Padahal angka kasus TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 840 ribu setiap tahun
Yogyakarta (ANTARA) - Hari Tuberculosis Sedunia yang jatuh pada 24 Maret baru saja diperingati. Peringatan tersebut tentu bertujuan untuk mengingatkan masyarakat bahwa penyakit tersebut perlu terus diwaspadai karena meskipun sudah puluhan tahun berbagai upaya dilakukan untuk mengatasinya, penyakit tersebut masih ada di Indonesia hingga saat ini.

Berdasarkan laporan global TBC 2020, Indonesia menjadi negara ketiga dengan beban TBC terbesar di dunia, setelah India dan China. Karena itu Indonesia harus melakukan penanganan yang komprehensif untuk mencapai target bebas TBC pada 2030.

Untuk mencapai target itu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah berupaya untuk mengatasi penyakit yang juga menyerang kelompok usia produktif tersebut, dengan berupaya menemukan penderita serta mengobatinya secara teratur hingga sembuh. Masalahnya TBC ini seperti fenomena "gunung es", jumlah kasusnya diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah temuan kasus.

Salah satu contoh di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2018 jumlah temuan kasus TBC tercatat 3.803, pada 2019 naik menjadi 4.026 kasus, tapi pada 2020 menurun menjadi 2.853 kasus. Penurunan itu terjadi kemungkinan besar terkait dengan pandemi COVID-19 yang menyebabkan pelaksanaan kegiatan penemuan kasus TBC terhambat. Selain itu, orang yang mengalami gelaja TBC juga takut memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit karena takut tertular COVID-19.

Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DIY Drh. Berty Murtiningsih, M. Kes, jumlah kasus TBC di DIY per tahun diperkirakan mencapai 9.064, tapi yang berhasil ditemukan baru sejumlah yang telah disebutkan di atas. Kondisi itu disebabkan berbagai faktor seperti jumlah orang bergejala TBC yang memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan masih rendah, serta keterbatasan jumlah petugas untuk melacak kasus TBC.

Meski demikian Dinkes DIY terus berupaya keras untuk meningkatkan temuan kasus karena berarti akan semakin mengurangi jumlah penderita TBC. Upaya tersebut antara lain dilaksanakan dengan melakukan pelacakan kontak serumah dan kontak erat dengan kasus TBC, menyiapkan 100 persen pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dan rumah sakit untuk mampu mendeteksi penderita TBC dan mengobati mereka.

Penderita TBC biasanya menunjukkan sejumlah gejala seperti batuk berdahak lebih dari dua minggu, berkeringat pada malam hari meskipun tidak melakukan kegiatan, serta badan terasa lemas. Meskipun gejala itu sepertinya mudah dikenali, tetapi tetap saja belum banyak warga yang dengan sadar diri memeriksakan diri ketika mengalami gejala tersebut.

Baca juga: Kemenkes perkuat kesinambungan penanganan TBC dan COVID-19

Secara nasional, kajian yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa baru sekitar 24 persen orang dengan gejala TBC yang mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Artinya baru 24 persen orang yang mengenali gejala TBC yang sedang dialaminya dan kemudian mendatangi fasyankes untuk memeriksakan diri.

Karena itu, menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, jumlah temuan kasus TBC secara nasional hanya 350 ribu kasus pada 2020, sementara pada 2019 kasus TBC yang ditemukan mencapai 560 ribu kasus. "Padahal angka kasus TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 840 ribu setiap tahun."

Kondisi tersebut mendorong Kementerian Kesehatan untuk melakukan penelusuran secara aktif di masyarakat dalam upaya menemukan kasus TBC. Namun pelacakan kasus TBC saat pandemi perlu mengikuti protokol kesehatan pencegahan COVID-19. Pandemi ini diperkirakan membawa dampak penurunan jumlah kasus TBC yang dilaporkan.

Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak setahun lalu dan belum diketahui kapan berakhir juga diperkirakan akan mempengaruhi kemajuan yang telah dicapai dalam penanganan penyakit TBC.

Gangguan dalam penanggulangan TBC sebagai dampak COVID-19 diperkirakan dapat menyebabkan kemunduran beberapa tahun mendatang.Jika angka deteksi menurun, jumlah kasus kematian akibat TBC diperkirakan juga akan meningkat.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan kematian akibat TBC akan bertambah 400.000 di seluruh dunia atau setiap jam bertambah sekitar 46 orang, jika keberlangsungan layanan TBC esensial terganggu selama pandemi COVID-19.

Deteksi memang memegang peran penting dalam upaya mengeliminasi kasus TBC, karena semakin banyak penderita TBC yang ditemukan, semakin banyak pula yang dapat disembuhkan. Dengan demikian target Indonesia bebas TBC pada 2030 dapat terwujud.Namun pandemi COVID-19 memberikan kendala bagi upaya pencapaian target tersebut.

Baca juga: Lima cara agar terhindar dari tuberkolosis

Baca juga: Kemenkes: Hanya 24 persen penderita tuberkulosis akses fasyankes


Pengobatan dan pencegahan

Terkait pengobatan TBC, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DIY Drh. Berty Murtiningsih, M. Kes, mengatakan pengobatan penyakit TBC memang memerlukan waktu hingga penderita dinyatakan sembuh total. Namung sayangnya masih ada penderita yang tidak telaten berobat sehingga putus di tengah jalan.

Menurut Berty, di DIY, angka putus pengobatan tergolong kecil yaitu sekitar 6 persen, dan sisanya patuh menjalani pengobatan dan sembuh. Meskipun persentase ketidakpatuhan itu kecil, tetapi DInkes DIY terus berusaha untuk memperkecil lagi angka tersebut hingga suatu saat menjadi nol persen. Upaya itu dilakukan melalui penyuluhan langsung kepada masyarakat oleh tenaga kesehatan, kader, serta mahasiswa. Selain itu dilakukan sosialisasi melalui berbagai media baik cetak, elektronik maupun online.

Selain tentang pengobatan, melalui sosialisasi dan penyuluhan pemerintah juga mengajak masyarakat untuk mencegah penularan TBC. Misalnya jika akan melakukan kontak dengan penderita TBC terutama tipe kuman positif, masyarakat harus mengenakan masker. Kemudian melakukan pola hidup bersih sehat serta melakukan cek kesehatan secara rutin.

Cara lain untuk menghindari penularan TBC antara lain dengan melakukan aktivitas fisik secara rutin. Mengingat kondisi pandemi saat ini, sktivitas fisik juga bisa dilakukan di rumah. Selain menyehatkan tubuh, aktivitas fisik juga dapat mengurangi stres dan kecemasan.

Aktivitas fisik juga perlu dibarengi dengan gaya hidup sehat lain, seperti mengonsumsi makanan sehat, termasuk memperbanyak konsumsi buah dan sayuran, tidak merokok, tidak mengonsumsi minuman beralkohol, serta menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah.

Baca juga: Studi di Inggris uji coba vaksin BCG untuk perlindungan dari COVID-19

Dan bila mengalami gejala TBC, memeriksakan diri lebih awal adalah langkah terbaik karena deteksi lebih awal akan mencegah komplikasi, mempermudah pengobatan, dan mempercepat proses kesembuhan.

Untuk mendukung upaya penanganan penyakit TBC, Dinkes DIY tahun ini mulai menggemakan "Terapi pengobatan pencegahan TBC pada semua kelompok umur yang berisiko tinggi tertular", beriringan dengan tema internasional dan nasional yaitu "Setiap detik berharga, selamatkan bangsa dari tuberkulosis". Melalui tema ini jumlah penderita TBC di DIY diharapkan akan semakin cepat berkurang.

Upaya penemuan kasus dan pengobatan TBC memang harus terus dilakukan karena penyakit tersebut membawa dampak pada penurunan tingkat produktivitas mengingat penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri itu banyak menyerang kelompok usia produktif, antara 35 tahun hingga 55 tahun.

Mengingat angka temuan kasus TBC di Indonesia belum sesuai dengan perkiraaan jumlah kasus, berarti masih banyak penderita TBC yang belum terjangkau pengobatan yang berarti pula berpotensi menularkan penyakit tersebut kepada orang lain. Karena itu, jajaran Kemenkes di seluruh Indonesia harus bekerja keras untuk memperbanyak temuan kasus, dan pandemi COVID-19 membuat mereka harus bekerja lebih keras lagi.

Namun pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendiri, kerja sama masyarakat diperlukan. Masyarakat perlu lebih peka dengan kondisi kesehatan diri sendiri. Jika mengalami gejala TBC jangan menunda untuk memeriksakan diri ke rumah sakit yang telah siap dengan tenaga kesehatan yang mampu mendiagnosis dan mengobati penyakit tersebut. Tanpa kerja sama masyarakat, upaya pemerintah akan sulit untuk mencapai hasil optimal.

Baca juga: Wapres: TBC berdampak pada tingkat produktivitas negara

Baca juga: Penanganan TBC berpotensi alami kemunduran karena pandemi, kata pakar
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021