yang dilaksanakan saat ini vaksinasi massal tanpa tes cepat antigen maupun tes usap PCR
Banjarmasin (ANTARA) - Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Prof Dr dr Syamsul Arifin MPd menyarankan vaksinasi COVID-19 didahului tes cepat antigen sebagai langkah pemeriksaan awal.

"Kebijakan yang dilaksanakan saat ini adalah vaksinasi massal tanpa pemeriksaan atau tes cepat antigen maupun tes usap PCR. Tentu kita tidak bisa memastikan apakah di saat itu orang yang divaksin bebas COVID-19 atau tidak," kata Syamsul di Banjarmasin, Kalsel, Minggu.

Menurut dia, pelaksanaan vaksinasi sekarang sangat tergantung kejujuran warga dalam memberikan informasi kesehatan dirinya kepada petugas skrining. Terutama kondisi yang merupakan kontra indikasi mutlak pemberian vaksin ini, misalkan penyakit autoimun.

Baca juga: Wagub NTB sudah dua kali terima vaksinasi, positif terpapar COVID-19

Di samping itu jika ada warga yang sedang terkonfirmasi COVID-19 lolos, vaksinasi massal tanpa tes dan telusur kontak yang memadai akan membiarkan virus corona leluasa menyebar.

Parahnya, akan membahayakan warga lain yang sedang hadir saat pelaksanaan vaksinasi dan bahkan petugas yang memberikan pelayanan jika tidak menjalankan protokol kesehatan dan menggunakan alat pelindung diri (APD) yang baik dan benar.

Dijelaskan Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran ULM ini pula, meskipun pada saat pelaksanaan skrining lolos warga yang terkonfirmasi positif dan selanjutnya dilaksanakan vaksinasi, secara individual vaksin tidak memberikan efek negatif bagi bahan aktif vaksin COVID-19 yang berasal dari virus yang dimatikan seperti Sinovac.

Baca juga: Kemenkes beri penjelasan Bupati Sleman positif COVID-19 pascavaksinasi

Terkait ada temuan seseorang positif setelah vaksinasi, menurut Syamsul, kemungkinan ada tiga. Pertama, orang yang divaksin sebelumnya sudah positif namun tanpa gejala (OTG). Padahal virus corona divaksin yang beredar sekarang sudah mati, maka kemungkinan kecil dapat menyebabkan terinfeksi COVID-19.

Kedua jika sebelumnya memang negatif COVID-19, maka antibodi yang digunakan untuk pertahanan terhadap penyakit ini belum terbentuk. Karena rata-rata antibodi terhadap COVID-19 secara sempurna terbentuk pada minggu ke-4 setelah mendapatkan dua kali vaksinasi dengan jeda 14 hari. Oleh karena itu, setelah vaksinasi harus tetap disiplin dalam penerapan protokol kesehatan.

Kemungkinan ketiga, efikasi vaksin COVID-19 yang sekarang dalam program vaksinasi hanya 65 persen. Jadi meskipun empat minggu setelah vaksinasi masih ada kemungkinan gagalnya yaitu sekitar 35 persen. Sehingga jika kontak dengan OTG dan yang terkonfirmasi tanpa protokol kesehatan tetap kemungkinan dapat tertular.

Baca juga: Satgas: Belum ada KIPI ancam jiwa selama vaksinasi COVID-19 di Aceh

Dalam rangka pengendalian pandemi COVID-19 di Indonesia, pemerintah tengah menggencarkan vaksinasi untuk mengejar target kekebalan kelompok secepat mungkin.

Kondisi warga memiliki antibodi terhadap COVID-19 akan terbentuk kira-kira 2,6 tahun jika dikalkulasikan dari kecepatan suntikan menurut Menteri Kesehatan adalah 400.000 suntikan per hari untuk 70 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 271.349.889 jiwa.

Baca juga: Komnas KIPI: Tetap jaga protokol kesehatan meskipun sudah divaksin

Pewarta: Firman
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021