Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Membangun Indonesia bermula dari desa.
Jakarta (ANTARA) - Definisi desa berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah: Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut survei Badan Pusat Statistik (bps.go.id) tahun 2003-2018, ada sebanyak 71.074 desa di Indonesia, berdasarkan provinsi dan letak geografi.

Pemerintah telah mengatur Desa di dalam Undang-Undang (UU). Sedikitnya ada delapan regulasi tentang desa dari tahun 1948 hingga 2004. Misalnya, UU No 22 Tahun 1948, UU No 1 Tahun 1957, UU No 18 Tahun 1965, UU No 19 Tahun 1965, UU No 5 Tahun 1974, UU No 5 Tahun 1979, UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004.

Penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai Undang-Undang tentang Desa, UU No. 6 Tahun 2014 Bab V Pasal 24, berdasarkan asas: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman, dan partisipatif.

Desa Siaga COVID-19

Tulisan ini akan membahas beberapa konsep desa yang dapat dikembangkan di masa pandemi COVID-19. Istilah kerennya Desa Siaga COVID-19. Contoh Desa Siaga COVID-19 di Provinsi Sulawesi Utara dapat ditemukan di Kota Bitung.

Di seluruh Jawa Tengah, saat ini terdapat sekitar 2.700 Desa Siaga COVID-19 dari target 8.000 desa. Serupa dengan Desa Siaga COVID-19, di Kota Depok, Jawa Barat telah terbentuk sekitar 809 Kampung Siaga COVID-19.

Kompetensi masyarakat di Desa Siaga COVID-19 antara lain: mengetahui tanda dan gejala COVID-19, dapat membuat masker dan penyanitasi tangan (sanitizer) secara mandiri berbahan baku alami, memiliki tempat karantina atau isolasi mandiri, memiliki lumbung pangan yang cukup untuk menghadapi masa pandemi, mampu mengidentifikasi orang yang termasuk Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Pengembangan suatu desa haruslah berbasis keunggulan desa tersebut. Keunggulan desa dapat berupa produk pertanian, destinasi wisata, atraksi seni-budaya, wisata spiritual, wisata edukasi, dan sebagainya.

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi, maka ke depannya boleh jadi akan terbentuk desa riset, desa berbasis kecerdasan buatan, desa neurosains, desa teknologi, desa astronomi, dan sebagainya.

Berikut ini diperkenalkan beragam multiplatform desa yang berpotensi untuk dikembangkan mendukung program Desa Siaga COVID-19.

Desa Wisata

Direktorat Jenderal Pariwisata (Ditjenpar) Kemenparekraf mendefinisikan desa wisata adalah wilayah perdesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian desa, arsitektur bangunan dan tata ruang desa, berpotensi mengembangkan beragam komponen kepariwisataan. Misalnya atraksi wisata kuliner, penginapan, cendera mata, dan kebutuhan lainnya.

Desa wisata dapat dikembangkan berdasarkan beberapa prinsip. Misalnya: adanya partisipasi aktif masyarakat, pertunjukan atau atraksi hiburan, sarana-prasarana, fasilitas serta akomodasi penunjang, pengelola yang dilembagakan, dukungan regulasi dari pemerintah.

Pengembangan desa wisata dapat dilakukan dengan survei awal atau pemetaan potensi wilayah desa, memahami karakter demografis dan psikologis masyarakat desa beserta struktur organisasi di desa tersebut, didukung analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats) tentang kondisi desa terkini.

Juhari SA dan M Zaenuri (2018) telah memberikan program pendampingan berupa pelatihan kerajinan bambu untuk akselerasi terbentuknya Desa Wisata Kerajinan Bambu di Brajan, Sendang Agung, Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Desa Wisata Kesehatan

Menurut Andry Dahlan (2016), desa wisata kesehatan adalah suatu desa tujuan wisata yang memiliki salah satu dari tiga sumber daya alam unggulan setempat. Misalnya: hutan, pegunungan, dan/atau laut sebagai sumber kesehatan alami sebagai daerah tujuan wisata kesehatan.

Baik desa wisata maupun desa wisata kesehatan memiliki kesamaan konsep dalam pengembangannya. Keduanya memerlukan koordinasi, kolaborasi, dan sinergi berkesinambungan yang multisektoral.

Koordinasi tersebut misalnya dalam hal promosi wisata, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta peningkatan fasilitas (sarana - prasarana) penunjang kegiatan kepariwisataan. Mari kita diskusikan satu per satu.

Beragam program peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dapat dilakukan bersama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat berupa manajemen kepariwisataan, pelatihan pembuatan cendera mata khas desa, pelatihan pemandu wisata, pelatihan bahasa asing dan bahasa daerah, pengenalan adat-istiadat serta kearifan lokal, pembentukan masyarakat sadar wisata.

Program promosi wisata yang dapat dilaksanakan, misalnya pembuatan buku saku pariwisata, rancangan laman/portal yang interaktif-atraktif, promosi dan sosialisasi desa wisata kesehatan di berbagai media cetak, elektronik, dan media sosial menggunakan bahasa kekinian.

Kegiatan promosi kepariwisataan ini dapat menggandeng "influencer", selebgram, artis, dan generasi milenial, bila tersedia dana yang memadai. Program pembangunan sarana-prasarana dapat diusulkan oleh masyarakat kepada pemerintah melalui rembug desa.

Beragam fasilitas yang dapat dibangun untuk mempercantik desa wisata kesehatan, antara lain: jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, tempat ibadah, air bersih dan MCK (mandi, cuci, kakus), "homestay" atau vila, listrik, pusat informasi turis, jaringan telekomunikasi dan internet nirkabel.

Salah satu contoh nyata Desa Wisata Sehat di Indonesia adalah Desa Sudaji di kawasan Bali Barat. Desa ini telah dikembangkan sebagai desa wisata sehat berbasis "wellness tourism observatory" melalui peningkatan keterampilan dan pengetahuan masyarakat setempat.

Desa Siaga Bencana

Sebagian desa yang berlokasi di Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh telah diberikan pengetahuan tentang kebencanaan, sehingga tepat disebut sebagai Desa Siaga Bencana.

Survei yang dilakukan oleh Febriana dkk (2015) berhasil mendapatkan beberapa indikator. Misalnya: pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Kota Banda Aceh memiliki kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi dengan kategori baik (mencapai 82 persen).

Meskipun demikian, perlu peningkatan pengetahuan tentang kebencanaan. Kategori baik (mencapai 79 persen) dengan sistem peringatan bencana amat baik (mencapai 85 persen) juga didapatkan dari hasil pengukuran kesiapsiagaan pegawai di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.

Adapun kesiapsiagaan masyarakat di Kecamatan Meuraxa mencapai 69 persen (kategori baik), dengan aspek pengetahuan bencana sebesar 63 persen (kategori cukup), perlu supervisi lanjutan. Sosialisasi dan pelatihan kebencanaan, terutama gempa bumi, perlu dilakukan secara berkesinambungan dan rutin.

Konsep desa siaga bencana tersebut serupa dengan Desa Tangguh Bencana (DTB) dan Kampung Siaga Bencana (KSB). Menurut Kemensos, Indonesia telah memiliki sejumlah 638 KSB dan 37.817 orang Tagana (Taruna Siaga Bencana) di seluruh provinsi di Indonesia (Republika.co.id, 08 Sep 2019).

Desa Siaga Aktif

Proses pembinaan dan gerakan Desa Siaga bermula sejak 2006 melalui Kepmenkes Nomor 564/Menkes/SK/VIII/2006. Hasil monitoring dan evaluasi Kemenkes tahun 2009, terdapat 56,1 persen (sekitar 42.295) desa dan kelurahan yang telah menginisiasi Desa Siaga dan Kelurahan Siaga, meskipun belum menjadi Klurahan atau Desa Siaga Aktif.

Desa Siaga Aktif adalah desa dengan kemaauan, kompetensi, sumber daya untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan problematika kesehatan, kebencanaan, kegawatdaruratan secara mandiri, berkesinambungan, dan paripurna.
Beragam multiplatform desa di atas berpotensi mendukung desa Siaga COVID-19, asalkan tetap mematuhi protokol kesehatan secara ketat.

Desa Siaga Covid-19 ini merupakan salah satu upaya kolaboratif untuk mewujudkan Indonesia maju alias Indonesia 5.0.

Indonesia 5.0

Mengadopsi konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan​​​​​​​ (Sustainable Development Goals/SDGs), maka definisi Indonesia Jaya atau Indonesia 5.0 adalah negara futuristik, demokratis, sebagai pusat peradaban dunia, dalam segala hal dan aspek kehidupannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta memiliki beragam kompetensi dan keunggulan yang interdisipliner.

Misalnya: meniadakan kemiskinan dan kelaparan, tingkat atau derajat kesehatan-kesejahteraan baik, pendidikan maju dan berkualitas, kesetaraan gender, akses sanitasi dan air bersih lancar, memiliki energi bersih dan terjangkau, masyarakatnya punya pekerjaan yang layak didukung kota-komunitas berkelanjutan, konsumsi-produksi yang bertanggung-jawab, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, industri, inovasi, sehingga berhasil mengurangi ketimpangan, memiliki sistem penanganan perubahan iklim yang terpadu dan merakyat, menjaga ekosistem (laut, darat, udara), mampu menjaga perdamaian, keadilan, kelembagaan yang kuat-kokoh, memiliki kemitraan (kolaborasi) untuk mencapai tujuan.

Dengan potensi yang demikian besar itu, tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Membangun Indonesia bermula dari desa.

Kejayaan Indonesia dapat tercapai melalui kemajuan desa. Kemajuan Indonesia pasti terwujud melalui keunggulan desa.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah Dokter Rakyat di Kampus Desa Indonesia, dosen FKIK Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, S3 IPCTRM TMU Taiwan, penulis produktif berlisensi BNSP, Dewan Pembina-Penasihat Beragam Komunitas, Organisatoris di FLP, I-4, ForMind, Himpenindo, PCIM Taiwan, AWMI, PWI.

Baca juga: Depok bentuk 902 Kampung Siaga COVID-19

Baca juga: Menparekraf Sandiaga ingin 244 desa wisata jadi unicorn Indonesia

Baca juga: Aceh Miliki 336 Desa Siaga Sehat Jiwa

Baca juga: Mendes PDTT tegaskan desa adalah kunci kemajuan Indonesia


 

Copyright © ANTARA 2021