Bandarlampung (ANTARA News) - Sejumlah warga mengharapkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung menangani pengemis berpura-pura cacat dan "mangkal" di perempatan yang padat kendaraan.

"Pengemis itu berpura-pura cacat bagian salah satu kakinya buntung dengan cara melipatnya dan duduk di bawah lampu merah yang padat kendaraan," kata Ny Hartini, warga Labuhanratu, Kedaton, Bandarlampung, Minggu malam.

Ia menjelaskan, biasanya pengemis itu melakukan aksinya pada malam hari, dan duduk sambil menengadahkan tangan menggapai-gapai ke kendaraan.

"Kalau ada sepeda motor yang berusaha mendahului mobil dan tidak melihat ada orang tanpa baju di situ, dia bisa terlanggar. Jika terjadi, salah siapa itu," katanya.

Warga lainnya, Supriyanto, mengatakan kalau malam pengemis yang berjenis kelamin laki-laki itu menjalankan aktingnya dengan berpura-pura cacat.

"Kalau siang hari dia jualan koran. Saya melihatnya. Bahkan, beberapa waktu lalu sempat melihat dia berkejaran dengan rekannya di sekitar perempatan Jalan Teuku Umar-Urip Sumoharjo-Kijang," kata dia.

Sementara itu, hampir di perempatan atau pertigaan kini bermunculan anak-anak dan remaja bahkan orang tua yang meminta-minta.

"Kalau anak-anak dan remaja umumnya mengamen. Terkadang mereka sedikit memaksa sambil mengetuk pintu dan jendela kaca samping sopir untuk meminta uang guna membeli makanan," kata Sukarno, warga Kotasepang, Bandarlampung.

Tadinya, Sukarno mengaku sering memberi uang ke mereka. Tetapi, sekarang dikurangi karena hampir setiap hari melintas di sana dan ketemu dengan mereka.

Sementara itu, pada Februari 2010, Pemerintah Kota Bandarlampung mengajukan rancangan peraturan daerah (raperda) tentang penanganan anak jalanan dan gelandangan pengemis.

Namun, raperda tersebut ditanggapi beragam baik mendukung maupun menolak.

Mereka yang mendukung umumnya meminta pemda tidak langsung mengeksekusi jika ditemukan pelanggaran, dan harus disosialisasikan dengan waktu yang lama.

"Informasi yang beredar, bagi mereka yang memberikan sesuatu kepada pengemis di lampu merah, akan dikenakan denda hingga jutaan atau kurungan. Jika benar, perlu sosialisasi," ujar Ning, warga Tanjungkarang Pusat, Bandarlampung.

Sementara Lembaga Perlindungan Anak Bandarlampung dan Provinsi Lampung menolak penerapan serta keberadaan perda tersebut.

Sebab, jika diterapkan akan mengabaikan hak-hak dasar anak, seperti hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan berpartisipasi. (T013/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010