Saat ini, "si pedas" ini pun melangkah dengan gagah karena telah dibukanya kran ekonomi serta aktivitas masyarakat yang membuat harga terus naik, bahkan harganya menembus di atas angka Rp100 ribu
Surabaya (ANTARA) - Harga komoditas tanaman cabai di beberapa daerah Provinsi Jawa Timur terus melambung tinggi, bahkan dalam dua hari terakhir di Kabupaten Gresik dan Jember tembus Rp100 ribu hingga Rp120 ribu dan membuat sejumlah pedagang mencampur komposisi cabai untuk menekan harga.

Pencampuran komposisi terdiri atas cabai hijau dicampur cabai warna kekuning-kuningan, serta cabai merah yang kemudian dikemas satu kilogram dibandrol dengan harga dari Rp70 ribu hingga Rp90 ribu/kg.

Tingginya harga cabai saat ini apabila ditarik ke belakang cukup berbanding terbalik dengan harga komoditas itu saat awal pandemi COVID-19 melanda Tanah Air karena "si pedas" ini hampir tidak ada harganya atau terbuang karena busuk, sebab tidak adanya pembeli dan rendahnya serapan.

Beberapa rumah makan dan tempat penyajian makanan di Jawa Timur mayoritas tutup, serta beberapa rumah tangga juga menahan keluar rumah karena adanya instuksi pemerintah untuk menghindari kerumunan, sebagai upaya menekan penyebaran COVID-19.

Terhentinya aktivitas masyarakat di awal pandemi membuat harga bahan pokok, khususnya "si pedas" turun drastis, dari sekitar Rp50 ribu menjadi Rp30 ribu. Bahkan, di beberapa daerah harus dibuang karena tidak adanya serapan di awal pandemi.

Namun saat ini, "si pedas" ini pun melangkah dengan gagah karena telah dibukanya kran ekonomi serta aktivitas masyarakat yang membuat harga terus naik, bahkan harganya menembus di atas angka Rp100 ribu.

Salah satu pedagang di Pasar Baru, Kabupaten Gresik, Yuris (40) mengatakan harga cabai rawit sangat bervariasi. Mulai dari Rp110 ribu hingga paling mahal Rp120 ribu/kg. Sedangkan untuk harga cabai merah besar rata-rata Rp30 ribu perkilonya.

Sedangkan di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Jember, harga cabai mencapai Rp120 ribu per kilogram dan merupakan harga tertinggi selama tiga bulan terakhir.

"Harga cabai rawit terus melonjak naik dan kami menjual cabai per bungkus Rp6 ribu dengan berat setengah ons karena harga cabai di pasar sudah menembus Rp120 ribu per kilogram," kata pedagang sayur keliling di Jember, Sutikno.

Menurutnya, harga cabai rawit sret (merah semua) memang mahal dibandingkan cabai rawit campuran (dicampur dengan cabai hijau kecil), sehingga pedagang juga mengurangi pembelian karena khawatir tidak laku di konsumen.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur Drajat Irawan mengakui, beberapa daerah dilaporkan mengalami kenaikan untuk komoditas cabai, dan sampai saat ini pemerintah terus berupaya menstabilkan harga tersebut.

Kenaikan komoditas harga cabai terjadi pada seluruh jenis, mulai dari cabai rawit, besar, sampai keriting.

Tingginya harga cabai di berbagai daerah di Jatim, selain adanya peningkatan permintaan juga dipicu tingginya curah hujan dalam beberapa hari terakhir, sehingga sentra penghasil komoditas cabai rawit gagal panen dan ketersediaan berkurang.

"Selain curah hujan yang tinggi, di beberapa sentra yang berada di dataran tinggi berdasarkan laporan yang kami terima mengalami serangan hama dan penyakit," kata Drajat.

Beberapa daerah yang terkena serangan hama dan penyakit itu masing-masing Kediri, Blitar, Malang, Tuban, Mojokerto dan sebagian Banyuwangi.

Hama yang menyerang yakni seperti virus Gemini, Layu Fusarium, ditambah curah hujan yang mengakibatkan bunga dan buah rontok, ditambah adanya trip daun keriting dan serangan antraknosa serta lalat buah.

Memang, diakuinya bahwa cuaca yang ekstrem sulit diprediksi, sehingga diharapkan kondisi cuaca segera membaik agar potensi luas tanam cabai rawit dan cabai merah besar di Jawa Timur tidak semakin rusak.

Sementara itu, salah satu upaya yang dilakukan Pemprov Jatim adalah dengan melakukan koordinasi dan sinergi dinas terkait, pemerintah kabupaten/kota, serta asosiasi petani cabai yang ada di Jawa Timur.

“Produksi cabai sesuai dengan luas lahan perlu dimonitor, progresnya dipantau supaya antara luas lahan dengan kapasitas produksi serta distribusinya berjalan,” kata Drajat,

Untuk daerah yang terkena genangan air, kata dia, Pemprov Jatim berusaha memperbaiki saluran irigasi lahan tanaman cabai agar hasil tanaman cabai dan kapasitas produksinya bisa berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan.

"Pemprov Jatim juga telah memberikan surat kepada pemerintah kabupaten/kota untuk terus melakukan monitoring dan melakukan upaya agar pengamanan panen cabai bisa berjalan dengan lancar," kata dia.

Asa turunnya harga

Meski mendapat laporan dari semua daerah bahwa terjadi kenaikan harga cabai hingga melambung tinggi, namun asa turunnya harga cabai pun diberikan oleh Paguyuban Petani Cabai Indonesia, Jawa Timur.

Ketua Paguyuban Petani Cabai Indonesia Jawa Timur, Suyono memprediksi pada pertengahan Maret sampai dengan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Fitri 2021, harga cabai rawit akan berangsur normal kembali dan stabil.

Asumsi itu, kata dia, berdasarkan panen yang diperkirakan dilakukan pada Maret hingga akhir Mei 2021 di sentra produksi cabai di wilayah Kediri dan Mojokerto.

Kemudian bertahap panen di beberapa kabupaten lain, seperti Blitar, Tuban, Malang dan Probolinggo.

Untuk saat ini, kenaikan harga cabai murni disebabkan kondisi cuaca/iklim yang ekstrim di beberapa sentra produksi serta adanya curah hujan yang tinggi, sehingga menyebabkan banyak lahan tanam di dataran rendah tergenang air dan berakibat pada kerusakan cabai serta terserang penyakit, seperti daun keriting, buah rontok, serangan lalat buah yang hampir merata di semua sentra produksi cabai di Jawa Timur.

Kondisi itu juga mengakibatkan produksi cabai rawit di sentra produksi di Kabupaten Kediri turun. Berdasarkan luas tanam mengalami penurunan sekitar 10 sampai 15 persen dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya.

"Untuk panen cabai kami perkirakan dilakukan akhir Maret hingga April 2021. Sehingga kami harapkan curah hujan bisa menurun, khususnya menjelang HBKN Ramadhan dan Idul Fitri 2021, agar ketersediaan cabai aman serta harganya stabil," katanya.

Tentunya, tidak hanya Paguyuban Petani Cabai yang menyandarkan diri pada asa tersebut, namun semua masyarakat, khususnya ibu rumah tangga yang sehari-hari bergelut dengan "si pedas" pun demikian.

Sehingga jika "si pedas" bisa kembali ke harga normal maka tidak akan terlalu lama mengganggu rasa pedas di setiap masakan yang disajikan.

Baca juga: BPS: Kenaikan harga cabai rawit dan ikan picu inflasi Februari 2021

Baca juga: Harga cabai di Kediri Rp100.000/kg imbas cuaca ekstrem

Baca juga: Serikat petani: bencana alam buat gagal panen dan naiknya harga cabai

Baca juga: Dinas Pangan DKI siapkan gelar pangan murah cabai

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021