terjadi kepanikan moral ketika orang tua melihat anaknya di rumah saja
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan akar masalah perkawinan anak, terutama anak perempuan, adalah konstruksi gender yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat dibandingkan laki-laki.

"Perempuan dianggap sebagai empunya domestik, sehingga dihalang-halangi untuk masuk ke sektor publik. Ketika bisa masuk ke sektor publik pun selalu diingatkan dengan tugasnya di rumah," kata Andy dalam seminar daring tentang pencegahan perkawinan anak yang diadakan Jaman Perempuan Indonesia di Jakarta, Jumat.

Konstruksi gender yang menempatkan perempuan pada posisi domestik pada akhirnya menyebabkan sebagian orang tua menganggap anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi dan lebih baik segera dikawinkan.

Kalau pun perempuan bisa meraih pendidikan tinggi pun, Andy memandang terdapat ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan akses terhadap pendidikan.

Baca juga: Komnas Perempuan sebut perkawinan anak bertentangan dengan konstitusi

Hubungan antara tingkat pendidikan yang rendah dengan praktik perkawinan anak bisa dilihat pada kasus iklan sebuah penyedia jasa penyelenggara perkawinan yang mempromosikan perkawinan anak yang sempat menjadi perbincangan publik.

"Daerah yang menjadi sasaran Aisha Wedding, yaitu Lombok, rata-rata pendidikannya hanya 5,5 tahun untuk perempuan dan tujuh tahun untuk laki-laki," tuturnya.

Menurut Andy, masih ada sebagian masyarakat yang memandang pendidikan anak bukan sebagai hal yang utama, yang pada akhirnya direkatkan pada kemiskinan masyarakat.

Kemiskinan karena pendidikan yang rendah itu kemudian menjadi salah satu faktor penyebab perkawinan anak, meskipun juga ada yang menggunakan dalil agama dan tradisi.

Baca juga: Menteri PPPA ajak sinergi cegah perkawinan anak

"Ada yang mengatakan generasi nenek kita, juga sudah kawin pada umur belasan tahun, nyatanya tidak ada permasalahan dengan kesehatan reproduksi dan lain-lain. Itu praktik tradisi yang tidak melihat perbedaan yang jauh dalam melihat permasalahan kesehatan reproduksi, hak-hak perempuan, serta kematangan mental seseorang pada zamannya," jelasnya.

Di sisi lain, Andy melihat pandemi COVID-19 juga ikut berdampak pada praktik perkawinan anak. Selain berdampak pada ekonomi masyarakat, pandemi COVID-19 juga berdampak pendidikan anak.

"Banyak murid merasa terbebani dengan pendidikan daring, selain permasalahan infrastruktur teknologi dan kapasitas guru yang berbeda. Pada saat bersamaan, terjadi kepanikan moral ketika orang tua melihat anaknya di rumah saja," katanya.

Baca juga: Bappenas: Perkawinan anak tantangan pembangunan SDM

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021