sikap yang mulai abu-abu saat masuk ke isu toleransi
Jakarta (ANTARA) - International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melakukan survei mengenai persepsi dan sikap generasi muda terhadap intoleransi dan ekstremisme yang menunjukkan bahwa tren penolakan kekerasan bermotif agama naik, tetapi mereka masih rentan untuk menjadi intoleran.

Dalam survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden di enam kota besar seperti Surabaya, Surakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan Pontianak pada 2020, mayoritas setuju bahwa kekerasan yang bermotif agama tidak dapat dibenarkan. Akan tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan seputar toleransi, banyak responden yang mulai bersikap gamang.

"Ada jarak yang menganga antara sikap yang tegas dalam menolak kekerasan bermotif agama dan sikap yang mulai abu-abu saat masuk ke isu toleransi," ujar Koordinator Penelitian INFID Ahmad Zainul Hamdi dalam Unjuk Bincang daring dengan tema Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intorelansi dan Ekstremisme kekerasan, Selasa.

Dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan perihal kekerasan bermotif agama khususnya terorisme seperti pandangan terhadap serangkaian bom di Indonesia maupun serangan-serangan ISIS. Mayoritas mereka tak setuju dengan apa yang dilakukan para teroris.

Begitu pula dengan serangan bom terhadap gereja, sebanyak 78 persen menyatakan tidak setuju dengan aksi tersebut, empat persen setuju, sementara sisanya menyatakan tidak tahu.

"Jika dibandingkan dengan tahun 2016, persepsi negatif terorisme naik selama empat tahun dari 79,7 persen ke 94,4 persen. Sebagian besar responden tidak menyetujui tindakan radikalisme dan kekerasan berbasis agama," kata dia.

Sementara saat ditarik pada isu-isu toleransi, memang responden menyatakan tingkat persetujuan atas toleransi sangat tinggi mencapai 93 persen dan tiga persen tidak setuju.

Baca juga: Survei INFID: ketimpangan masih tinggi

Baca juga: Kabupaten Jember jadi teladan kota ramah HAM


Namun ketika ditarik pada sikap dan pandangan responden terhadap kasus-kasus tertentu dan pernyataan-pernyataan yang diajukan justru menunjukkan angka kebalikannya.

"Itu angka persetujuan normatif karena ini seperti orang dihadapkan pada pertanyaan baik atau buruk. Orang seburuk apapun pasti memilih yang baik, tetapi saat kita Breakdown dengan kasus dan statemen untuk mengukur intoleransi mereka, ini problematik," katanya.

Berdasarkan hasil survei, saat ditanyakan isu intoleransi jika umat Muslim sebaiknya tidak mengucapkan selamat hari raya keagamaan pada non-Muslim, angka tidak setuju menyentuh angka 52,7 persen, sementara 27,8 persen menyatakan setuju, dan 5,8 persen sangat setuju.

Kemudian 29,7 persen responden cenderung tidak mau berteman dengan orang non-Muslim, dan 62 persen menyatakan setuju berteman dengan non- Muslim.

Angka yang lebih kontras terlihat saat ditanyakan perihal Ahmadiyah dan Syiah sebaiknya tidak tumbuh karena mereka mengajarkan agama Islam secara sesat, 42,5 persen responden setuju terhadap pelarangan Ahmadiyah dan Syiah, sementara 45 persen tidak setuju dengan pelarangan.

"Temuan ini mengindikasikan sangat kuat bahwa sementara anak-anak muda memiliki penolakan yang tegas terhadap aksi kekerasan bermotif agama, namun mereka sangat rentan untuk menjadi intoleran," kata dia.

Sementara itu, Tenaga Profesional Lemhanas RI Ninik Rahayu mengatakan bahwa menurunnya angka ketidaksetujuan anak-anak muda terhadap terorisme mengindikasikan bahwa teroris atau kelompok yang melakukan tindakan kekerasan semakin kehilangan kredibilitasnya di mata generasi muda.

Sementara di saat bersamaan, kata dia, generasi muda memang sepakat terhadap konsep toleransi secara normatif, namun gamang terhadap dalam isu-isu toleransi.

"Kabar gembira bahwa ada perubahan persepsi dan sikap generasi muda kita terhadap ekstremisme kekerasan dan kehidupan yang lebih toleran. Namun masih ada PR (pekerjaan rumah) yang masih harus kita selesaikan," katanya.

Baca juga: BPIP, UGM, UIN Suka, INFID kerja sama pemajuan toleransi di Indonesia

Baca juga: Radikalisme, intoleransi harus jadi agenda Indonesia di Dewan HAM PBB

 

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021