sulitnya proses tender untuk paket berikutnya yakni CP 202 dan CP 205 gagal karena kesulitan mendapatkan kontraktor
Jakarta (ANTARA) - “Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, MRT Fase I saya nyatakan dioperasikan dan sekaligus MRT Fase II hari ini juga kita mulai lagi,” ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat meresmikan Pengoperasian MRT Fase 1 dan Pembangunan MRT Fase 2, Minggu pagi, 24 Maret 2019, di kawasan Bundaran HI Jakarta.

Itulah penggalan kalimat sejarah dari Presiden RI Joko Widodo ketika hadir meresmikan proyek pembangunan Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu (MRT) yang dioperasikan PT Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta), saat itu.

Baca juga: MRT Jakarta ubah jam operasional ikuti ketentuan PPKM Mikro

Jejak digitalnya dapat dijumpai di akun media sosial Twitter pada akun @setkabgoid milik Sekretariat Kabinet pada 24 Maret 2019. Presiden Jokowi ditemani pejabat terkait yang hadir, tampak begitu ceria dengan senyum khasnya.

Artinya, proyek MRT Fase I sepanjang 16 kilometer (km) dari Terminal Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia yang memiliki 13 stasiun berikut satu depo ini langsung dilanjutkan untuk proyek berikutnya, MRT Fase II sepanjang 11,8 km dari kawasan Bundaran HI hingga Ancol Barat.

Jika Fase I terdiri dari beberapa stasiun bawah tanah dan stasiun di atas permukaan (elevated), maka pada Fase II, semuanya direncanakan di bawah tanah dengan kedalaman mulai dari 17 meter sampai dengan 36 meter di bawah tanah.

Jika fase II ini selesai, maka total panjang jalur utara-selatan menjadi sekitar 27,8 kilometer dengan total waktu perjalanan dari Stasiun Lebak Bulus Grab hingga Stasiun Kota sekitar 45 menit.

Dengan waktu tempuh sekitar 45 menit,  tentunya sangat luar biasa karena pada jam-jam biasa saat ini, dengan menggunakan kendaraan pribadi pada situasi Jakarta di luar jam sibuk pagi sore, bisa memakan waktu 1 hingga 2 jam, bahkan jika kondisi macet karena kondisi hujan dan hambatan lainnya, maka bisa jadi lama tempuh dengan jarak itu bisa di atas 3 jam.

Baca juga: MRT siapkan rekayasa lalin terkait pembangunan Stasiun Thamrin

Proyek MRT Fase I dan II ini sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta didukung oleh dana pinjaman Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).

Data PT MRT Jakarta merinci, fase II terdiri dari dua tahap, yaitu fase 2A dan fase 2B. Fase 2A terdiri dari tujuh stasiun bawah tanah (Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota) dengan total panjang jalur sekitar 5,8 km.

Sedangkan Fase 2B terdiri dari dua stasiun bawah tanah (Mangga Dua dan Ancol) dan satu depo di Ancol Barat dengan total panjang jalur sekitar enam km. Fase 2B sedang dalam tahap studi kelayakan.

Pekerjaan konstruksi fase 2A dibagi ke dalam tiga paket kontrak yaitu CP 201 untuk membangun Stasiun Thamrin dan Monas serta jalur sepanjang 2,7 kilometer. Paket ini dikerjakan oleh kontraktor Shimizu dan Adhi Karya Join Venture (JV). Kedua, CP 202 untuk membangun Stasiun Harmoni, Sawah Besar dan Mangga besar serta jalur sepanjang 1,8 km dan CP 203 untuk membangun Stasiun Glodok dan Kota serta jalur sepanjang 1,3 km.

Sedangkan paket kontrak lainnya meliputi CP 205 untuk sistem elektrikal dan mekanikal serta rel (track), CP 206 untuk pengadaan kereta dengan rencana 42 unit (tujuh rangkaian) dan CP 207 untuk pekerjaan Automatic Fare Collection (AFC).

Tantangan
Ketika proyek konstruksi paket CP 201 oleh konsorsium Shimizu-Adhi Karya JV (SAJV) dimulai pada 24 Juli 2020 atau sekitar lima bulan sejak awal Maret saat kasus pertama COVID-19 hadir di Indonesia.

Meski sektor konstruksi, apalagi proyek strategis nasional, termasuk yang dikecualikan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan Perintah Provinsi DKI Jakarta saat itu, tetapi tak ayal secara tidak langsung juga berpengaruh.

Pada akhir Januari 2021, Direktur Utama (Dirut) PT MRT Jakarta William Sabandar secara terbuka mengakui bahwa paket CP 201 dipastikan molor dari target Desember 2024, menjadi Maret 2025 karena terimbas pandemi COVID-19.

Data PT MRT menyebut, total perkembangan konstruksi sipil paket CP 201 hanya 10,4 persen per 25 Januari 2021.

Baca juga: KCI diakuisisi MRT, pengamat nilai bertentangan dengan regulasi

Tantangan lain selama pandemi ini adalah sulitnya proses tender untuk paket berikutnya yakni CP 202 dan CP 205 gagal karena kesulitan mendapatkan kontraktor.

Pemicunya adalah karena pembangunan MRT fase II dibiayai oleh JICA ODA Loan dengan skema Special Terms for Economic Partnership (Tied Loan) sehingga sangat terikat dengan kriteria kontraktor utama harus berasal dari Jepang.
 
Pekerja menggarap proyek MRT Fase II Bundaran HI-Harmoni di Jalan M.H Thamrin, Jakarta, Rabu (3/2/2021). PT MRT Jakarta mengungkapkan penyelesaian pembangunan jalur MRT Jakarta Fase II Bundaran HI-Harmoni molor akibat pandemi COVID-19, yang awalnya ditargetkan selesai pada Desember 2024 menjadi Maret 2025. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.


Namun demikian, ternyata kontraktor Jepang terlalu konservatif dan tidak siap untuk mengambil risiko pembangunan di area fase II itu. Selain itu, para kontraktor meminta perpanjangan pekerjaan karena adanya pandemi COVID-19.

Akhirnya, untuk masalah kesulitan itu, pemerintah Jepang dan Indonesia sepakat untuk melakukan penunjukan langsung kontraktor untuk menggarap keduanya.

Prosesnya sedang berjalan dan ditargetkan pada Juli 2021 konstruksi sudah dimulai. Kedua paket ini direncanakan selesai pada Agustus 2027.

Sementara itu, untuk paket CP 203 yang terdiri dari jalur terowongan dari Mangga Besar ke Kota masih dilelang. Kemudian, untuk proyek lanjutan fase II yang menghubungkan Kota menuju depo di Ancol Barat saat ini masih dikaji dengan target semua proses tuntas pada 2028 atau paling lambat 2029.

Sementara itu, MRT Jakarta fase III yang menghubungkan Timur-Barat Jakarta dari Ujung Menteng ke Kalideres, saat ini sedang dilakukan proses desain oleh Kementerian Perhubungan.

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah masih terkait konstruksinya yakni perihal kematangan dalam perencanaan konstruksi, termasuk terkait dengan kontur tanah, potensi cagar budaya yang bisa jadi terimbas oleh proyek itu serta aksesibilitas terkait dengan sarana moda transportasi lainnya.

Cagar budaya
Jika melakukan pengamatan sekilas, kondisi bangunan dari kawasan Kota Tua hingga menuju arah Bundaran Hotel Indonesia, publik bisa menilai bahwa di sepanjang jalan permukaan itu, banyak gedung bersejarah dan sejumlah cagar budaya.

Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Silvia Halim pada sebuah kesempatan di awal November tahun lalu, merinci bahwa setidaknya ada 11 bangunan cagar budaya baik yang akan dilewati maupun berada dekat dengan pembangunan rute fase II dari Bundaran Hotel Indonesia-Kota.

Baca juga: Keamanan dan integrasi, kunci utama transportasi umum kala pandemi

Bangunan cagar budaya itu berada di sepanjang koridor Jalan MH Thamrin, Monumen Nasional, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok dan Kota Tua.

Itu semua harus dihargai dan dilindungi dan karenanya telah dilakukan upaya investigasi dan inventarisasi baik yang ada di lapangan maupun dokumentasi yang ada.

Konsultasi dengan Tim Ahli Cagar Budaya dan Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI agar untuk mendapatkan masukan, saran, serta langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melindunginya. Hasilnya ada dalam dokumen kontrak antara MRT dan kontraktor.

Praktik di lapangan, ada keharusan kontraktor untuk melakukan investigasi secara detil di lapangan, membuat tim khusus dari pakar-pakar dan ahlinya yang berkompeten untuk mendukung melakukan investigasi, analisa dan rekomendasi tingkat lanjut.

PT MRT pun sudah membentuk tim terpadu dari unsur kontraktor, PT MRT, Pemprov Jakarta, pakar, serta ahli cagar budaya.

Tim tersebut dibentuk dengan tujuan agar mereka dapat bergerak cepat dan mengambil keputusan manakala menemukan objek cagar budaya sehingga proyek MRT fase II tidak mendapat hambatan dan terus berjalan.

Guru Besar Jurusan Arkeologi Fakultas ilmu Budaya Universitas Indonesia Cecep Eka Permana, membenarkan pihaknya berkoordinasi dengan PT MRT Jakarta untuk menyimpan artefak cagar budaya yang ditemukan baik saat ekskavasi maupun proses pembangunan.

Sejumlah artefak itu nantinya akan disimpan di ruangan pameran yang akan dibangun di beberapa stasiun MRT. Rencana ini muncul setelah tim melakukan ekskavasi di 14 titik di kawasan Jalan MH Thamrin dan Monumen Nasional. Ekskavasi bertujuan untuk memastikan pembangunan MRT tidak mengganggu cagar budaya yang kini terpendam di tanah.

Baca juga: MRT, TransJakarta, PPD sediakan layanan infrastruktur terintegrasi

Temuan artefak itu seperti tembikar, pecahan keramik, logam, juga tulang-belulang dan selongsong peluru. Berbagai artefak ini terkubur dalam lapisan tanah urugan dari tempat lain yang dibawa ke Jakarta untuk peninggian muka tanah dengan kedalaman sekitar 1-1,5 meter.

Terintegrasi
Layaknya sebuah transportasi massal seperti MRT, salah satu tujuannya agar Jakarta menjadi lebih baik, juga diharapkan agar saat infrastruktur itu dibangun ada keterpaduan dengan sarana lainnya, seperti keberadaan stasiun MRT sehingga ketika digunakan publik juga terintegrasi dengan lainnya, misalnya halte TransJakarta.

Pengamat transportasi Yoga Adiwinata dari Institute for Trasportation and Development Policy (ITDP) ingin agar fase II MRT Jakarta dari Bundaran HI - Kota terintegrasi seluruhnya dengan halte TransJakarta.

Yoga tidak ingin kecolongan atau terulang kejadian pada fase I, ada stasiun MRT tidak terintegrasi dengan halte TransJakarta CSW tak tersambung dengan stasiun MRT ASEAN dan stasiun MRT Blok M tidak tersambung dengan halte TransJakarta koridor 13.

Demikian juga, stasiun MRT di Bendungan Hilir dan Setiabudi yang belum tersambung ke halte TransJakarta.

"Harapannya stasiun-stasiun itu bisa terkoneksi dengan halte TransJakarta di Stasiun MRT Bundaran HI yang memiliki jalur bawah tanah dengan halte TransJakarta di lokasi yang sama," katanya.
 
Sejumlah kendaraan melintasi Tugu Jam Thamrin di Jakarta, Minggu (8/11/2020) ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.


Harapan ini tentu tidak berlebihan karena proyek fase II PT MRT Jakarta ini diperkirakan menelan biaya investasi hingga tiga kali lipat untuk setiap kilometer dibanding dengan fase I.

Data PT MRT Jakarta bahkan menyebut jika fase pertama menelan biaya Rp16 triliun untuk 16 km atau Rp1 triliun per km, maka untuk fase II hingga Kampung Badan sepanjang 8 km dan konstruksi lanjutan ke Ancol menjadi sepanjang 10 km dengan estimasinya bisa senilai Rp30 triliun.

Secara garis besar, hal itu disebabkan setidaknya tiga hal yakni pertama, sebagian besar tanahnya tergolong lunak karena bercampur air laut dan risiko penurunan muka air tanah di kawasan Jakarta Utara.

Kedua yakni wilayah yang akan dilalui jalur MRT merupakan kawasan padat sehingga konstruksinya membutuhkan teknologi yang lebih canggih untuk mengakali keterbatasan lahan.

Ketiga, pembangunan jalur juga memperhitungkan keberadaan sungai. Karena itu, bila pembangunan pada fase pertama hanya memerlukan kedalaman sekitar 20 meter, maka di kawasan fase II mencapai 30 meter.

Agaknya pemerintah dan pihak terkait bersepakat bahwa proyek ini, sekali lagi bisa dikatakan keputusan politik strategis pemerintah yang layak diapresiasi demi Jakarta yang lebih baik. Ini salah satu kontribusi yang ditunggu untuk penguatan infrastruktur transportasi di Ibu Kota.

Ya, sangat ditunggu karena sebenarnya ide awal transportasi massal ini dicetuskan oleh almarhum Bacharuddin Jusuf Habibie pada 1986 atau sekitar 33 tahun lalu. Saat itu Habibie menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Sebagai warga Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, berharap agar proyek ini mampu jadi pemicu kemajuan sistem transportasi di Tanah Air yang berbasis angkutan massal yang modern dan ramah bagi penggunanya.

Ke depan, akan ada cerita membanggakan dan menarik dari mereka yang pernah datang ke Ibu Kota bahwa mereka juga merasakan transportasi modern yang cepat berupa kereta bawah tanah (subway), seperti halnya yang pernah dan telah ada di beberapa negara maju.

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021