"Allahu Akbar, Allahu Akbar. Hidup Palestina!" Teriakan lantang itu tiba-tiba memecah kesunyian di sebuah ruangan besar di kantor Kementerian Luar Negeri.

Suara nyaring itu berasal dari mulut mungil seorang bocah berusia empat tahun bernama Muhammad Imamuddin.

Seraya berseru kencang, telapak tangan kanannya mengepal keras, dihentak-hentakannya ke udara, seakan mengobarkan semangat perjuangan.

Mendengar seruan penuh keberanian itu, air bening di sudut pelupuk mata sang bunda, yang berdiri tidak jauh darinya, mulai mengembang.

Ia meneriakkan itu sesaat setelah melompat ke dalam pelukan sang ayah, yang baru saja tiba dari Amman, Yordania.

Beberapa detik kemudian, keheningan kembali menyeruak dan atmosfir kelabu mengharu biru di dalam ruangan di bawah langit mendung Kota Jakarta.

Imamuddin terus saja memeluk erat pria yang paling dirindukannya, yang beberapa hari belakangan meniggalkannya.

Sesekali, bola mata polosnya berputar, menyapu seluruh ruangan yang dipenuhi orang-orang yang tengah menatapnya.

Meski jadi pusat perhatian, ia seakan tidak peduli. Ia terus saja menenggelamkan diri dalam pelukan ayahnya.

Ketika kilatan lampu kamera terus saja membidiknya dan membuatnya keheranan, ia tidak terlihat gentar.

Ia malah balik menatap satu demi satu orang di hadapannya dengan dada busung dan dagu terangkat, seakan ingin berteriak lagi dan berkata "Ini ayahku, ia baru saja selamat dari Serangan Israel".

Pemilik tubuh mungil itu adalah anak bungsu dari seorang sukarelawan Indonesia yang ikut dalam misi kemanusiaan untuk rakyat Gaza pada kapal "Mavi marmara" yang diserang oleh pasukan komando Israel pada 31 Mei.

Pria yang menggunakan baju putih berhiaskan syal rajut bermotif bendera Palestina itu membalas pelukan buah hatinya. Sama eratnya.

Mereka seakan tidak peduli saat drama mengharukan itu diabadikan puluhan kamera para pemburu berita di ruang Nusantara, Kementerian Luar Negeri.

Di belakang Imammudin, empat saudaranya menanti giliran untuk memeluk sang ayah.

Kelima kakak beradik itu ingin mengucapkan selamat datang kembali ke Tanah Air ayah mereka mereka yang selamat dari serangan Israel.

"Ayahku baru pulang, habis naik kapal ke Gaza terus ke Israel," kata Imamuddin, polos, dengan suara kekanak-kanakan.

Ia terlihat sangat bahagia, sehingga terlihat bingung dan bertanya-tanya mengapa sang bunda matanya berkaca-kaca. Padahal, dari raut wajahnya, Imamuddin saat itu ia sangat ingin tertawa.

Sang ayah adalah H Ferry Nur, ia merupakan Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA) yang selamat dari tragedi Mavi Marmara.

Ferry Nur merupakan ayah dari delapan orang anak meskipun yang datang menyambutnya di Kementerian Luar Negeri hanya lima orang.

Ia bisa kembali menjejakkan kakinya ke bumi pertiwi setelah pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri memfasilitasi pemulangan para sukarelawan Indonesia yang berada di kapal Mavi Marmara.

Ia dan tiga orang lainnya tiba di bandara Soekarno Hatta pada Senin 7 Juni pada pukul 15.55 WIB.

Selain Ferry Nur, tiga sukarelawan lainnya adalah Muhendri Muchtar (Wakil Ketua KISPA), Hardjito Warno (anggota KISPA) dan Muhammad Yasin (wartawan TV One).

Ketiga sukarelawan itu juga disambut keluarga masing-masing, yang setia menunggu di kantor Kementerian Luar Negeri ketika para pejuang kemanusiaan itu belum mendarat di landasan pacu bandar udara Soekarno Hatta.

Okvianto Baharudin, anggota KISPA yang mengalami luka tembak, telah tiba terlebih dahulu di Indonesia dari Istanbul, Turki dan telah diperiksa kesehatannya oleh tim dokter dari Kementerian Kesehatan.

Selain itu, sisa sukarelawan lainnya akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat ini.

Isteri Ferry Nur, Khadlrotun (41), mengaku sangat bahagia begitu tahu sang suami bisa kembali ke dekapan putera-puterinya dengan kondisi sehat.

Kepulangan suaminya, menurut dia, berarti menghentikan rentetan pertanyaan dari putera-puterinya itu.

"Selama ayahnya pergi untuk menjalankan misi kemanusiaan, anak-anak selalu bertanya beliau ada di mana, bahkan ketika berita soal penyeraan Israel pada kapal Mavi Marmara mulai ramai, pertanyaan anak-anak semakin menjadi-jadi," katanya.

Hal itu menyebabkan perempuan itu menjadi sedih dan gelisah selama berhari-hari menanti kabar dari suaminya yang tak kunjung tiba.

Ia baru bisa berkomunikasi dengan suaminya sekitar empat hari setelah kejadian. Itupun hanya beberapa menit saja.

"Suami saya hanya sempat menanyakan kondisi anak-anak, dan menyampaikan kondisinya yang baik-baik saja," katanya.

Setelah itu, Khadlrotun mengaku lega dan bisa tidur dengan nyenyak. Ia bahkan sudah bisa menjelaskan kepada anak-anaknya mengenai kondisi sang ayah.

Perempuan berjilbab itu juga bercerita dengan penuh rasa bangga, kepergian suaminya ke Gaza merupakan yang kedua kalinya.

"Saya tidak ingat dengan pasti, kapan tepatnya suami saya berangkat untuk misi yang pertama. Namun pada saat itu ia bisa berhasil masuk Gaza dan kembali ke Indonesia tanpa halangan sedikit pun," katanya.

Ia juga bercerita bahwa suaminya begitu peduli pada Palestina dan ia mendukung keputusan suaminya untuk membantu Gaza.

Bahkan, dengan tegas ia mengatakan tidak akan pernah melarang suaminya untuk kembali ke Gaza, dan membantu mereka yang membutuhkan.

"Meskipun pernah ada tragedi Mavi Marmara, tapi saya tidak akan melarang suami saya untuk melanjutkan misi-misi berikutnya, karena ini untuk kemanusiaan," katanya.(ANT/S018)

Oleh Wuryanti Puspitasari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010