Jakarta (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan menjadi persoalan besar yang terjadi hampir setiap tahun di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Bahkan, tahun 2019 menjadi salah satu kejadian terburuk dalam sejarah karhutla di Kabupaten Ketapang, setelah 2015.

Sub-Lanskap Pematang Gadung di Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, menjadi salah satu lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terparah.

Kejadian tersebut berdampak buruk pada keberlanjutan pengelolaan Sub-Lanskap Pematang Gadung, baik aspek lingkungan, sosial, maupun ekonomi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat sebanyak 151.919 hektare lahan terbakar di Kalimantan Barat pada 2019. Pada 2018, sebanyak 68.422,03 hektare hutan dan lahan terbakar di provinsi itu. Sedangkan pada 2015, karhutla melanda 93.515,8 hektare lahan di Kalimantan Barat.

Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, sebanyak 1.061 titik panas di Kabupaten Ketapang pada 19 September sampai 20 September 2019. Angka itu mewakili kabupaten dengan jumlah titik panas terbanyak di Provinsi Kalimantan Barat karena di provinsi itu terpantau sebanyak 1.431 titik panas pada periode yang sama.

Meskipun sedang musim hujan, sejumlah titik panas mulai terpantau kembali di beberapa area di Kalimantan Barat sejak 12 Februari 2021.

Kegiatan penanggulangan karhutla di Kabupaten Ketapang selalu dilakukan setiap tahun. Namun, lebih banyak dilakukan pada aspek pemadaman saja tanpa adanya program pencegahan yang holistik dan terprogram dengan baik.

Tidak adanya program pencegahan yang terfokus dan terencana serta dilengkapi desain koordinasi dan kolaborasi antar pihak menjadi faktor utama dari ketidakberhasilan berbagai upaya yang dilakukan.

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ali Yansyah Abdurrahim mengatakan upaya-upaya penanganan karhutla yang dilakukan selama ini lebih banyak difokuskan pada upaya pemadaman yang sporadis terhadap lokasi-lokasi karhutla.

Baca juga: Polda Kalimantan Barat antisipasi kebakaran hutan

Baca juga: SAR Pontianak ikut padamkan kebakaran hutan dan lahan

Keterlibatan semua pihak


Program pencegahan perlu aksi kolektif yang nyata untuk memberikan pembelajaran sosial. Oleh karena itu, diperlukan contoh lokasi pelaksanaan yang tepat agar bisa diadopsi dan direplikasikan. Sub-Lanskap Pematang Gadung bisa menjadi sasaran pelaksanaan rekomendasi program pencegahan dan penanganan karhutla yang komprehensif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Ali menuturkan ada "pihak-pihak tak terlihat" yang tidak pernah dilibatkan dalam upaya-upaya penanggulangan karhutla. Padahal, dalam kenyataannya, kegiatan mereka diduga menjadi pemicu kejadian karhutla. Mereka adalah pembalak liar, pemburu satwa liar, pencari ikan air tawar, dan penambang ilegal.

Pemangku kepentingan yang harus dilibatkan dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla secara komprehensif adalah pemerintah sebagai pembuat, pengarah dan pelaksana program, masyarakat lokal dan swasta sebagai pelaksana program dan penerima manfaat, serta dan lembaga swadaya masyarakat sebagai pendamping dan fasilitator program.

Peneliti di Tropenbos Indonesia sejak 2020 itu memetakan pemangku kepentingan yang perlu terlibat untuk menyukseskan program penanganan karhutla yakni pemerintahan mulai dari pusat, provinsi hingga kabupaten, masyarakat lokal termasuk kepala desa, kelompok tani sawit, kelompok tani padi, Masyarakat Peduli Api (MPA), dan Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD), swasta yang meliputi PT Limpah Sejahtera, PT Arrtu, dan Koperasi Linggarjati, serta organisasi non pemerintah yang meliputi Tropenbos, Pengawal Merah Putih (PMP), Fauna and Flora International (FFI) dan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR).

Semua pihak yang berhasil dipetakan mendukung program pencegahan karhutla termasuk kelompok tani sawit dan padi selama budidaya dan produksi tanamannya tidak terganggu.

Baca juga: Polres Mempawah tangkap orang yang diduga pelaku karhutla

Baca juga: KLHK: Kasus kebakaran hutan-lahan PT IGP segera ke pengadilan


Rekomendasi aksi

Ali mengatakan perlunya rencana aksi kolaboratif dan koordinatif untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Barat

Menurut mahasiswa Program Doktoral by Research di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB University, Indonesia dan Program SESAM Wageningen, Belanda itu, aksi-aksi kolaboratif sangat diperlukan dalam berbagai langkah dan kebijakan yang berbasis kepada pengelolaan alam beserta sumber daya yang berada di dalamnya.

Dalam seminar virtual (webinar) "Penduduk dan Lingkungan: Antara Subsistensi dan Keberlanjutan" yang diselenggarakan LIPI dan Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia RASI (YKRASI), Jakarta, Senin, Ali menuturkan kerusakan ekologi akibat karhutla telah mengancam keberlanjutan penghidupan (livelihood) masyarakat lokal yang sangat tergantung pada kondisi sumber daya alam (SDA) di Sub-Lanskap Pematang Gadung.

Rekomendasi aksi kolaboratif secara paralel yang mencakup keterlibatan seluruh pihak terkait dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla yakni penyelesaian desain besar aksi pencegahan karhutla kolaboratif, penerbitan surat keputusan satuan tugas/kelembagaan implementasi grand desain aksi pencegahan karhutla kolaboratif di tingkat kabupaten dan tingkat tapak.

Dilanjutkan dengan pembuatan sekat-sekat kanal sistematis, pembuatan posko A di KM 17 Jalan Poros Pelang-Batu Tajam, pembuatan posko B di Simpang 4 kanalisasi, pembuatan posko C dekat kawasan hutan produksi non-konsesi.

Upaya berikutnya adalah pembuatan sumur-sumur bor, peningkatan kapasitas tim satuan tugas dan masyarakat lokal terkait pencegahan dan penanganan karhutla, dan peningkatan penghidupan masyarakat lokal terutama teknik bertani dan pemasaran produk hortikultura lahan gambut.

Peningkatan kesadaran publik termasuk pendekatan khusus untuk "pihak-pihak yang tak terlihat", juga penting dilakukan untuk melaksanakan berbagai program atau upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla demi menjaga fungsi lingkungan yang berkelanjutan.

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara mengatakan pengelolaan lingkungan idealnya tidak hanya berorientasi kepada kebutuhan penduduk semata, tetapi harus mengutamakan konservasi untuk menjaga ketahanan dan fungsi lingkungan hidup.

Degradasi lahan akibat kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu penyebab penurunan keragaman keanekaragaman hayati.

Menurut Herry, keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla serta pengelolaan sumber daya alam yang lestari akan mengatur terciptanya keberlanjutan dan keseimbangan antara pola pemanfaatan sumber daya alam dan kelestariaannya.

Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang mengesampingkan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup seperti pembukaan lahan dengan pembakaran hutan dan lahan akan mengakibatkan kerusakan dan pencemaran, yang bisa berujung pada bencana alam.

Untuk itu, berbagai aktivitas masyarakat dan pihak lain yang mengelola sumber daya alam harus diarahkan pada tindakan ramah lingkungan dan menjaga ekosistem tetap asri, seimbang dan lestari.

Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tentunya harus memperhatikan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.

Pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan akan mendukung ketersediaan sumber daya alam yang lestari demi kehidupan masa kini dan masa depan yang berkelanjutan pula.*

Baca juga: Perusahan perkebunan sawit miliki peran strategis cegah Karhutla

Baca juga: BMKG: Terdeteksi sebanyak 6.382 "hotspot" di Kalbar

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021