New Delhi (ANTARA) - India mengkritik pakar hak asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas kekhawatiran mereka tentang perubahan konstitusional di wilayah mayoritas Muslim, Kashmir, tempat para gerilyawan selama tiga dekade belakangan ini berjuang untuk mencapai kemerdekaan.

Dua pelapor khusus PBB tentang masalah minoritas dan kebebasan beragama atau berkeyakinan mengatakan melalui pernyataan pada Kamis (18/2) bahwa keputusan pemerintah India tahun lalu untuk mengakhiri otonomi negara bagian Jammu dan Kashmir, dan memberlakukan undang-undang baru, dapat membatasi partisipasi politik Muslim.

Muslim dan kelompok minoritas lainnya juga akan dirugikan dalam berbagai masalah, seperti pekerjaan dan kepemilikan tanah, kata para pelapor.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri India Anurag Srivastava mengatakan Jammu dan Kashmir adalah bagian integral dari India dan perubahan statusnya diberlakukan oleh parlemen.

Salah satu perubahan yang dibuat adalah bahwa undang-undang yang berlaku di bagian lain India juga akan berlaku untuk warga Kashmir, yang memungkinkan mereka memiliki hak hukum yang sama dengan bagian lain India, katanya.

"Siaran pers ini mempertanyakan prinsip-prinsip objektivitas dan netralitas yang lebih besar yang diamanatkan oleh SR (pelapor khusus) oleh Dewan Hak Asasi Manusia untuk dipatuhi," kata Srivastava dalam pernyataan, Kamis malam.

Pemerintah Perdana Menteri India Narendra Modi bersikeras mencabut status khusus Kashmir dalam upaya untuk mengintegrasikan wilayah yang dilanda pemberontakan itu di India dan membukanya untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
 
Srivastava mengatakan ahli PBB mengeluarkan pernyataan tersebut tepat ketika India sedang menjamu sekelompok duta besar di Kashmir untuk menunjukkan kepada mereka situasi di lapangan. Para ahli itu, kata Srivastava, tidak menunggu jawaban dari pemerintah India atas pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan.

"Sebaliknya, mereka memilih untuk merilis asumsi mereka yang tidak akurat kepada media. Siaran pers juga sengaja diatur waktunya bertepatan dengan kunjungan sekelompok duta besar ke Jammu dan Kashmir," ujar dia.

Lebih dari 50.000 orang tewas dalam pemberontakan melawan kekuasaan New Delhi di Kashmir yang dimulai pada 1989, menurut hitungan pemerintah. Yang lain menyebutkan jumlah korban lebih dari 100.000.

Saingan India, Pakistan, mengeklaim Kashmir sebagai miliknya dan telah dua kali berperang dengan India terkait wilayah tersebut.

Para ahli PBB mengatakan bahwa undang-undang baru dapat membuka jalan bagi orang luar untuk menetap di Kashmir dan mengubah demografi wilayah tersebut.


Sumber: Reuters

Baca juga: India ubah UU kontroversial pertanahan di Kashmir

Baca juga: India batasi akses di Kashmir setelah PM Pakistan berpidato di PBB

Baca juga: Penutupan Kashmir akibatkan kerugian lebih dari satu miliar dolar AS


 

Danau Chilika jadi tujuan favorit Lumba-lumba Irrawaddy yang langka

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021