Jakarta (ANTARA) - Mungkin banyak warga Jakarta yang tak percaya apabila disebut kasus stunting masih terjadi di ibu kota, mengingat kalau diukur dari tingkat kesejahteraan berada di atas rata-rata warga daerah lain di Indonesia.

Namun kenyataannya memang demikian. Data menunjukkan angka kemiskinan memang masih terjadi di ibu kota. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta melaporkan persentase penduduk miskin di Jakarta bertambah meski hanya tipis 0,16 persen yakni dari 4,53 persen per Maret 2020 menjadi 4,69 persen (496.840 jiwa) per September 2020.

Berdasarkan data yang dirilis Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta pada Mei 2019, terdapat dua kategori balita kerdil di antaranya yang bertubuh sangat pendek total 15.657 anak balita, dan bertubuh pendek sebanyak 19.122 anak balita.

Sampai periode itu, Jakarta Timur masih menempati posisi teratas balita kerdil dengan kategori sangat pendek 4.857 balita dan pendek sebanyak 5.628 balita. Hal ini dapat dipahami mengingat dari segi populasi penduduk Jakarta Timur merupakan terbanyak dibandingkan kota dan kabupaten di Provinsi DKI Jakarta.

Namun apabila dirunut kasus-kasus stunting di ibu kota bukan persoalan kesejahteraan yang menjadi penyebab. Karena kalau indikatornya warga tak sejahtera, maka di setiap sudut kelurahan telah tersedia Posyandu dan Puskesmas yang siap membantu untuk menangani balita yang kurang gizi.

Banyak dari kasus-kasus balita mengalami tumbuh kerdil di ibu kota karena ketidaktahuan orang tua. Mayoritas orang tua (ayah dan ibu) di Ibu Kota sibuk bekerja, sedangkan kebutuhan gizi balita diserahkan kepada asisten rumah tangga atau tetangga.

Studi juga memperlihatkan balita kenyang dan tidak rewel bagi sebagian orang tua sudah dianggap cukup. Mereka tidak memperhatikan atau memeriksa apakah selama ditinggal bekerja mendapat asupan gizi buah, sayur dan susu yang cukup.

Baca juga: Jaktim duduki peringkat tertinggi balita kerdil se-DKI
Baca juga: Bermanfaat cegah "stunting", teripang jarang dikonsumsi di Indonesia
Asupan gizi pada balita merupakan faktor penting mencegah stunting (ANTARA Ganet Dirgantoro)

Potensi balita stunting juga bisa terjadi di masa pandemi. Banyaknya orang tua yang tidak lagi bekerja membuat kualitas gizi tak lagi diperhatikan. Beberapa kasus masih adanya anggapan mengonsumsi kerupuk dan nasi sudah cukup untuk memenuhi gizi.

Persoalan penting
Presiden Joko Widodo sendiri menempatkan pemberantasan stunting ini sebagai program prioritas setara dengan upaya menanggulangi pandemi COVID-19. Bisa dimengerti kalau persoalan stunting menjadi perhatian serius mengingat hal ini menyangkut nasib generasi penerus bangsa.

Stunting bukan sekedar persoalan kekurangan fisik (tumbuh kerdil) tetapi juga membuat kurangnya kemampuan berpikir. Sehingga wajar apabila pemerintah menempatkan pemberantasan stunting menjadi program teratas termasuk dari segi penganggaran.

Bahkan anggota Komisi IX DPR RI, Intan Fauzi mengatakan penganggaran menjadi hal penting dalam mengatasi persoalan stunting. Dia bahkan menegaskan anggaran yang ada saat ini jangan dikoreksi, tetapi justru ditingkatkan nilainya.

Menurut Intan kebijakan merealokasi anggaran stunting dengan alasan apapun sangat berisiko karena akan memunculkan generasi hilang (lost generation) yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kementerian Kesehatan di tahun 2019 memperlihatkan prevalensi balita stunting masih 27,7 persen sehingga menempati peringat empat dunia. Angka ini masih jauh dari nilai standard WHO yang seharusnya di bawah 20 persen.

Serangkaian program digelar pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013, tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi masyarakat Indonesia.

Tak hanya itu, pemerintah juga mencanangkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kedua program ini merupakan upaya promotif preventif dalam rangka menanggulangi berbagai masalah gizi dan kesehatan dan juga menjadi program andalan pemerintah untuk mencegah stunting.

Baca juga: Anies: Seharusnya Jakarta tidak ada lagi anak yang "stunting"
Baca juga: Penanganan stunting jadi penilaian kinerja lurah dan camat di Jakpus
Kader Posyandu mengukur tinggi badan dari bocah saat melakukan pelayanan jemput bola di kawasan Green Garden, Rorotan, Jakarta Utara, Kamis (18/2/2021). Puskesmas Kelurahan Rorotan melakukan pelayanan jemput bola dikarenakan masih tingginya angka penularan COVID-19 di Ibu Kota. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.)

Saat ini, alokasi anggaran untuk penanganan Kesehatan tahun 2020 sebesar Rp 132,2 Triliun, naik dari alokasi anggaran tahun 2019 sebesar Rp123,1 Triliun. Namun anggaran tersebut tidak hanya dikelola oleh Kemenkes tapi juga kementerian dan lembaga kesehatan lainnya termasuk program di daerah-daerah, prioritas terbesar baik tingkat nasional dan daerah masih penanganan stunting.

Keluarga
Berdasarkan kasus-kasus stunting sebelumnya, kontribusi keluarga sangat besar untuk mencegah kasus itu. Banyak dari persoalan stunting muncul justru dari pernikahan muda, entah karena ketidaktahuan atau persoalan ekonomi.

Bahkan Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Lenny N. Rosalin melihat ada korelasi yang erat antara pencegahan perkawinan anak dengan turunnya angka stunting.

Karena itu salah satu program Kementerian PPPA mencegah perkawinan anak dengan mengedepankan fungsi layanan kesehatan yang ada di masyarakat, salah satunya melalui Puskesmas Ramah Anak (PRA).

Puskesmas ramah anak ini ternyata memiliki peran penting dalam mencegah perkawinan anak, hal ini juga turut mendukung upaya percepatan penurunan stunting serta risiko kesehatan lainnya.

Puskesmas dalam salah satu tugasnya selain menyediakan layanan kesehatan juga mencegah perkawinan anak, mengingat 32 persen anak di Indonesia diketahui berobat ke Puskesmas.

Dengan demikian apabila Puskesmas di seluruh Indonesia dapat memenuhi delapan dari 15 indikator Puskesmas ramah anak dan fungsinya dioptimalkan untuk mencegah perkawinan anak maka hal ini dapat turut menyelamatkan dan meningkatkan kualitas anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa.

Puskesmas ramah anak harus dapat melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan ramah anak, di antaranya memperluas cakupan dan mengembangkan layanan Puskesmas bagi masyarakat secara berkesinambungan khususnya dalam pencegahan perkawinan anak.
Pengendara motor melintas di dekat mural stunting di Jakarta, Rabu (16/12/2020). Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyatakan berdasarkan data saat ini angka stunting di Indonesia masih sebesar 27,9 persen,Êsementara target angka stunting yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebesar 14 persen pada 2024. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)
Peran Puskesmas
Adapun peran dan fungsi Puskesmas dalam mencegah perkawinan anak yang dapat dioptimalkan, yaitu melakukan edukasi, sosialisasi, dan konseling terkait kesehatan reproduksi, pentingnya memenuhi hak anak, serta pemahaman terkait hak anak untuk tidak dinikahkan saat usia anak. Hal ini dapat disampaikan oleh para tenaga kesehatan di Puskesmas untuk diteruskan kepada masyarakat luas seperti keluarga dan anak itu sendiri.

Perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang memiliki banyak dampak negatif dan sangat berbahaya tidak hanya bagi anak, keluarga, tapi juga negara, di antaranya stunting, tingginya angka kematian ibu dan bayi, tingginya angka putus sekolah, tingginya angka pekerja anak yang rentan diberi upah rendah sehingga turut meningkatkan angka kemiskinan serta dampak lainnya.

Di sini perlu sinergi. Pemerintah pusat, daerah, tokoh agama, tokoh adat, dunia usaha, media massa dan lapisan masyarakat lainnya, melalui regulasi yang dapat diimplementasikan dengan baik maupun menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak secara masif, dalam bentuk informasi maupun materi edukasi kepada masyarakat luas yang diolah dalam bahasa sederhana agar mudah dimengerti anak dan keluarga. Ini bukanlah hal yang mudah, namun jika bersinergi pasti akan lebih mudah mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia.

Lantas bagaimana dengan, anak-anak yang sudah terlanjur menikah?

Pemerintah sendiri telah menginstruksikan agar mereka tetap bisa mendapat layanan kesehatan yang optimal. Misalnya menyediakan layanan kesehatan reproduksi untuk memantau kesiapan baik dari sisi psikologis maupun biologis anak agar bisa melahirkan anak yang sehat.

Untuk itu, perlunya penguatan peran seluruh masyarakat dalam mengawal perkawinan anak, serta pentingnya data yang jelas untuk memastikan layanan yang diberikan dapat berjalan dengan baik dan optimal.
Kecukupan gizi anak-anak usia dini perlu diperhatikan.   (Megapolitan.Antaranews.Com/Foto/HO/ Pegiat Kesehatan Anak)

Reproduksi
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Erna M. mengungkapkan pentingnya memberikan pengetahuan terkait kesehatan reproduksi tidak hanya saat anak menginjak usia remaja, tapi dimulai sejak anak masih balita.

Untuk menyiapkan generasi unggul, bisa dicapai apabila pelayanan kesehatan diberikan secara optimal sejak anak masih di dalam kandungan sampai menginjak usia reproduksi. Pentingnya memastikan anak tumbuh sehat dan berdaya saing dengan dibekali pengetahuan kesehatan reproduksi sedini mungkin, sesuai usia dan kondisi anak, baik secara formal dalam pendidikan maupun informal dalam masyarakat.

Perwakilan Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM PP POGI, dr. Arietta Pusponegoro menjelaskan bahwa perkawinan anak akan menghasilkan kehamilan di usia muda yang sangat berisiko menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas maternal.

Arietta mengingatkan semua pemeriksaan kehamilan di usia remaja harus dirujuk ke rumah sakit, tidak boleh ditangani di Puskesmas atau di bidan. Ini akan membahayakan anak sebagai ibu maupun bayinya. Masa kehamilan, melahirkan, dan nifas yang terbaik yaitu pada usia 20-35 tahun, mengingat pada usia ini periode fertilitas tertinggi, insiden kelainan kromosom janin terendah, resiko komplikasi kehamilan terendah, dan mencegah kanker serviks.

Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr. Eva Devita Harmoniati menuturkan perkawinan anak memberikan dampak negatif tidak hanya pada kesehatan fisik ibu yang masih remaja tapi juga kesehatan mental seperti baby blues, ansietas, tak ada ikatan dengan bayinya, depresi bahkan sampai berpikir bunuh diri atau menyakiti bayinya.

Selain itu dampak jangka panjang kesehatan bayi yang dilahirkan, seperti berat lahir rendah, prematuritas, malnutrisi, stunting, gangguan perkembangan, pencapaian akademis rendah, serta berisiko mengalami kekerasan dan penelantaran.

Masalah perkawinan anak bukanlah masalah di satu fase kehidupan tapi dapat berlanjut pada generasi selanjutnya. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama untuk mencegahnya. Diperlukan kerjasama multisektor dan bila perkawinan anak terjadi, maka perlu intervensi dini yang komprehensif pada remaja hamil.

Berkaca dari pengalaman tersebut persoalan stunting tidak bisa didekati dari sisi anggaran saja. Banyak faktor yang menyertainya serta pilihan yang tepat melalui kebijakan dan tentunya implementasi di lapangan.

Namun masih ada sisi positif dalam penuntasan kasus stunting, yakni komitmen pemerintah untuk mengawal pelaksanaan setiap tahun anggaran. Puskesmas dan posyandu menjadi garda terdepan agar kasus stunting ini dapat ditekan dan dihilangkan dari bumi nusantara.

Copyright © ANTARA 2021