Jakarta (ANTARA) - Ahli hukum bisnis Abdul Harris Muhammad Rum menilai perkara dugaan pemalsuan laporan keuangan dengan terdakwa mantan Direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) Joko Mogoginta dan Budhi Istanto adalah tindak kecurangan pribadi alias "human fraud".

Dugaan tersebut didasarkan atas kondisi di mana saat ini regulasi, pengawasan, dan penegakan hukum pasar modal sudah cukup ketat, ditambah ada sejumlah profesi penunjang, seperti auditor independen, hingga konsultan hukum pasar modal.

“Dalam UU pasar modal sudah ditentukan tindakan-tindakan kecurangan (fraud) termasuk sanksi pidananya, pejabat emiten harusnya tak ada yang berani melakukan kecurangan. Ditambah sejumlah profesi penunjang pasar modal yang bertugas berdasarkan etika profesi untuk memiliki kepentingan publik,” ujar Harris dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Oleh sebab itu, Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) ini menilai perkara yang dilakukan terdakwa Joko dan Budhi merupakan "human fraud". Alasannya, kedua terdakwa memberikan informasi yang tidak benar, bahkan sampai melakukan rekayasa laporan keuangan.

“Inti dari pasar modal adalah keterbukaan, makanya ada kewajiban 'disclosure' dari emiten. Audit yang baik pun hanya bisa dilakukan dengan infromasi yang benar. Hasil audit merefleksikan hal yang benar. Namun yang namanya orang curang, tetap ada peluang, entah laporan dicurangi, dibohongi, ditambah atau dikurangi yang melakukan pemeriksaan pasti akan mengetahui,” kata dia,

Dalam proses persidangan diketahui bahwa Joko dan Budhi melakukan rekayasa laporan keuangan dengan meningkatkan piutang enam perusahaan distributor guna mengesankan peningkatan penjualan AISA sehingga secara fundamental kinerja perseroan dapat terlihat baik.

Selain merekayasa piutang tersebut, dari hasil persidangan diketahui bahwa enam perusahaan tersebut merupakan milik Joko pribadi, namun dicatat sebagai entitas pihak ketiga dalam laporan keuangan pada 2016 dan 2017.

Rekayasa fundamental perusahaan yang dilakukan Joko dan Budhi turut melambungkan harga saham perseroan yang merangkak mulai pertengahan 2016 dan memuncak pada pertengahan 2017 dengan harga Rp2.360 per lembar.

Baca juga: BEI pertimbangkan penghapusan saham AISA bila tak penuhi kewajiban

Melonjaknya harga saham ini pula yang turut mendorong makin banyak investor ritel yang membeli saham AISA, termasuk Deny Alfianto.

“Saya beli saham Tiga Pilar bertahap mulai pada 2018. Saya masuk karena melihat PBV (price to book value) dari laporan keuangan 2017 senilai Rp1.300-Rp1.400 per saham, sementara di pasar harganya sekitar Rp300 per saham, artinya ada diskon, dan harganya sangat murah dari harga wajarnya,” kata Deny dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/2).

Melihat peluang tersebut, Deny pun menanamkan uang dari usaha peternakan ayam untuk membeli 14.000 lot saham atau sekitar 1,4 juta lembar saham AISA secara bertahap. Total dana yang ia investasikan sekitar Rp335 juta.

“Sebelum investasi saya baca laporan keuangan AISA dua tahun terakhir karena saya termasuk investor jangka panjang, bukan trader, dan saya yakin dengan bisnis AISA pada waktu itu,” ujar dia.

Namun tidak lama berselang, saham tiga Pilar dibekukan Bursa pada Juli 2018 berkat rentetan masalah yang dihadapinya. Mulai dari gagal membayar bunga obligasi dan suku ijarah, perkara kepailitan, sampai terungkapnya perkara rekayasa laporan keuangan yang dilakukan Joko dan Budhi.

Baca juga: Dirut AISA akui ada ambil alih perseroan secara paksa

Adapun suspensi baru dibuka oleh bursa dua tahun setelahnya, tepatnya September 2020 lalu setelah adanya pergantian kepengurusan perseroan.

Sepanjang dua tahun disuspensi, uang dari hasil bisnis ayam Deny tertahan di saham AISA. Begitu pun dengan sekitar 1.100 anggota Forum Investor Aisa (Forsa) lainnya yang kurang lebih memiliki 9 persen, dananya terendap di saham AISA.

Deny yang juga merupakan Ketua Forsa mengaku banyak investor ritel yang mengalami kerugian akibat rentetan masalah yang merundung Tiga pilar Sejahtera.

Saat suspensi dibuka, dia memilih melego seluruh kepemilikan saham di AISA, meskipun ada pula investor ritel lain yang masih bertahan memegang saham perseroan.

“Saya memang sudah 'cut loss', namun ada banyak yang masih bertahan karena merasa optimistis dengan manajemen baru, karena sebenarnya masalah ini memang 'human fraud' dan bisnis mereka sebenarnya bagus,” ucap dia.

Baca juga: Ernst and Young Indonesia dinilai langgar UU Akuntan Publik

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021