Begitu banyak bukti betapa mudahnya virus itu menular, masih saja ditemukan di sekeliling kita, orang-orang yang dengan mudahnya mengabaikan protokol kesehatan.
Jakarta (ANTARA) - Sudah satu tahun virus SARS-CoV-2 atau COVID-19 menjangkiti Indonesia dan saat ini jumlah orang yang terkonfirmasi positif tercatat sebanyak 1,25 juta orang dengan rata-rata penambahan positif harian sekitar 10.000 orang.

Jumlah angka kematian yang terlaporkan akibat COVID-19 per 17 Februari 2021 mencapai 33.788 orang. Berita adanya pejabat publik, dan publik figur yang terinfeksi virus semakin sering terdengar.

Melalui aplikasi percakapan Whatpps dan media sosial semakin banyak teman, kerabat yang dikabarkan terinfeksi bahkan sampai berujung kematian. Tidak jarang pula tetangga kita sudah ada yang terinfeksi virus asal Wuhan, China itu.

Namun begitu banyak bukti betapa mudahnya virus itu menular, masih saja ditemukan di sekeliling kita, orang-orang yang dengan mudahnya mengabaikan protokol kesehatan.

Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap perilaku masyarakat yang dilaksanakan 7 sampai 4 September 2020 menunjukkan 17 persen masyarakat masih merasa yakin tidak mungkin terinfeksi COVID-19.

Kelompok inilah yang menyelepekan protokol kesehatan seperti tidak menggunakan masker saat berada di luar rumah yang akhirnya berpotensi terpapar COVID dan akhirnya menularkannya kepada orang lain. Angka ini mungkin agak moderat karena faktanya bisa saja lebih besar terutama di lokasi yang tidak banyak mendapat pantauan satgas.

Ini juga menunjukkan masih ada persepsi yang salah di masyarakat bahwa ada dari mereka tidak mungkin tertular, walaupun secara ilmiah penularan virus corona ini sangat cepat dan siapapun bisa terpapar.

Virus corona adalah virus yang menyerang saluran pernapasan bagian atas atau bawah melalui tetesan atau aerosol yang memasuki mulut, hidung, atau mata. Virus harus masuk ke saluran pernafasan untuk menyebabkan infeksi.

Selama manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bersosial maka selama itu pula kemungkinan terpapar virus akan selalu ada. Jika tidak terpapar di luar rumah maka bisa terpapar dari anggota keluarga mereka karena pasti ada anggota keluarga yang lebih aktif bersosial dibanding yang lain.

Apalagi penularan di kluster keluarga bisa sepuluh kali lipat dibanding kluster perkantoran, karena jarang ditemukan satu keluarga tetap pakai masker untuk berkomunikasi di dalam rumah.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah berlangsung dua kali dilanjutkan dengan PPKM mikro untuk tingkat RT/RW dan kelurahan/desa, memang berhasil melandaikan grafik angka penularan COVID-19 harian. Saat ini hampir semua desa di 123 kabupaten/kota di 7 provinsi Jawa-Bali juga sudah menerapkan PPKM.

Namun, masih saja terlihat sejumlah orang yang abai untuk menerapkan protokol kesehatan.

Sejumlah pasar tradisional dan tempat ibadah menjadi lokasi yang masih mengabaikan protokol kesehatan. Di sejumlah daerah laporan itu masih ada dan belum ada tindakan yang lebih tegas untuk memberlakukan prokes yang lebih ketat itu.

Radius Jabodetabek

Tidak perlu menunjuk lokasi yang terpencil, dalam radius Jabodetabek saja masih banyak dijumpai pasar tradisional dan pasar dadakan (yang biasanya hanya ramai di pagi hari) yang belum menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

Padahal Jabodetabek saat ini menjadi sentra penularan COVID-19, di mana di DKI Jakarta tercatat kasus positif 320.738, disusul dengan Jawa Barat 184.106 kasus.

Tidak ada jaga jarak antarpedagang, penjual yang tidak menggunakan masker, dan nyaris tidak ada penyediakan sarana cuci tangan atau "handsanitizer". Pembeli yang datangpun sebagian tak menggunakan masker sehingga potensi penularan menjadi sangat besar.

Penularan dari pasar itulah bisa menjadi potensi penularan di kluster keluarga baik dari keluarga pembeli dan pedagang dan akhirnya penyebaran akan semakin sulit terlacak. Kalau ada pedagang yang terkonfirmasi positif maka akan sulit melacak siapa saja pembeli yang pernah terpapar, demikian juga sebaliknya.

Selain pasar tradisional, dalam kawasan Jabodetabek saja masih banyak mushala dan masjid yang belum menerapkan shaf dengan jaga jarak, dan tidak adanya sarana sanitasi seperti sabun dan hand sanitizer sehingga risiko penularan menjadi besar.

Sebagian yang hadir pada tempat ibadah seperti itu, mereka juga tidak menerapkan protokol kesehatan bagi dirinya seperti memakai masker dan membawa sajadah shalat dari rumah. Ini mungkin termasuk kelompok 17 persen yang menganggap mereka tidak akan terkena paparan virus. Kalaupun ada yang terpapar mereka menganggap hanya sebagai takdir yang tidak bisa dihindari.

Kasus Kluster Pengajian

Kasus jamaah pengajian di Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) beberpa hari lalu, yang tercatat ada 57 terkonfirmasi positif COVID-19 dari total 58 jamaah, menjadi cacatan bahwa kegiataan keagamaan menjadi salah satu potensi penularan jika tidak menerapkan protocol kesehatan yang ketat.

Dari 57 jamaah pengajian mingguan itu, enam di antaranya dirawat di RSUD Wates, dan salah satunya akhirnya meninggal dunia. Jamaah yang terkonfirmasi inipun diduga telah menulari anggota keluarganya.

Dari penelusuran kasus diketahui imam masjid dari jamaah itu pernah berkunjung ke Purworejo, Jawa Tengah dan terkontak dengan satu orang yang terkonfirmasi positif COVID-19.

Kasus ini menjadi pelajaran bahwa hubungan antarjamaah dan imam pun tetap mengedepankan protokol kesehatan artinya hindari jabat tangan langsung, jaga jarak dan tetap gunakan masker saat berkomunikasi.

Acara tahlilan, dzikir bersama dan kegiatan keagamaan lainnya tetap harus menerapkan protokol kesehatan. Carilah tempat tahlilan yang lebih luas misalnya di masjid dibanding jika dipaksakan di rumah duka agar jamaah bisa saling menjaga jarak.

Sejumlah kampung yang sadar akan aturan jaga jarak antar jamaah sudah mulai menggunakan mushala atau masjid sebagai lokasi tahlilan, namun harus disediakan hand sanitizer agar setiap jamaah yang datang bisa lebih dulu melakukan pembersihan tangan yang rentan sebagai vektor penularan virus, di samping kewajiban menggunakan masker.

Melalui PPKM mikro, satgas di tingkat RW dan desa bisa mulai menjadikan pasar tradisional, pasar dadakan, mushala dan masjid sebagai sasaran edukasi sekaligus memberikan bantuan masker, hand sanitizer dan disinfektan.

Pengelola pasar harus terus mengawasi kepatuhan pedagang dan pembeli dalam menjalankan protokol kesehatan, serta memprogram secara rutin untuk melakukan disinfeksi pasar.

Sementara pada pasar dadakan yang tidak ada pengelolanya, satgas bisa fokus pada pedagang untuk menerapkan penggunaan masker, menjaga jarak dan meminta pembeli untuk tidak bergerombol.

Setelah edukasi, perlu dilakukan juga dilakukan pengawasan disertai sanksi tegas jika ada pedagang dan pembeli yang melanggar. Tanpa sanksi tegas maka mereka akan kembali menganggap sepele paparan virus itu.

Vaksinasi

Hingga Senin (16/2), total masyarakat Indonesia yang sudah divaksin COVID-19 mencapai 1.120.963 orang, sementara, total sasaran vaksinasi COVID-19 di Indonesia mencapai 181,5 juta orang.

Pemerintah sendiri memberi target kepada Kementerian Kesehatan untuk menuntaskan vaksinasi COVID-19 di Indonesia dalam satu tahun sejak 13 Januari 2021 sehingga akan menurunkan angka sebaran virus.

Lalu, pada 17 Februari 2021, pemerintah telah memulai vaksinasi COVID-19 tahap dua dengan kelompok yang diprioritaskan adalah lansia, pedagang di pasar, tenaga pendidik seperti guru dan dosen , tokoh agama atau penyuluh agama, wakil rakyat, pejabat pemerintah, ASN, aparat keamanan, pekerja pariwisata, pekerja pelayanan publik, pekerja transportasi publik, atlet, serta wartawan dan pekerja media.

Sasaran vaksinasi kepada tokoh agama dan pedagang pasar pada vaksinasi tahap dua merupakan sasaran yang tepat karena kedua kategori itu mempunyai potensi yang besar berhubungan dengan banyak orang.

Program vaksinasi COVID-19 tahap kedua ini dimulai pada pedagang di Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat, 17 Februari 2021 dan akan berlangsung selama empat hari. Selanjutnya, program vaksinasi tahap kedua akan berjalan hingga April 2021.

Namun pada vaksinasi tahap kedua ini perlu dipertimbangkan tidak hanya pedagang yang berjualan di pasar yang menjadi sasaran vaksinasi tetapi pedagang warungan, pedagang keliling dan pedagang kaki lima juga tidak boleh diremehkan potensinya sebagai penyebar corona.

Dengan PPKM Mikro maka Satgas di tingkat RT/RW dan Desa harus mampu menyisir pedagang warungan, keliling dan kaki lima seperti itu yang banyak diserbu pembeli sehingga berpotensi menyebabkan kerumunan pada jam-jam tertentu.

Tidak semua pembeli memahami jaga jarak dan menggunakan masker sehingga potensi penularan semakin besar. Jika pedagang sempat terpapar salah satu pembeli maka besar kemungkinan penyebarannya semakin meluas karena menulari juga pembeli yang lain pada hari-hari berikutnya.

Demikian juga tokoh agama atau ustadz di kampung-kampung kecil perlu menjadi sasaran vaksinasi, apalagi mempunyai majelis yang masih aktif mengadakan pertemuan rutin selama pandemi COVID-19.

Vaksinasi para ustadz di kampung-kampung juga mempunyai sisi psikologis untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa tidak ada yang perlu diragukan dari program vaksinasi karena semakin banyak warga yang mendapat kekebalan maka semakin sempit peluang virus corona mencari tempat baru bagi turunannya.


Baca juga: Bertambah 22, jamaah pengajian di Kulon Progo-DIY positif jadi 57

Baca juga: Pandemi COVID-19 belum usai, penyintas sebut jangan abai prokes

Baca juga: Empat kabupaten/kota di Bali jadi sorotan peningkatan kasus COVID-19

Baca juga: Kemendagri: 29 juta pelanggar prokes ditindak selama PPKM

Copyright © ANTARA 2021