Sebagian besar kampanye hitam global terhadap sawit selalu dikaitkan dengan persoalan lahan
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Tanah IPB University, Prof Budi Mulyanto mengatakan bertele-telenya penyelesaian klaim kawasan hutan dan tata batas selalu dijadikan isu utama kampanye hitam untuk menyudutkan sawit Indonesia.

Untuk itu, menurut dia, pemerintah perlu segera menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan serta mempertegas batas-batasnya melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

"Sebagian besar kampanye hitam global terhadap sawit selalu dikaitkan dengan persoalan lahan. Seolah-olah semua lahan perkebunan sawit ada dalam kawasan hutan. Padahal masalah utamanya adalah klaim kawasan yang belum jelas serta penyelesaian tata batas yang belum tuntas," kata Budi melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

Baca juga: KPK dorong perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Papua Barat

Dia memperkirakan dari luasan kawasan hutan 120 juta hektare, areal yang telah selesai ditatabatas (temu gelang) kurang dari 10 persen.

"Lambannya penyelesaian tata ini inilah yang memicu konflik tenurial antara pihak yang punya berkepentingan dengan kawasan hutan serta menjadi sumber utama kampanye hitam sawit global," ujarnya.

Budi Mulyanto yang juga Ketua Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) itu mengingatkan dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan.

Baca juga: Airlangga sebut sawit proyek strategis nasional yang harus dijaga

"Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimat atau sederhananya, legal tapi punya pengakuan yang rendah dari masyarakat,” katanya dalam diskusi online #LetsTalkAboutPalmOil. .

Persoalan tata batas yang tidak tuntas, lanjutnya, karena dalam prakteknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia.

Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Baca juga: Airlangga sebut kelapa sawit komoditas paling efisien gunakan lahan

Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut.

Padahal, sejak jaman belanda sudah ada pengakuan atas hak-hak pribumi, namanya Indonesisch bezitsrecht, tambahnya, artinya adalah bahwa hak atas tanah masyarakat pada jaman penjajahan diakui sebagai bagian dari hak azasi manusia.

Baca juga: RI akan ofensif lawan kampanye hitam sawit

Budi juga menyarankan ke depan perlu ada satu lembaga yang diberi otoritas untuk mengatur pemanfaatan tanah,bentuknya bisa Lembaga, Kementerian atau Kemenko dengan otoritas penuh dari Presiden.

"Selama ini,ego sektoral antara institusi pemerintahan mendominasi dan kerap menempatkan masyarakat termasuk pelaku usaha sebagai obyek kesalahan. Ke depan hal seperti ini harus dihindari," katanya.

Baca juga: Mencari solusi atasi konflik kelapa sawit

Pewarta: Subagyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021