Jakarta (ANTARA) - Pertumbuhan populasi penduduk di Indonesia yang terus bertambah dari waktu ke waktu membuat kebutuhan energi kian tinggi, salah satunya liquefied petroleum gas atau akrab disebut elpiji yang digunakan untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga.

Sebagai gambaran, volume impor elpiji tercatat sebesar 5,5 juta metrik ton pada 2018, lalu meningkat menjadi 5,8 juta metrik ton pada 2019, kemudian bertambah sebanyak 6,2 juta metrik ton pada 2020.

PT Pertamina (Persero) memproyeksikan impor elpiji akan naik 16 persen mencapai 7,2 juta metrik ton pada tahun ini. Subsidi bahan bakar minyak dan elpiji direncanakan sebesar Rp54,48 triliun dengan rincian anggaran sebanyak Rp16,63 triliun untuk bahan bakar minyak dan alokasi elpiji tabung tiga kilogram mencapai Rp37,85 triliun.

Perekayasa Utama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengatakan alasan Indonesia terus mengimpor elpiji karena sumur-sumur gas di dalam negeri cenderung kering, komponen propana dan butana sedikit sehingga tidak bisa membuat elpiji.

Bahkan kilang-kilang minyak di Indonesia hanya mengandung sekitar 6-10 persen konstituen propana dan butana. Jumlah yang sangat terbatas ini juga menjadi rebutan industri petrokimia yang menjadikan impor elpiji sebagai kebutuhan mendesak selama 14 tahun terakhir.

Anggaran impor elpiji yang terus meningkat dari tahun ke tahun cukup memberatkan neraca keuangan negara, sehingga pemerintah berupaya mendorong penggunaan bahan bakar alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap kebutuhan impor elpiji melalui pemanfaatan dimetil eter (DME).

DME adalah senyawa bening yang tidak berwarna, ramah lingkungan dan tidak beracun, tidak merusak ozon, tidak menghasilkan particulate matter (PM) dan NOx, tidak mengandung sulfur, mempunyai nyala api biru, memiliki berat jenis 0,74 pada 60/60oF. DME pada kondisi ruang yaitu 250C dan 1 atm berupa senyawa stabil berbentuk uap dengan tekanan uap jenuh sebesar 120 psig (8,16 atm).

Karakteristik dimetil eter mirip dengan komponen penyusun elpiji berupa propana dan butana yang menjadikan senyawa bening ini cocok untuk diterapkan sebagai bahan bakar rumah tangga.

Ketertarikan BPPT dan Pertamina terhadap dimetil eter sudah tumbuh sejak tahun 2010, ketika mengikut konferensi internasional dimetil eter di China. Saat itu mereka diperlihatkan program subtitusi 20 persen dimetil eter yang dilakukan di rumah-rumah penduduk di wilayah Guangzou.

Namun, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji yang kala itu gencar dilakukan di dalam negeri sejak 2007 membuat pikat dimetil eter belum bisa dijadikan landasan kebijakan publik sebagai bahan bakar alternatif.

Usai satu dekade berselang, kebutuhan elpiji yang terus meningkat dan membebani keuangan negara membuat pemerintah mulai mencari peluang dengan memanfaatkan DME untuk menggantikan posisi elpiji di masa depan.

Sejumlah penelitian ilmiah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir untuk menemukan komposisi yang pas dalam program substitusi energi tersebut.

Dimetil eter dipandang memiliki prospek sebagai bahan bakar masa depan karena mampu digunakan sebagai pengganti elpiji. Campuran bahan bakar dengan komposisi 20 persen dimetil eter dan 80 persen elpiji bisa digunakan untuk kompor gas eksisting karena memiliki kesamaan sifat kimia maupun fisika dengan elpiji.

Pemanfaatan DME sebanyak 20 persen tersebut berdasarkan perhitungan efisiensi kompor dan getting value. Apabila substitusi dilakukan di atas angka 20 persen, maka bisa menyebabkan pengkerutan pada komponen karet dan non-metal kompor elpiji.

"Dimetil eter enggak bisa dipakai 100 persen kecuali semua peralatannya ganti–kompor ganti, selang ganti–itu ribet dan mahal, tetapi kalau kita berani ke sana ya enggak masalah, karena ini pilihan," kata Unggul Priyanto.
​​​​​
Melalui substitusi 20 persen, maka dapat diasumsikan kehadiran dimetil eter mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap kebutuhan produk elpiji impor.
Baca juga: Hilirisasi DME batubara diyakini tekan ketergantungan impor elpiji
Baca juga: DEN ungkap cara Indonesia bisa bebas impor energi



Ramah lingkungan

Sebagai bahan bakar pengganti elpiji, dimetil eter termasuk senyawa yang ramah lingkungan karena tidak menghasilkan Volatile Organic Carbon (VOC) berupa karbonmonoksida dan karbondioksida.

Senyawa ini juga termasuk bahan kimia tidak beracun karena tidak mengandung unsur sulfur dan nitrogen, serta tidak bersifat korosif terhadap metal.

Di banyak negara maju seperti Jepang dan China, dimetil eter tidak hanya digunakan untuk solvent, aerosol propellant ataupun refrigerant, tetapi telah dimanfatkan sebagai bahan bakar kendaraan diesel, rumah tangga hingga pembangkit listrik.

Bahkan Uni Eropa sedang mempertimbangkan biodimetil eter (BioDME) dalam campur bahan bakar nabati pada tahun 2030 mendatang.

Emisi gas rumah kaca dimetil eter lebih rendah 20 persen ketimbang elpiji sehingga mudah terurai di udara dan meminimalisasi kerusakan ozon. Apabila elpiji per tahun menghasilkan emisi 930 kilogram karbondioksida, maka emisi dimetil eter hanya 745 kilogram karbondioksida.

Potensi bahan baku dimetil eter lebih variatif tak hanya bersumber dari baru bara, tetapi juga bisa didapat dari gas bumi, biomassa, biogas, atau metana dari limbah kotoran hewan maupun limbah pertanian.

DME dinilai mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon dan mampu mengurangi efek gas rumah kaca sebesar 20 persen.

Selain itu, proses pembakarannya cenderung lebih cepat ketimbang elpiji karena dimetil eter merupakan senyawa eter paling sederhana yang mengandung oksigen, sehingga kualitas nyala api yang dihasilkan lebih biru dan stabil.

Pemanfaatan dimetil eter tak hanya baik untuk mengurangi kebutuhan elpiji impor, tetapi juga sejalan dengan upaya-upaya global dalam menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajat Celcius melalui kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Baca juga: Pertamina kembangkan energi alternatif melalui gasifikasi batu bara
Baca juga: Komisi VII DPR minta Pertamina percepat proyek gasifikasi batu bara


Gasifikasi batu bara

Pemerintah Indonesia membuat dimetil eter dengan bahan baku baru bara melalui program gasifikasi yang dilakukan oleh industri-industri pertambangan dalam negeri—mengingat sumber daya batu bara terbilang masih melimpah.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memproyeksikan sumber daya batu bara mencapai 149 miliar ton dan cadangan sebesar 37 miliar ton. Jumlah tersebut ditaksir mampu bertahan selama 62 tahun apabila dilakukan penambangan secara terus menerus.

Gasifikasi merupakan proses konversi batu bara menjadi produk gas yang bisa digunakan untuk bahan bakar, maupun bahan baku industri kimia.

Melalui penerapan teknologi ini, maka Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar impor yang secara tidak langsung mengurangi beban subsidi terhadap keuangan negara, meningkatkan nilai tambah batu bara, dan membuka lapangan kerja baru.

Melalui skenario gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter, pemerintah berupaya memperpanjang masa pemanfaatan batu bara sebagai energi primer kala dunia sudah terikat komitmen Perjanjian Paris untuk mengurangi pemanfaatan batu bara dalam rangka memperbaiki iklim Planet Bumi.

Merujuk Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law, perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara yang melakukan hilirisasi akan mendapatkan karpet merah berupa insentif istimewa.

Mereka akan diberikan royalti harga batu bara nol persen, perpanjangan IUP mengikuti nilai keekonomian, mendapatkan tax holiday, pembebasan PPN jasa pengelolaan, pembebasan PPN EPC kandungan lokal, dan berbagai insentif lainnya mengikuti pola-pola yang dikembangkan dalam Kawasan Ekonomi Khusus.

"Proyek hilirisasi batu bara akan mengurangi dampak negatif lingkungan dengan menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin.

Dua proyek gasifikasi batu bara ditarget beroperasi pada 2024 mendatang, yakni proyek batu bara menjadi metanol yang dilakukan oleh PT Bumi Resources melalui anak usahanya PT Kaltim Prima Coal bersama Air Products di Kalimantan Timur. Pabrik gasifikasi akan mengolah 6,5 juta ton batu bara menjadi 1,8 juta ton metanol per tahun.

Selanjutnya, proyek batu bara menjadi DME yang digarap oleh konsorsium PT Bukit Asam bersama PT Pertamina yang berlokasi di Sumatera Selatan. Pabrik gasifikasi ini akan mengolah 6 juta ton batu bara menjadi 1,4 juta dimetil eter per tahun.

Adapun terkait dampak polusi yang dihasilkan dari proyek gasifikasi tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memastikan emisi udara masih di bawah ambang batas yang ditetapkan bagi lingkungan.

Sedangkan terkait limbah cair dapat digunakan untuk bahan baku alternatif pembuatan amonia, sementara untuk limbah abu dapat dimanfaatkan untuk konstruksi bangunan.
Baca juga: Pemerintah dinilai perlu lanjutkan konversi minyak tanah ke elpiji

 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021