saat ini terdapat 30.107.242 ha yang masuk dalam kategori lahan tidur dan tidak produktif, berada di kawasan areal penggunaan lain (APL) dan kawasan hutan yang masuk dalam konsesi.
Jakarta (ANTARA) - Lahan tidur dan tidak produktif dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan demi mengurangi pembukaan lahan baru yang dapat membantu Indonesia mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca, menurut pakar mitigasi perubahan iklim IPB University Prof. Rizaldi Boer

"Di dalam konteks NDC ini yang menjadi target bagaimana pengembangan lahan pertanian nanti ke depan untuk perkebunan dan lain sebagainya mengoptimalkan lahan-lahan ini. Itulah prioritas utama dalam pencapaian target NDC termasuk juga penyusunan strategi jangka panjang untuk mencapai target Perjanjian Paris," kata Rizal dalam diskusi perihal dampak food estate terhadap hutan alam dan gambut, dipantau dari Jakarta, Rabu.

Menurut Rizaldia, saat ini terdapat 30.107.242 hektare (ha) yang masuk dalam kategori lahan tidak dimanfaatkan atau tidur dan tidak produktif. Lahan-lahan itu berada di kawasan areal penggunaan lain (APL) dan kawasan hutan yang masuk dalam konsesi.

Sektor kehutanan sendiri memegang peranan penting dalam pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Sektor kehutanan berkontribusi 17 persen dari target 29 persen tersebut.

Karena itu untuk mengurangi deforestasi, pemanfaatan lahan tidak produktif harus dioptimalkan dengan mempertimbangkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan penyusunan tata ruang.
Baca juga: Tujuh hektare lahan tidur terbakar di Aceh Selatan
Baca juga: Gubernur: Cegah Karhutla di Kalteng dengan manfaatkan lahan tidur


"Lahan tidur dan lahan tidak produktif masih sangat luas kenapa kita harus cari lagi ke hutan," ujar akademisi yang juga menjabat sebagai Executive Director Center for Climate Risk and Opportunity Managemen in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) IPB University itu.

Dalam diskusi itu, Yayasan Madani Berkelanjutan memaparkan temuan dari kajian mereka bahwa 92 persen dari area of interest (AOI) food estate seluas 3,69 juta hektare (ha) di empat provinsi berada di kawasan hutan.

Menurut kajian Yayasan Madani Berkelanjutan di wilayah Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Papua, beberapa daerah yang masuk dalam rencana food estate pemerintah, menemukan luas hutan alam yang berisiko hilang atau terdampak adalah seluas 1,57 juta ha.

Selain itu ada ekosistem gambut yang sangat luas yaitu 1,4 juta ha di AOI food estate di empat provinsi tersebut.

Karena itu Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri dalam diskusi itu mendorong pemerintah untuk mengeluarkan hutan alam, ekosistem gambut dan wilayah masyarakat adat dari lahan yang direncanakan untuk food estate.

Dia juga berharap pemerintah tidak mengizinkan penebangan hutan dan pembukaan lahan gambut untuk proyek tersebut agar konsisten dengan komitmen iklim Indonesia.
Baca juga: Ratusan hektare lahan tidur di Gunung Raja terbakar
 

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021