Jakarta (ANTARA) - Tradisi berpikir rasional untuk menyikapi persoalan demokrasi di Indonesia penting ditekankan daripada tradisi berpikir berdasarkan perasaan.

Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, sebagian dari bangsa Indonesia terkadang lebih suka tradisi berperasaan daripada yang rasional.

"Sehingga negara dikelola dengan perasaan, bukan dengan pikiran dan bukan dengan indikator," kata Fahri saat berbicara dalam seminar daring dengan tema 'Partai Politik & Tantangan Demokrasi Terkini', Kamis (11/2).

Fahri mengatakan skor indeks demokrasi Indonesia yang menurun berdasarkan data yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU), baru menjadi soal ketika dihargai oleh orang yang memandangnya sebagai sebuah persoalan.

Apakah kita menghargai data itu sebagai sebuah persoalan? Tapi siapa sih yang peduli dengan indeks demokrasi itu, kan?

Pada saat kita menganggapnya 'ah itu sudah benar'. Itu kan demokrasi kita. Demokrasi mereka (yang menilai) kan enggak kayak di Indonesia, kita beda lho. Kita punya cara sendiri, dan pemikiran-pemikiran rerasaan lainnya.

​​​​​​​The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020, yang tetap menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dengan skor 6,3 dari sebelumnya 6,48. Meski dalam segi peringkat, Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya.

Indonesia digolongkan pada kategori demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies), dan senantiasa di posisi tersebut meski kategori yang tersedia pada indeks demokrasi tersebut ada empat, yakni demokrasi penuh (full democracies), demokrasi belum sempurna (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoritarian (authoritarian regimes).

Menurut Fahri, posisi demokrasi Indonesia tersebut tidak beranjak karena umur bangsa Indonesia hidup dalam tradisi otoriter jauh lebih panjang daripada umur bangsa Indonesia hidup dalam tradisi demokrasi.

Baca juga: KSP: Pemerintah berkomitmen kuat jaga demokrasi

Sejarah memperlihatkan bahwa tradisi kebudayaan feodal di bawah kekuasaan raja-raja, kesultanan, dan sebagainya memang jauh lebih lama dirasakan oleh bangsa Indonesia.

Kita tahu, bagaimana pun kerajaan bersikap demokratis, ia tetaplah merupakan tradisi tertutup. Karena sumber kekuasaan itu didapatkan bukan dari rakyat yang menghendaki transparansi, tapi dari (garis) darah yang eksklusif turun-temurun.

Semangat demokrasi baru lahir ketika bangsa Indonesia menghadapi penjajah, dimana semua orang berpikir bahwa semuanya harus bersatu untuk mengusir penjajah.

Maka, lahirlah tradisi gerakan rakyat. Lahirlah organisasi-organisasi massa yang mengorganisir rakyat secara lebih rasional. Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, tradisi itu menghantarkan Indonesia kepada kemerdekaannya. Dan itu tentu sangatlah rasional.

Namun, ikhtiar bangsa Indonesia untuk menjaga tradisi berpikir rasional mendapat tantangan secara terus-menerus, dan lebih banyak tantangan tersebut berasal dari dalam diri bangsa Indonesia sendiri.
​​​​​​​
Sebelum dibentuknya Republik, bangsa Indonesia telah menyepakati untuk mendirikan sebuah negara dengan berlandaskan Pancasila dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa.

Namun, kecurigaan kaum sekuler-liberal pada sila pertama yaitu Ketuhanan itu terus muncul dan menjadi persoalan.

"Inilah yang tidak selesai sampai sekarang. Sehingga lahirlah konsep ekasila dan sebagainya. Ada keinginan untuk menjadikan pidato Bung Karno sebagai referensi, dimana kemanusiaan atau internasionalisme-lah yang kemudian menjadi sila pertama," kata Fahri.

Tradisi pemikiran rasional juga dijaga selama Indonesia mengalami empat kali amandemen Konstitusi, dimana semua elemen totaliter dalam Konstitusi itu telah dihapuskan.

Tujuannya, kata Fahri, untuk merampas kekuasaan dari otoritas yang tidak perlu mempunyai kekuasaan politik.

"Militer, keluar dari politik. Eksekutif dibatasi. Kita merampas kekuasaan eksekutif dan diberikan kepada rakyat melalui penguatan legislatif. Dan seterusnya," kata dia.

Baca juga: Mahfud: Demokrasi Indonesia masih fase demokrasi prosedural

Secara Konstitusi dan aturan-aturan di dalamnya, Fahri merasa Indonesia sudah mempunyai struktur demokrasi yang lengkap dengan penjagaan teks Konstitusi yang kuat.

Seharusnya, kata Fahri, parlemen dapat bertindak lebih bebas dalam menciptakan teks-teks berikutnya secara rasional.

"Tapi terus terang, kita terus-menerus diancam oleh fakta bahwa umur kita hidup dalam totalitarianisme itu lebih lama daripada umur kita hidup dalam demokrasi," kata Fahri.

Seringkali, kata Fahri, kemampuan dalam membaca gambaran besar demokrasi itu melemah. Sehingga setelah demokrasi lahir dan pemikiran-pemikiran rasional mulai membawanya beranjak, para Nahkoda tidak mampu membaca arah sehingga kita tersasar. Tidak tahu akan singgah di mana dan kapan tiba di sana.

"Gambaran besar, kita kurang pandai membaca. Sehingga kita sering tersasar sebagai bangsa, berkali-kali," kata Fahri.

Misalnya, di zaman Bung Karno berkuasa. Fahri mengatakan bahwa Bung Karno dibiarkan tersasar. Setelah dia jatuh, mereka pun mulai sadis pada Bung Karno.

Ketika Pak Harto berkuasa pun juga sama. Hingga kekuasaannya mulai dijalankan secara menyimpang. Dia pun dijatuhkan secara sadis oleh orang yang membiarkannya tersasar.

"Semua kita tinggalkan, para pemimpin yang pernah ada dan populer. Apalagi yang mencoba menyimpang, tiba-tiba kita tinggalkan secara sadis. Ketika dia berkuasa, didewa-dewakan. Tapi begitu jatuh, dia dihina," kata Fahri.

Maka itu, sosok pembimbing dalam membaca gambaran besar demokrasi diperlukan. Sosok itulah yang menjadi mercusuar ide-ide dan menjadi cahaya dari sebuah menara yang terus-menerus menuntun para pemimpin kita.

Presiden Joko Widodo sudah mengatakan bahwa pemerintah memerlukan kritik yang dinamis dari rakyat. Ditambah lagi pernyataan Menteri Sekretaris Negera Pramono Anung bahwa keberadaan pers menjadi jamu yang menguatkan pemerintah.

Maka, seharusnya pemikiran-pemikiran baik tersebut didukung dan dituntun agar nanti tidak lagi tersasar.

Jangan sampai dibiarkan muncul tindakan formal dari orang yang tidak menginginkan keadaan yang lebih demokratis.

Fahri teringat sewaktu diberikan Penghargaan Bintang Mahaputra bersama Fadli Zon, Presiden sempat mengatakan yang sama, bahwa Pemerintah memerlukan suara-suara kritis seperti dari dirinya dan Fadli.

Tapi di luar sana, orang-orang yang melontarkan kritik tetap masih ada yang ditangkap, dijemput oleh satu tindakan formalistik yang tidak mau kita ubah.

"Dan justru yang digunakan adalah Undang-Undang yang sudah lama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 masih dipakai sampai sekarang," kata Fadli.

Kontradiksi antara pernyataan Presiden dan Mensesneg dengan peristiwa penangkapan terhadap orang-orang yang kritis pada akhirnya dianggap tidak ada masalah oleh orang-orang tersebut.

Dan itu berpotensi menjadi pangkal dari munculnya ketersesatan tadi. Karena kebenaran itu hanya ada satu, dan tidak bisa terdapat dua buah kebenaran yang saling kontradiksi.

Baca juga: BPS: Indeks Demokrasi Indonesia meningkat, ini indikatornya

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021