Jakarta (ANTARA) - Kriminolog Italia Cesare Lombroso pada awal abad ke-20 mengatakan "different criminal have different needs", motivasi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan pidana dilatarbelakangi oleh hal-hal yang berbeda, sehingga hukuman yang dijatuhkan pun berbeda pula.

Kejahatan korupsi sendiri pun punya beberapa sifat khusus. Menurut Saldi Isra dan Eddy O.S Hiariej dalam tulisan keduanya berjudul "Perspektif Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia" (2009), korupsi punya ciri sebagai kejahatan kerah putih, berbentuk kejahatan terorganisasi dan menggunakan modus operandi yang canggih sehingga sulit pembuktiannya.

Karena itu, pemberantasan korupsi dirasakan tidak cukup hanya dengan perluasan perbuatan secara konvensional tapi butuh metode tertentu yang menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa sehingga cara-cara pemberantasannya juga luar biasa, termasuk penetapan sanksi pidana.

Dalam tulisannya, Isra dan Hieriej mengatakan sanksi pidana kepada pelaku korupsi adalah "inderminate sentence" yang bertujuan untuk melakukan pencegahan kepada semua orang agar tidak melakukan perbautan yang mengganggu ketertiban masyarakat.

Artinya, adanya ancaman pidana bagi pelanggar hukum akan memberikan tekanan kepada seseorang yang akan berniat berbuat jahat sehingga kejahatan pun dapat dicegah.

Namun bagaimana dengan sanksi pidana terhadap kejahatan korupsi di Indonesia setidaknya dalam setahun terakhir, yaitu pada 2020? Mampukah sanksi pidana tersebut memberikan tekanan sehingga kejahtan korupsi di Indonesia dapat dicegah secara luas?

Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Senin (22/3) merilis rata-rata vonis terhadap terdakwa perkara korupsi di Indonesia sepanjang 2020 adalah 3 tahun dan 1 bulan penjara (37 bulan).

"Dari total 1.219 perkara yang disidangkan, rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi adalah 3 tahun 1 bulan penjara atau mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2019 lalu," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Senin (22/3).

Pada 2020 ICW mencatat setidaknya terdapat 1.218 perkara yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dengan total terdakwa sebanyak 1.298 orang.

Dari perbuatan tersebut, total kerugian negara akibat korupsi adalah senilai Rp56,739 triliun atau meningkat hampir 4 kali lipat dibanding nilai kerugian negara pada 2019 yang hanya mencapai Rp12 triliun.

Menurut Kurnia, sepanjang 2020, vonis ringan masih mendominasi persidangan perkara korupsi karena berdasarkan data pemantauan menunjukkan sebanyak 760 terdakwa divonis di bawah 4 tahun penjara sedangkan vonis berat hanya dikenakan kepada 18 orang terdakwa.

Baca juga: Eva: Vonis koruptor manasuka hakim

Vonis bebas dan lepas pada 2020 juga menjadi yang tertinggi jika dibandingkan dengan 4 tahun terakhir dengan total terdakwa yang divonis bebas dan lepas mencapai 66 orang.

Sementara pada tahun-tahun sebelumnya hanya 54 orang (2019), 26 orang (2018) dan 35 orang (2017) yang divonis bebas atau lepas. Pengadilan Aceh menjadi tempat yang paling sering membebaskan terdakwa kasus korupsi. Dari total keseluruhan, 10 terdakwa diputus bebas atau lepas di pengadilan tersebut.

Selain itu, potret disparitas putusan menurut ICW masih kerap terjadi pada 2020.

Pada pertengahan 2020, Mahkamah Agung (MA) memang mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sehingga kuantitas disparitas putusan yang terkait jenis korupsi kerugian keuangan negara menurun, meski tidak seluruhnya.

ICW misalnya menemukan vonis 2 tahun penjara masing-masing terhadap Direktur PDAM Tanjung Balai Zaharuddin Sinaga dan kepada Direktur PT Banten Global Franklin Paul. Padahal Zanaruddin terbukti merugikan keuangan negara senilai Rp9,984 miliar sedangkan Franklin Paul merugikan negara senilai Rp5,255 miliar.

Selanjutnya pada waktu yang sama, perkara korupsi dengan jenis lainnya seperti tindak pidana suap tidak diatur dalam Perma sehingga disparitas putusan masih sering terlihat.

Para terpidana korupsi berdasarkan kajian ICW juga justru lebih memilih mendapatkan tambahan hukuman pidana penjara pengganti ketimbang membayar uang pengganti.

Faktanya, dari total 549 terdakwa yang dijatuhi vonis pidana penjara pengganti, rata-rata hukuman hanya 1 tahun 1 bulan penjara. Maka menjadi hal wajar jika terpidana, selain karena telah mengalihkan aset ke pihak lain, lebih memilih menjalani pidana penjara ketimbang membayar uang pengganti.

Sementara pidana tambahan berupa pencabutan hak politik juga masih minim dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap terdakwa yang memiliki dimensi atau irisan dengan wilayah politik.

Pengenaan hukuman pidana penjara pengganti menurut ICW adalah dari 43 terdakwa maupun terpidana yang berasal dari klaster politik, hanya 22 orang yang dicabut hak untuk memilih dan dipilih oleh majelis hakim.

Menurut Kurnia, hal tersebut menunjukkan pengadilan belum terlalu mempertimbangkan urgensi pencabutan hak politik bagi pelaku korupsi.

Baca juga: ICW: Pemberantasan korupsi makin suram jika vonis koruptor dikurangi

Kinerja aparat
Vonis terhadap para terpidana perkara korupsi tersebut sejatinya juga berasal dari kinerja penuntutan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menuntut. Dalam hal ini adalah KPK dan Kejaksaan Agung.

Pada 2020, ICW mencatat kinerja penuntutan KPK dari segi kuantitas mengalami penurunan dibandingkan dengan 2019. Pada 2019, jumlah KPK melakukan penuntutan terhadap 137 orang terdakwa sedangkan pada 2020 hanya terhadap 100 orang terdakwa.

Sedangkan Kejaksaan Agung melakukan penuntutan terhadap 1.049 orang terdakwa yang dilakukan oleh kantor-kantor kejaksaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun menurut Kurnia, Kejaksaan Agung masih minim menangani perkara korupsi dengan aktor yang berasal dari dimensi politik, misalnya anggota legislatif dan kepala daerah.

Dari total 1.298 terdakwa, baik KPK maupun Kejaksaan, baru mengenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap 20 orang terdakwa, padahal pasal pencucian uang dipandang sebagai pintu masuk untuk memiskinkan koruptor apalagi anatomi pelaku korupsi tentu berupaya menyembunyikan aset hasil kejahatan.

Dari total kerugian negara yang mencapai Rp56,739 triliun, Kejaksaan Agung sepanjang 2020 menangani perkara dengan nilai ekonomi yang lebih besar jika dibandingkan dengan KPK.

ICW pun membagi perkara yang menimbulkan kerugian negara menjadi tiga klaster yaitu politik, BUMN/BUMD dan perangkat desa berdasarkan latar belakang terdakwa.

Hasilnya, kerugian negara dari terdakwa klaster politik mencapai Rp115,598 miliar (terbesar); kerugian negara dari terdakwa klaster perangkat desa adalah Rp111,2 miliar; sedangkan klaster BUMN/BUMD mencapai Rp38,041 miliar.

Korps Adhayksa menyidangkan perkara dengan kerugian negara sejumlah Rp56,7 triliun, sedangkan KPK hanya Rp 114,8 miliar.

Sejumlah perkara yang ditangani Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara bernilai besar misalnya perkara penjualan Kondensat oleh PT TPPI dengan terdakwa mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dengan nilai kerugian negara Rp37,8 triliun; perkara korupsi asuransi Jiwasraya dengan terdakwa Direktur PT Hanson International Benny Tjokrosaputro dengan nilai kerugian negara Rp16,8 triliun; korupsi dana investasi yang dilakukan Kepala Divisi Treasury PT Bank Sumut Maulana Akhyar Lubis dengan nilai kerugian negara Rp202 miliar.

Tindakan Kejaksaan ini patut untuk diapresiasi sekaligus kritik kepada KPK agar tidak hanya menangani tindak pidana suap, namun juga masuk lebih jauh dalam isu pencucian uang yang lazim dilakukan oleh terdakwa korupsi.

Tindakan yang dilakukan oleh Kejaksaan dapat dicontoh oleh KPK adalah ketika menangani perkara korupsi yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Bahasyim Assifie.

Ketika itu Bahassyim hanya disangka dengan pasal suap dan pemerasan karena diduga menerima Rp1 miliar dari wajib pajak. Namun di tengah proses penyidikan, jaksa menemukan adanya aliran dana yang dicurigai sebagai buah dari pencucian uang senilai Rp64 miliar dan akhirnya sangkaan dan dakwaan jaksa terbukti secara sah dan meyakinkan, Bahassyim divonis 10 tahun penjara dan dikenakan sejumlah pembayaran uang pengganti.

Selanjutnya pengenaan pidana tambahan uang pengganti seperti diatur dalam Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 dan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juga belum maksimal.

Berdasarkan pemantauan, uang pengganti yang dikabulkan oleh majelis hakim hanya berkisar Rp8,978 triliun. Praktis pemulihan kerugian keuangan negara baru mencapai 12 persen dari total kerugian negara secara keseluruhan. Jumlah itu pun belum sepenuhnya dikatakan pemulihan sebab masih menanti eksekusi penuntut umum atas putusanputusan persidangan tersebut.

Contoh vonis yang menetapkan pidana tambahan uang pengganti adalah pada korupsi Jiwasraya terhadap Direktur PT Hanson International Benny Tjokrosaputro senilai Rp6 triliun, korupsi penjualan kondensat terhadap eks Kepala BP Migas Raden Priyono senilai Rp1,7 triliun, terhadap Direktur PT Alam Bersemi Sentosa Andy Rikie Lam senilai Rp116,4 miliar maupun kepada Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara senilai Rp77,5 miliar.

Melihat disparitas antara kerugian negara dengan pemulihan keuangan negara tersebut, ICW menyebut perlu ada perbaikan mendasar pada UU Tipikor, khususnya dalam konteks substansi pidana tambahan uang pengganti.

Aturan saat ini yang tertuang pada Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor masih terbatas pada "pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi".

Jika masih menggunakan kalimat seperti itu, maka keuntungan yang didapatkan oleh pelaku kejahatan tidak bisa turut dirampas oleh negara. Maka dari itu, bunyi pasal tersebut idealnya adalah "pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi beserta seluruh keuntungan yang didapatkan"

Sebagai tindak pidana khusus, denda yang ada dalam UU Pemberantasan Korupsi juga Tipikor masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan regulasi kejahatan lain.

Baca juga: ICW: koruptor rata-rata hanya divonis 25 bulan penjara

Misalnya untuk kejahatan narkotika, UU Narkotika menyebutkan denda maksimal bisa mencapai Rp10 miliar, begitu pula pada kejahatan pencucian uang, denda yang diatur dalam UU TPPU adalah sebesar Rp10 milia sedangkan UU Pemberantasan Korupsi denda maksimal hanyalah Rp1 miliar, itu pun hanya pasal yang terkait dengan kerugian keuangan negara, tindak pidana suap, dan gratifikasi (Pasal 2, Pasal 3, Pasal 12, dan Pasal 12 B UU Tipikor).

Pemantauan ICW terhadap pengenaan denda pada sepanjang 2020 adalah mencapai Rp156 miliar. Jika dirata-rata, maka setiap perkara dikenakan denda sebesar Rp131,28 juta.

Bahkan jika ditelisik lebih lanjut, hanya enam terdakwa saja yang dijatuhi denda maksimal Rp1 miliar yaitu mantan Kepala Desa Air Wundu Erwan Todi, bekas wakil pimpinan Bank BNI Farahdiba Jusuf, mantan Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, pendiri PT TPPI Honggo Hendratno dan Sales Marketing PT A&C Trading Network Adri Siwu.

"Penting bagi pemangku kepentingan untuk segera merevisi UU Tipikor agar menyesuaikan dengan perkembangan tindak kejahatan korupsi," tambah Kurnia.

Selanjutnya dari total 1.298 terdakwa yang disidangkan pada sepanjang 2020, rata-rata tuntutan hukuman penjara penuntut umum adalah 4 tahun 1 bulan penjara atau lebih berat dibanding pada 2019 yaitu 3 tahun 7 bulan penjara.

KPK dinilai lebih unggul dibanding dengan Kejaksaan dalam menjatuhkan tuntutan pidana penjara terhadap terdakwa. Hal tersebut menurut Kurnia menjelaskan bahwa KPK lebih memiliki perspektif penjeraan terhadap terdakwa ketimbang Kejaksaan Agung.

Meski begitu, ada tren penurunan jika dibandingkan dengan 2019 karena pada 2020 rata-rata tuntutan KPK mencapai 5 tahun 2 bulan penjara.

ICW membagi detail tuntutan yang dilayangkan oleh KPK maupun Kejaksaan menjadi tiga kategori: tuntutan ringan (0-4 tahun penjara); tuntutan sedang (di bawah 10 tahun penjara); dan tuntutan berat (di atas 10 tahun penjara).

Pada 2020, 736 terdakwa mendapat tuntutan ringan, 512 diberikan tuntutan sedang dan hanya 36 orang diberikan tuntutan berat. KPK masih didominasi penuntutan kategori sedang, sedangkan Kejaksaan sendiri menuntut ringan 680 terdakwa atau lebih dari 50 persen.

"Ini tentu fakta yang miris dan menunjukkan kinerja jaksa penuntut umum masih jauh dari harapan publik," ungkap Kurnia.

Tidak ketinggalan pada 2020, ICW mencatat setidaknya 14 terpidana dikurangi hukumannya pada tingkat peninjauan kembali (PK). Praktik tersebut bermula ketika Hakim Agung Artidjo Alkostar resmi purna tugas pada 2018. Hal itu seakan langsung dimanfaatkan terpidana untuk mengajukan PK agar hukumannya dapat dikurangi.

Sejumlah terpidana yang mendapat pengurangan hukuman antara lain eks Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud hukumannya menjadi 4,6 tahun dari 6 tahun, mantan panitera PN Jakarta Utara Rohadi dari 7 tahun menjadi 5 tahun penjara, mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyuni Maria dari 4,5 tahun menjadi 2 tahun penjara, eks Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara, bekas anggota DPR Musa Zainuddin dari 9 tahun menjadi 6 tahun penjara, eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara.

Menyikapi berbagai fenomena dalam putusan pengadilan tersebut, penting bagi penegak hukum, baik KPK dan Kejaksaan, untuk segera menyusun atau memperbarui pedoman penuntutan untuk meminimalisir disparitas.

Tidak hanya terjadi pada penuntutan, ternyata majelis hakim juga kerap menggunakan pasal yang menguntungkan terdakwa. Hal ini terlihat dari perkara dengan jenis kerugian keuangan negara.

Kecenderungannya pun sama, majelis hakim lebih sering menggunakan Pasal 3 UU Tipikor untuk menjerat terdakwa. Berdasarkan pemantauan, 749 terdakwa diputus menggunakan Pasal 3, sedangkan yang dijerat Pasal 2 UU Tipikor hanya 273 terdakwa.

Padahal sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 (SEMA 3/2018) yang menyebutkan pengaturan penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Dalam regulasi itu ditegaskan jika nilai kerugian negara dalam sebuah perkara di atas Rp 200 juta maka majelis hakim harus menerapkan Pasal 2, sedangkan di bawah angka tersebut dapat menggunakan Pasal 3.

Selanjutnya ICW juga merekomendasikan agar penegak hukum melekatkan UU TPPU saat memproses hukum terdakwa kasus korupsi untuk memberikan efek jera sekaligus mengakomodir isu pemulihan kerugian keuangan negara.

Tidak ketinggalan penerapan tuntutan pencabutan hak memilih dan dipilih mesti selalu dikenakan kepada terdakwa yang memiliki irisan atau singgungan dengan wilayah politik.

Sedangkan MA khususnya Ketua MA harus memberi perhatian lebih pada fenomena maraknya terpidana mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali. Jika memang tidak memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP maka selayaknya permohonan tersebut ditolak.

Jadi apakah vonis 3 tahun dan 1 bulan penjara cukup menjerakan sehingga dapat mencegah potensi korupsi pada masa mendatang? Bila jawabannya adalah tidak maka perlu ada perbaikan segera dalam pertimbangan penjatuhan vonis perkara korupsi.

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021