak membuat keadaan jadi lebih buruk," kata Eva ke para wartawan dan perwakilan organisasi internasional yang hadir dalam acara jumpa pers yang diadakan secara virtual oleh APHR.

Meskipun ASEAN memiliki prinsip non intervensi terhadap urusan dalam negeri, ASEAN berkepentingan memastikan tiap negara anggota mematuhi prinsip-prinsip yang disepakati dalam Piagam ASEAN,  termasuk mendorong seluruh pihak untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), terang Eva.

Menurut Eva, yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, ASEAN dan lembaga-lembaga internasional seperti PBB harus proaktif merespon situasi di Myanmar agar militer tidak menggunakan kekerasan saat berhadapan dengan warga sipil yang memprotes kudeta militer pada 1 Februari 2021.

"ASEAN patut meminta laporan resmi dari Myanmar, termasuk militer, mengenai apa yang sebenarnya terjadi di dalam demi memastikan militer tunduk terhadap prinsip-prinsip Piagam ASEAN dan prinsip lain yang telah disepakati bersama," ujar dia menambahkan.

Eva turut menegaskan APHR dan komunitas masyarakat sipil di Asia Tenggara meminta militer untuk menjaga situasi damai dan kondusif di Myanmar dan mempertahankan berbagai pencapaian positif yang telah diperoleh ASEAN.

"Jangan sampai kawasan ini jadi mundur hanya karena aksi-aksi non demokratis yang dilakukan demi mengatasi masalah politik di Myanmar," Eva Sundari menegaskan.

Dalam kesempatan yang sama, Khin Ohmar, seorang aktivis demokrasi dan HAM veteran di Myanmar, mengatakan masa depan demokrasi di Myanmar turut bergantung pada sikap ASEAN dan komunitas internasional.

Menurut Ohmar, pendiri sekaligus ketua Progressive Voice, komunitas internasional memiliki posisi tawar untuk memediasi pertemuan antara militer dan perwakilan masyarakat sipil di Myanmar. Ia menyebut komunitas internasional dapat menggunakan bantuan dana, investasi, dan berbagai proyek kerja sama lainnya sebagai posisi tawar untuk mendesak militer bernegosiasi.

"Ini waktunya (komunitas internasional, red) melakukan tindakan yang konkret untuk mencegah adanya pertumpahan darah yang mungkin terjadi di Myanmar," kata Ohmar, seraya menambahkan saat ini polisi mulai menggunakan kekerasan demi memukul mundur demonstrasi damai yang diikuti oleh ribuan orang di Myanmar dalam beberapa hari terakhir.

"Ikuti saja uang militer dan mereka akan merespon," kata Ohmar meminta komunitas internasional untuk menjatuhkan sanksi ekonomi secara khusus kepada militer, panglima militer, bisnis yang dikelola oleh militer beserta kroni-kroninya.
Baca juga: Warga Myanmar kembali berunjuk rasa menentang kudeta
Baca juga: Massa penentang kudeta di Myanmar berjanji akan terus berunjuk rasa

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Suharto
Copyright © ANTARA 2021