Pas COVID-19 ini, mau maju salah, mundur juga salah. Ini katong badiri tenga-tenga (berdiri di tengah-tengah) nih. Tinggal bagaimana 'katong pung' (saya punya) otak berpikiran saja.
Jakarta (ANTARA) - Perubahan sikap dan perilaku masyarakat Negeri Masihulan yang hidup di antara rimbunnya hutan Pulau Seram, dari memburu kakatua seram yang merupakan salah satu burung paruh bengkok endemik pulau tersebut menjadi melindunginya melalui proses panjang dan tidak sederhana. Penting untuk melihat bagaimana masyarakat lokal yang awalnya konsumtif dari berburu kemudian dapat berubah menjadi pelaku-pelaku yang peduli terhadap konservasi alamnya sendiri. Transformasi pola hidup itu juga tidak lepas dari aturan-aturan adat yang ada dan mengatur tatanan hidup masyarakat lokal itu sendiri, baik aturan dan norma adat yang mengatur masyarakatnya maupun aturan adat tentang pengelolaan hutan dan alamnya.

Ada satu rangkaian panjang, di mana bukan hanya para pemburu burung paruh bengkoknya saja yang perlu dilihat, tetapi ada pula beberapa instrumen yang juga turut andil di dalamnya. Para pemburu, hanya berburu burung, tetapi perbelakan disediakan oleh saudara atau tetangga kampungnya.

Seperti ketika satu kelompok pemburu kakatua seram akan pergi untuk menangkap burung di minggu berikutnya, maka pemimpin kelompok akan memerintahkan salah satu anggotanya untuk pergi ke Sungai Salawai untuk "pukul sagu" atau menebang dan mengolah pohon sagu.

Hasil sagu yang telah dipukul itu kemudian disiapkan dalam tumang sagu, dibagi lagi sebagian untuk perbekalan saat masuk hutan dan lainnya untuk kebutuhan makan di rumah.

Sagu mentah untuk perbekalan yang telah dibuat dalam tumang sagu kemudian di bawah ke desa tetangga, yakni Desa Sawai untuk dibakar. Lalu, sagu mentah dibakar dan hasil sagu yang telah dibakar dapat menjadi bekal makanan saat masuk hutan.

Adapun yang menarik adalah untuk membayar sagu yang telah dibakar tersebut, harus menunggu para pemburu kembali dari hutan, menjual hasil buruan burung paruh bengkok baru bisa membayar mama-mama di Desa Sawai yang membakar sagu tersebut.

Kakatua seram jambul merah jambu di Pusat Rehabilitasi Satwa di Desa Masihulan, Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. (FOTO ANTARA/HO-Marvento F Laurens)


Menurut penuturan mantan pemburu kakatua seram atau Cacatua moluccencis yang kini menjadi pelaku ekowisata di Desa Masihulan Sony Sapulette, mama di Desa Sawai sangat membantu mereka dalam mengurus perbekalan khususnya sagu.

Sesudah itu, hal menarik lainnya adalah kios tempat kelompok pemburu burung paruh bengkok membeli perbekalan untuk berburu juga bersedia memberikan hutangan pada mereka. Semua perbekalan baru akan dibayar kemudian saat burung hasil tangkapan sudah terjual.

Begitu kompleks rangkaian perikehidupan yang mereka ciptakan dalam bingkai besar perburuan ilegal burung endemik paruh bengkok di sana. Kemudian, semua itu berganti perlahan saat mereka bersentuhan dengan konsep konservasi dan memulai membuka celah ekonomi baru dari ekowisata yang menawarkan sesi pengamatan burung (birdwatching) pada plafon menjulang di ketinggian 40 hingga 50 meter dan kegiatan kamp di hutan mereka.

Ekowisata juga memiliki peranan penting dalam perubahan pola hidup sosial-budaya masyarakat Masihulan, di mana kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan itu dapat menjadi alternatif tambahan ekonomi bagi mereka. Alam terjadi, satwa lestari dan adanya kemandirian ekonomi dalam masyarakat.

Apa yang mereka kerjakan saat ini sama halnya menjaga hutan dan kekayaan hayatinya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Hutan Konservasi sebagai alat perlawanan terhadap pihak-pihak yang ingn mengeksploitasi hutan penyangga Taman Nasional Manusela di Pulau Seram.

 

Konservasi dan ekowisata

Saat pertama kali Sony menjadi porter untuk membawa barang wisatawan, dirinya mendapatkan sekitar Rp7.500 sehari. Tetapi sekarang tarif seorang porter yang membawa barang masuk hutan di Masihulan mencapai Rp250.000 per hari.

Memang baru di 2018 ia mulai mendirikan sendiri lembaga untuk menjalankan usaha ekowisata dengan membuat paket-paket khusus yang langsung bersentuhan dengan alam. Namun itu pun setelah dirinya dan rekan-rekan yang sebelumnya berprofesi sebagai pemburu burung paruh bengkok di sana dikenalkan soal konservasi oleh Yayasan Wallacea dan peneliti Amerika Serikat bernama Stewart A Metz, yang pada 2003 juga membangun Pusat Rehabilitasi Satwa (PRS) bersama masyarakat setempat.

Proyek percontohan pertama di 2003, yaitu uji coba dengan burung paruh bengkok pertama nuri bayan. Masyarakat memberikan respons positif karena melihat komitmen dari Ketua Yayasan Wallacea Ceisar Riupassa dan Stewart untuk mengembangkan konservasi alam di Masihulan untuk menjaga kelestarian satwa paruh bengkok.

Kandang burung kakatua seram di Pusat Rehabilitasi Satwa di Desa Masihulan, Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. (FOTO ANTARA/HO-Marvento F Laurens)

Carita rumah pohon ini, sama dengan PRS. 'Katong' (saya0 orang lokal ini 'seng' (tidak) terpikir 'biking' (membuat) apa yang mau 'dibiking' sebagai satu daya tarik. Tapi itu hasil buah pikiran dari Pak Ceisar 'deng' (dengan) satu bule yang datang 'deng' grup besar untuk ekspedisi goa, (bersama) Demen dan Dina. Dekat sekali dengan masyarakat. Program rumah pohon (plafon pemantauan burung) dan PRS ini dibuat sama-sama dengan Om Buce dan kawan-kawan lainnya.” katanya.

Setelah melewati suatu proses panjang, membuat Sony mau mencoba belajar dalam menjalani ekowisata dan membuat paket wisata. Belajar dan mengikuti pengalaman dari Ciesar dalam hal menjadi "tour guide" dan "travel agent".

Itu karena dirinya melihat bahwa melalui pariwisata, mereka juga dapat membantu dalam pelaksanaan konservasi alam. Ia tidak hanya membuat paket pemantauan burung, tetapi juga mendirikan "homestay" yang terletak di hutan Masihulan dan membuat mereka dapat merasakan sensasi tersendiri dengan mendengarkan secara langsung kicauan buruh paruh bengkok saat menginap di sana.

 

Tantangan masa pandemi

Pandemi COVID-19, bencana kesehatan global itu juga berdampak kepada pelaku ekowisata di Masihulan. Seperti penuturan Sony dan Wakil Ketua Kelompok Birdwatching Masihulan Noke Lopez Sapulette, sejak Maret hingga Desember 2020 wisatawan yang datang sangat berkurang, hanya beberapa media nasional saja yang datang untuk meliput.

Sedangkan wisatawan mancanegara yang biasanya datang melihat burung paruh bengkok pun tidak dapat datang, karena rencana perjalanan mereka terhenti efek dari pandemi COVID-19. Selama masa itu, setidaknya hanya empat kelompok wisatawan yang untuk melihat aksi burung-burung paruh bengkok secara langsung di alam Masihulan.

Ruang gerak peluang perekonomian di sana yang terbata untuk menghidupi keluarga di masa pandemi bukan hanya dirasakan oleh para pelaku ekowisata di Masihulan. Tetapi Burung Paruh Bengkok yang berada di PRS di sana pun terdampak, membuat satwa-satwa dilindungi yang dikonservasi di sana pun harus ada yang mati karena kekurangan pakan.

Ada yang terpaksa hanya diberi pakan satu kali dalam satu hari bahkan dua hari, ada yang tidak bisa diberi pakan sama sekali. Belum lagi kondisi kandang yang jarang dibersihkan, karena honor pekerja pemelihara satwa tidak dapat dibayarkan dengan semestinya karena pengunjung berkurang drastis.

Pemilik Homestay Morite Sony Sapulette di Desa Masihulan, Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. (FOTO ANTARA/HO-Marvento F Laurens)

Keadaan itu memaksa masyarakat Desa Masihulan yang bekerja di PRS harus mencari alternatif pendapatan lain untuk menghidupi keluarganya, seperti dengan mengolah hasil kebun untuk dijual, dan membantu pekerjaan kasar.

“Bagaimana karyawan mau memerhatikan burung-burung ini jika tidak dibayar dengan benar. Apalagi di tengah situasi susah di masa COVID-19 begini," kata Ceisar.

Beberapa pengelola ekowisata dan pekerja pemelihara satwa pada akhirnya ada yang kembali mengelola kebun di masa pandemi. Ada pula yang membantu menanam bibit mangrove di pesisir selatan Desa Masihulan yang dibiayai pemerintah setempat, serta ada yang mengolah sagu di Sungai Salawai untuk kemudian dijual, ada pula kelompok masyarakat yang membuat lopa-lopa (sejenis tas tradisional berbahan pelepah sagu), membuat tikar dari daun pandan dan rotan.

Suatu dilema tersendiri khususnya bagi mantan pemburu kakatua seram yang kini harus kembali mengolah kebun serta mengambil pekerjaan lainnya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Tentu ada pergumulan batin, perjuangan, totalitas, dan jerih payah dari mereka dalam melindungi satwa-satwa dilindungi dan kawasan hutan penyangga taman nasional di sana.

“Pas COVID-19 ini, mau maju salah, mundur juga salah. Ini katong badiri tenga-tenga (berdiri di tengah-tengah) nih. Tinggal bagaimana 'katong pung' (saya punya) otak berpikiran saja. 'Katong' masing-masing 'pung' keinginan dan kemauan saja. Bagi beta pribadi yang jalani pariwisata Sawai-Mashiulan ini, beta 'biking kabong' (berkebun), tapi beta juga tetap sediakan waktu 'voor' jalani komunikasi dengan kawan-kawan pariwisata baik di dalam negeri maupun luar negeri," kata Sony menjelaskan posisi mereka yang serba salah sebagai kelompok yang baru saja mencoba mengembangkan ekowisata dan konservasi.

Harapannya sangat sederhana yaitu aktivitas ekowisata dan konservasi di Masihulan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Meski di tengah pandemic COVID-19 yang merupakan suatu kejadian baru dan memberikan efek ke hampir seantero dunia kepariwisataan.

* Marvento F Laurens salah satu pemenang Fellowship EcoNusa 2020 bekerja sama dengan ANTARA

Baca juga: Kisah sang pelindung kakatua seram di Negeri Masihulan (Bagian 1)

Baca juga: Burung kakatua Tanimbar dilepasliarkan ke habitat

Baca juga: BKSDA Maluku lepas liarkan burung nuri merah

Baca juga: Penambangan Ancam Populasi Burung Bidadari di Maluku


Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021