Makassar (ANTARA) - Dalam dua tahun terakhir ini, sepertinya menjadi tahun terkelam sekaligus mengharukan bagi Provinsi Sulawesi Selatan.

Kenyataan pahit ini bisa terlihat dengan rentetan musibah bencana alam. Dari banjir bandang, tanah longsor, hingga gempa bumi silih berganti melanda hampir seluruh kabupaten dan kota di Sulsel.

Di awal tahun, tepatnya pada 22 Januari 2019, masyarakat di Kabupaten Gowa tiba-tiba dikejutkan dengan datangnya banjir bandang setelah daerah itu menerima curah hujan disertai angin kencang selama dua hari. Banjir ini juga tidak lepas dari dibukanya pintu air Bendungan Bili-bili yang harus dilakukan sebagai langkah mencegah air meluap ke wilayah lain.

Banjir bandang ini akhirnya menenggelamkan 9 kecamatan di Kabupaten Gowa. Bencana ini sekaligus diikuti korban jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit yang diderita masyarakat.

Selain menelan korban jiwa dan kerugian material, banjir bandang ini juga memaksa ribuan manusia mengungsi ke tempat yang dinilai lebih aman.

Selain Gowa, musibah banjir juga melanda puluhan daerah dalam waktu yang hampir bersamaan yakni Kabupaten Jeneponto, Maros, Kota Makassar, Soppeng, Wajo, Barru, Pangkep, Sidrap, Bantaeng, Takalar, Selayar dan Kabupaten Sinjai.

Luasnya area yang tenggelam, sehingga disebut sebagai salah satu banjir terparah dalam satu dekade atau 10 tahun terakhir di Provinsi yang dipimpin Gubernur Sulawesi Selatan HM Nurdin Abdullah dan Wakil Gubernur Andi Sudirman Sulaiman ini.

Ribuan rumah warga, ratusan bangunan sekolah, jembatan, puskemas, rumah ibadah hingga kantor-kantor pemerintahan juga ikut rusak terkena dampak.

Tidak sampai di situ, banjir juga mengakibatkan ribuan hektare sawah mengalami kerusakan. Bahkan tidak sedikit petani yang harus gagal panen karena bencana tersebut. Hewan ternak masyarakat juga hilang tersapu banjir.

Memasuki 2020, bencana banjir kembali menerjang sejumlah kabupaten/kota di Sulsel seperti di Kabupaten Pinrang, Soppeng, Wajo, Barru, Jeneponto termasuk kota Makassar. Kejadian ini kembali memaksa puluhan ribu orang mengungsi.

Banjir ini bahkan membuat sejumlah desa atau dusun menjadi terisolasi seperti di Dusun Bulu Dua, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru.

Yang terbaru, banjir bandang yang menerjang Kabupaten Luwu Utara. Banjir ini bahkan membuat Mamasa yang merupakan ibukota Luwu Utara lumpuh. Setelah tenggelam, daerah ini juga terkubur oleh material yang terbawa banjir bandang.

Upaya pemulihan lebih sulit karena air sungai justru lebih tinggi dari jalan raya sehingga butuh penanganan yang lebih serius dalam waktu yang sedikit lebih lama.

Melihat berbagai bencana alam yang terjadi, maka sudah seharusnya setiap orang instrospeksi diri dan lebih menghargai alam, sehingga bencana dapat dicegah.

Bisa dimulai dengan kesadaran menjaga lingkungan, tidak membuang sampah di sembarang tempat, kesadaran menghemat air, kesadaran menanam pohon, hingga kesadaran mengurangi konsumsi kemasan makan dan minum sekali pakai.

Selanjutnya, tidak melakukan pembalakan liar, pembukaan lahan, penambangan yang tidak tidak terukur, hingga pembakaran hutan yang selama ini menjadi penahan erosi.

Khusus bagi kepala daerah tentu bisa dilakukan melalui kebijakan-kebijakan yang cerdas dan bijaksana, tidak semata-mata berfikir untuk pendapatan sesaat, namun pada akhirnya memunculkan bencana yang justru memberikan kerugian yang jauh lebih besar.

Baca juga: Gubernur Sulsel serahkan 50 unit huntap untuk korban banjir Lutra

Baca juga: Korban banjir Luwu Utara butuh 1.295 hunian tetap


Penanaman pohon

Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah telah merespon dengan mengajak warga untuk menanam pohon di musim hujan ini, karena banjir yang kerap terjadi lantaran alih fungsi lahan.

Salah satu penyebab banjir adalah akibat perubahan penggunaan lahan. Hutan dan gunung hadir untuk menjaga keseimbangan alam, namun manusia merusaknya.

Alih fungsi lahan yang tadinya merupakan fungsi konservasi, berubah menjadi perumahan dan menjadi perkebunan. Tadinya merupakan daerah tangkapan atau resapan air, dibuat jadi perumahan.

Lahan yang ada di Sulsel juga diakui dalam kondisi sangat kritis. Demikian juga dengan dengan cekdam yang dibangun, diprediksi pendangkalan terjadi dalam 50 tahun, tetapi hanya 20 tahun.

"Cekdam ini 20 tahun sudah dangkal, itu artinya hulu sudah rusak. Makanya, kita sekarang harus ramai-ramai bikin program tiada hari tanpa menanam," ujar Gubernur.

Dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyiapkan program penanaman bambu di pinggir sungai di Luwu Utara yang sebelumnya meluap dan membuat Kota Masamba terendam banjir dan lumpur guna mencegah bencana itu terjadi lagi pada masa mendatang.

Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan Andi Parenrengi mengatakan lahan pinggiran sungai di Luwu Utara yang akan ditanami bambu luasnya kurang lebih 300 hektare.

Provinsi dan kabupaten kota juga fokus membahas bagaimana proses dan soal koordinasi dalam upaya untuk menyukseskan penanaman pohon bambu itu.

Mengenai alasan memilih pohon bambu dibandingkan dengan yang lain karena dinilai lebih kuat mengikat tanah, di mana akar-akar bambu lebih kuat mencengkeram tanah agar tidak terjadi longsor pada masa mendatang. Bibit sudah banyak dan juga ada bantuan bibit dari Kementerian Kehutanan.

Penjabat sementara (Pjs.) Bupati Luwu Utara Muhammad Iqbal Suhaeb menanam pohon di bantaran Sungai Rongkong Desa Pararra Kecamatan Sabbang bertepatan dengan hari lingkungan hidup pada 28 Desember 2020.

Baca juga: Di desa terisolasi Luwu Utara, Wagub Sulsel bantu kurban sapi

Baca juga: Bantuan kemanusiaan dibawa Mentan bagi korban banjir di Sulsel


Kaji sungai

Gubernur Sulawesi Selatan Prof HM Nurdin Abdullah melibatkan perguruan tinggi dalam mengkaji kondisi sungai dan lahan secara komprehensif di beberapa daerah di Sulsel.

Pemprov menyatakan tidak akan mungkin membuat keputusan yang radikal, karena memperhatikan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai yang juga butuh hidup.

Aliran sungai di Sulsel harus menjadi perhatian secara khusus dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Bencana harus dapat dihindari agar tidak terulang jalan putus dan ekonomi mandeg.

Di sisi lain, peralihan lahan semakin meningkat disebabkan penambangan, perkebunan dan kepentingan lain. Masyarakat kembali diimbau untuk menjaga dan melestarikan lingkungan sekitarnya. Menjaga rimbunan pepohonan, menanam dan melestarikan sungai, sudah menjadi keharusan.

Semua pihak harus berlomba agar cerita perih bencana tak terulang.*

Baca juga: Bencana hidrometeorologi berpotensi mengancam sebagian wilayah Sulsel

Baca juga: Mapala UMI dan PMI PNUP Makassar kirim relawan ke Luwu Utara

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021