Jakarta (ANTARA) - Pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan, mengatakan beragama yang baik adalah yang berkomitmen memegang perjanjian dan mematuhi aturan hukum, bukan pembangkang.

Beragama tidak boleh diartikan sekadar sebagai prosesi ritual-formal, kata Ken Setiawan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, beragama khususnya pemeluk agama Islam tentunya juga diajarkan pula untuk menaati pemimpin (ulil amri). Sebuah negara akan sulit mencapai kestabilan tanpa adanya pemimpin yang memimpin keberlangsungan suatu negara.

”Kestabilan tersebut dapat dicapai melalui pemberlakuan hukum yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara agar tercipta ketertiban dan keadilan di dalamnya,” ujar Ken Setiawan.

Baca juga: Kapolri ajak BKPRMI tangkal radikalisme dan intoleransi
Baca juga: KH Anwar Sanusi: Isra Mi'raj momentum menangkal hoaks dan radikalisme
Baca juga: Perangi radikalisme, pengamat: Jangan andalkan ceramah "Ustaz YouTube"


Terlebih, menurut Ken, dalam Islam, kewajiban untuk taat kepada penguasa atau pemerintah sudah tertuang dalam surat An-Nisaa:59, yaitu “Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan ulil amri kalian (pemegang kekuasaan) diantara kamu.”

Lebih lanjut, mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) ini menyatakan kekhawatirannya akan kondisi yang sedang berlangsung di tanah air mengenai bahaya radikalisme, sebuah tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama.

”Dewasa ini banyak sekali orang yang mengaku paling beragama namun malah menyampaikan ujaran kebencian, caci maki serta hujatan termasuk kepada pemerintah dan hukum negara ini,” tutur Ken.

Menurut Ken, sosial media berperan besar atas informasi yang begitu cepat termasuk informasi yang bersifat hoaks.

Informasi yang sulit dibendung ini, termasuk hoaks dan propaganda anti-Pancasila semakin mengekskalasi dan mengikis nilai-nilai kebhinnekaan.

Menurut dia, hal seperti itu seharusnya disikapi secara kritis, apalagi jika yang disampaikan adalah hujatan dan caci maki.

”Seluruh elemen masyarakat harus cerdas menyikapi kondisi tersebut dengan cara mengkampanyekan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika,” ungkapnya.

Selain itu, ia menyebutkan bahwa saat ini kita harus menerima realitas di lapangan, bahwa anak usia dini bahkan sudah dipaksa menelan ideologi radikal dari oknum-oknum yang memanipulasi agama untuk menentang hukum dan aturan yang ada.

“Penanaman paham radikalis intoleransi pada anak usia dini ini sangat berbahaya. Karena ketika mereka dewasa nanti akan seperti buah yang matang tinggal petik, ditanamkan kebencian kepada negara ditambah polesan ayat-ayat jihad maka mereka akan siap melakukan amaliah terorisme,” jelasnya.

Ia menyampaikan bahwa NII Crisis Center bergerak untuk menerima aduan dengan membuka hotline yang ditujukan untuk masyarakat luas, identifikasi dan investigasi.

Selain itu, ia menyebut bahwa pihaknya juga melakukan dialog-dialog dengan korban NII yang bertujuan untuk memberikan alternatif pemikiran kepada korban.

“Kita harus tabayyun ketika menerima informasi, jangan sampai terjebak dan bahkan menyebarkan berita yang tidak diketahui kebenarannya itu. Sekalipun mencantumkan ayat dalam kitab, kita harus cek agar tidak terkena atau melanggar UU ITE,” katanya.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021